Eksistensialisme Sartre: Menyemai kebebasan diri dalam belenggu asumsi di media sosial

Jean-Paul Sartre
Jean-Paul Sartre

Sudah menjadi hukum alam bahwa fenomena bergerak dengan cara kerjanya sendiri. Tanpa suntikan subjektivitas dari diri kita, fenomena tersebut tampak secara murni (pure) tanpa anasir lain yang mempengaruhi. Justru dari fenomena itu, kita sebagai manusia yang memiliki subjektivitas dituntut untuk menyesuaikan diri. Misalnya di mana kecanggihan teknologi memaksa kita untuk bersikap adaptif dan akomodatif—tidak menutup kemungkinan minim selektif. Jagad dunia maya disesaki dengan hiruk pikuk sosial media. Semua platform berlomba mengembangkan fitur yang tentunya agar mudah dijangkau publik untuk mendulang rating. Terlepas dari kepentingan komersial, setiap platform memiliki daya pikat dan ciri khas masing-masing, seperti Instagram yang dikenal dengan photopost feed-nya, YouTube dengan short video-nya atau TikTok dengan unggahan video dari yang paling receh hingga imajiner.

Platform yang saya sebut terakhir, dua tahun belakangan menarik perhatian. Melansir dari Tempo, TikTok Capai 1,5 Miliar Unduhan, Peringkat 3 Global, TikTok bahkan mampu menggeser platform raksasa Facebook di tangga aplikasi teratas di App Store dan Google Play. Aplikasi yang diluncurkan pada tahun 2016 tersebut, hemat asumsi penulis, meroket dengan cepat kepopulerannya juga digandrungi usai remaja karena konten video yang lucu, viral bahkan kontroversial. Instagram yang identik dengan unggahan foto atau YouTube dengan unggahan video masih kalah jauh dibandingkan TikTok yang hanya menampilkan video yang dibalut dengan latar belakang suara musik. Saya kira, Instagram Reels dan YouTube Shorts adalah alternatif yang dimunculkan untuk menyaingi TikTok dalam merayu segmentasi pasar yang didominasi usia remaja.

Identitas TikTok

TikTok sukses besar dalam mencari target pasar. Remaja bahkan anak kecil pun, untuk saat ini, mungkin di gawainya terunduh aplikasi TikTok. Karena ciri khasnya tersebut (konten video), orang-orang berlomba memproduksi konten video yang menarik untuk bisa diperlihatkan ke orang lain. Bahkan, video tersebut non-elitis, artinya hanya untuk kepentingan klik dan insight, orang pembuat konten menyangsikan batas norma yang ada.  FYP (four your page) adalah istilah yang sering ditemui di berbagai media sosial, tidak terkecuali TikTok. 

FYