Filsafat barat terbagi dalam empat babak besar: Yunani, Abad Pertengahan, Modern, dan Kontemporer—semua dengan ciri khasnya masing-masing. Periode filsafat Yunani berkutat dengan phusis atau esensi dari sesuatu. Abad Pertengahan melanjutkan tradisi pemikiran Yunani dengan inspirasi dari Plotinus dan dikembangkan sejalan dengan ajaran religius, era Modern menjadi titik tolak umat manusia yang menjadikan manusia sebagai episentrum pengetahuan dan kebenaran, dan era Kontemporer yang mengkritik era Modern atas tendensinya tersebut. Era Modern, dengan obsesinya terhadap kebenaran objektif, kerap kali menjadikan orang lain sekadar sebagai objek untuk diteliti. Obsesi, atau mungkin lebih tepat dikatakan sebagai fetisisme, kemudian dikritik oleh dua intelektual Yahudi: Martin Buber dan Emmanuel Levinas. Meskipun memiliki konsep tentang relasi yang berbeda, mereka sama-sama menolak untuk melihat orang lain sekadar sebagai objek.
Levinas: Perjumpaan dengan Yang Lain
Emmanuel Levinas adalah pemikir fenomenologis terkemuka yang hidup pada tahun 1905 hingga 1995. Ia lahir pada 12 Januari 1905 di Kaunas (Kovno, Rusia) yang sekarang adalah negara Lithuania. Ia menerbitkan banyak karya dengan tema-tema seperti etika, fenomenologi, hermeneutik ontologi, dan Yudaisme. Yudaisme, sebagai agama yang dianutnya, merupakan inspirasi besar bagi karya-karyanya tersebut. Salah satu pemikirannya yang terpengaruh langsung oleh Yudaisme adalah konsep mengenai relasi.
Levinas secara terang-terangan mengatakan bahwa konsep relasinya antara seseorang dengan Yang Lain mendapat inspirasi dari agama Yahudi di dalam tulisannya yang berjudul A Religion for Adults.[1] Relasi antara Aku dengan Yang Lain sifatnya vertikal atau tidak setara. Itu berarti, ada yang lebih rendah dan ada yang lebih tinggi; dalam kasus ini Aku lebih rendah dibanding Yang Lain.[2] Sedangkan Yang Lain selalu berada di atas, memanggil, dan memaksa Aku.[3] Sifat asimetris ini berlaku dalam narasi yang begitu ketat. Aku berkewajiban, dengan penuh rasa hormat dan tanggung jawab, terhadap Yang Lain.
Yang Lain dipahami sebagai individu yang memiliki keunikan dan keberadaannya tidak dapat direduksi menjadi sekadar objek yang dapat dianalisa atau dipelajari seperti tendensi filsafat Modern.[4] Yang Lain secara fundamental tidak dapat benar-benar diketahui karena dimensinya yang tidak mungkin dapat dijangkau oleh akal manusia.[5] Oleh karena itu, Levinas menekankan ketakhinggan Yang Lain sebagai sebuah keniscayaan. Orang harus memahami bahwa eksistensi diri sendiri berbeda ketika Aku ada untuk orang lain dibanding ketika Aku ada untuk diri sendiri.
Jika Descartes, sebagai sosok yang membunyikan lonceng dimulainya era Modern, menjadikan Cogito, ergo sum sebagai kebenaran pertama filsafat, tidak demikian dengan Levinas. Baginya, etika adalah filsafat pertama yang mendahului semua filsafat, yang artinya etika tidak boleh diambil dari metafisika atau pun ontik metafisik seperti yang dilakukan Heidegger.[6] Bukan berarti juga Levinas menolak mentah-mentah misalnya imperatif kategoris Kant. Hanya saja, menurutnya adalah sebuah bencana maha dahsyat untuk mengatakan “perlakukan orang lain sebagai tujuan bagi dirinya sendiri, dan bukan sebagai sarana karena…” Ia juga sanksi terhadap adagium kemanusiaan yang mengatakan bahwa “semua manusia setara.” Menurutnya, hanya diperlukan satu orang saja untuk percaya bahwa “tidak semua manusia setara” untuk dapat melakukan kekejian mengerikan seperti bencana Holocaust.
Martin Buber: Relasi Aku-Engkau
Martin Buber adalah cendekia dengan spektrum keahlian yang begitu luas. Intelektual dan aktivis politik yang hidup pada tahun 1878 hingga tahun 1965 ini menulis banyak sekali tema seperti mistisisme Yahudi, filsafat sosial, studi Kitab Suci, fenomenologi, filsafat antropologi, pendidikan, politik, hingga seni.[7] Sejak remaja, Buber banyak terpengaruh oleh Kant dan juga Nietzsche—ia membaca Prolegomena pada umur 14 tahun. Dihantui oleh pemikiran bahwa segalanya akan terulang secara abadi (Eternal Recurrence of the Same), ia ditenangkan dengan pemikiran bahwa semua yang dipersepsi indera manusia hanyalah rekonstruksi dari impresi sensoris. Apa yang dialami manusia adalah fenomena, sedangkan noumena—sesuatu pada dirinya sendiri—tidak pernah bisa dicapai.
Relasi seseorang dengan yang lain muncul dalam salah satu karyanya yang paling penting yang berjudul Ich und Du. Walter Kaufman menerjemahkannya menjadi I-Thou (Aku-Engkau) yang menurut Hilary Putnam sebetulnya kurang tepat. Putnam beralasan karena Du dalam bahasa Jerman digunakan secara informal yang digunakan terhadap seseorang seperti teman—lebih tepat jika diterjemahkan sebagai You (Kamu).[8] Relasi Aku-Kamu bersifat dialogis, setara, dan langsung hadir; orang lain tidak pernah sekadar objek. Relasi Aku-Kamu dikontraskan dengan relasi Aku-Objek (I-It), di mana yang lain dianggap sekadar sebagai benda; sesuatu yang bisa dimanfaatkan demi kepentingan sendiri. Di dalam relasi Aku-Kamu yang sejati mampu menghadirkan dimensi quasi-estetik sekaligus juga quasi-relijius.[9] Itulah sebabnya relasi Aku Kamu juga merupakan jalan menuju Tuhan.
Meskipun demikian, relasi Aku-Kamu tidak selalu baik. Menurut Putnam, ini adalah miskonsepsi umum dalam memahami Buber. Relasi Aku-Kamu memiliki beberapa karakteristik, salah satunya adalah exclusiveness-at-the-moment—kecuali relasi Aku-Kamu dengan Allah.[10] Di sini Buber tidak sedang merujuk Hitler, Nazi, atau kekejaman-kekejian yang dilakukannya karena Ich und Du ditulis sekitar tahun 1919-1922.[11] Salah satu relasi Aku-Kamu yang buruk contohnya adalah relasi dengan diktator seperti Napoleon. Relasi Aku-Kamu juga tidak eksklusif hanya untuk hubungan antar manusia saja, tetapi juga berlaku untuk hubungan dengan hewan, tumbuhan, bahkan objek animat.[12] Bagi Buber, relasi yang ideal adalah Aku-Kamu, bukan Aku-Objek. Relasi yang terakhir hanya membiarkan seseorang untuk mengalami (Ehrfahrung) orang lain—mengalami sebuah objek dengan menjelajahi permukaannya saja, dan mengekstrak pengetahuan yang mengkonstitusi objek tersebut (Ervarn).[13]
Persamaan dan Perbedaan
Persamaan konsep relasi antara Levinas dan Buber terpampang sangat jelas. Mereka sama-sama tidak menjadikan orang lain sekadar sebagai objek. Akan tetapi terdapat perbedaan juga di antara keduanya. Bagi Buber, relasi Aku-Kamu bersifat dialogis dan resiprokal, dengan kata lain tiap pihak dalam relasi tersebut setara. Sedangkan bagi Levinas, Yang Lain selalu berada di atas Aku, memanggil dan memaksa. Maka, relasi Aku-Kamu Buberian bersifat simetris, sedangkan relasi dalam konsep Levinasian bersifat asimetris.[14]
Selain sama-sama menentang egologia Modern, relasi Aku-Kamu dan perjumpaan dengan Yang Lain juga dapat memampukan seseorang untuk mengenal dan memahami orang lain lewat pertemuan dengan dirinya sendiri yang berada di dalam orang lain tersebut.[15] Namun, perbedaan yang mencolok juga ditemukan dalam karakter kedua relasi tersebut. Jika resiprositas Aku-Kamu didasarkan pada mutualitas, perjumpaan dengan Yang Lain lebih mengenai responsibilitas.[16]
Meski Levinas dan Buber memiliki konsep relasi manusia yang berbeda, tak dapat dipungkiri bahwa kedua konsep tersebut dapat saling melengkapi satu sama lain. Bahkan beberapa tokoh mengatakan bahwa rumusan mereka tentang konsep relasi atau etika merupakan revolusi Kopernikan. Keduanya, yang sama-sama menekankan peran sentral dari tanggung jawab terhadap orang lain, merupakan usaha untuk menerjemahkan gagasan agama Yahudi ke dalam bahasa filsafat kontemporer. Di dalam dunia saat ini yang sarat dengan polarisasi, fundamentalisme, dan perpecahan, menjadi penting untuk memperkenalkan etika Buberian dan Levinasian kepada khalayak umum.
[1] Hilary Putnam, Jewish Philosophy as a Guide to Life, (Bloomington: Indiana University Press, 2008), hlm.69.
[2] Hilary Putnam, Ibid.
[3] Hilary Putnam, Ibid., hlm.75.
[4] Bettina Bergo, “Emmanuel Levinas”, The Stanford Encyclopedia of Philosophy, 2019.
[5] Bettina Bergo, Ibid.
[6] Hilary Putnam, Ibid., hlm.70.
[7] Michael Zank dan Zachary Braiterman, “Martin Buber”, The Stanford Encyclopedia of Philosophy, 2023.
[8] Hilary Putnam, Ibid., hlm.61.
[9] Hilary Putnam, Ibid., hlm.61-2.
[10] Hilary Putnam, Ibid., hlm.62.
[11] Hilary Putnam, Ibid.
[12] Patricia Meindl, Felipe Leon, dan Dan Zahavi, “Buber, Levinas, and the I-Thou Relation”, Dalam Levinas and Analytic Philosophy: Second-Person Normativity and the Moral Life, Disunting oleh Michael Fagenblat dan Melis Erdur, (New York: Routledge, 2019), hlm.81.
[13] Patricia Meindl, Felipe Leon, dan Dan Zahavi, Ibid., hlm.81-2.
[14] Patricia Meindl, Felipe Leon, dan Dan Zahavi, Ibid.
[15] Patricia Meindl, Felipe Leon, dan Dan Zahavi, Ibid., hlm.88.
[16] Stephan Strasser, “Buber and Levinas: Philosophical Reflections on an Opposition”, Dalam Levinas and Buber: Dialogue and Difference, Disunting oleh Peter Atterton, Matthew Calarco, dan Maurice Friedman, (Pennsylvania: Duquesne University Press, 2004), hlm.44-5.
Daftar Pustaka
Bergo, Bettina, “Emmanuel Levinas”, The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2019 Edition), Edward N. Zalta (ed.), URL = <https://plato.stanford.edu/archives/fall2019/entries/levinas/>.
Meindl, Patricia, Felipe Leon, dan Dan Zahavi. “Buber, Levinas, and the I-Thou Relation.” Esai dalam Levinas and Analytic Philosophy: Second-Person Normativity and the Moral Life, disunting oleh Michael Fagenblat dan Melis Erdur, 80–101. New York, Amerika Serikat: Routledge, 2019.
Putnam, Hilary. Jewish Philosophy as a Guide to Life. Bloomington, Amerika Serikat: Indiana University Press, 2008.
Strasser, Stephan. “Buber and Levinas: Philosophical Reflections on an Opposition.” Esai dalam Levinas and Buber: Dialogue and Difference, disunting oleh Peter Atterton, Matthew Calarco, dan Maurice Friedman, 37–48. Pennsylvania, Amerika Serikat: Duquesne University Press, 2004.Zank, Michael and Zachary Braiterman, “Martin Buber”, The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Summer 2023 Edition), Edward N. Zalta & Uri Nodelman (eds.), forthcoming URL = <https://plato.stanford.edu/archives/sum2023/entries/buber/>.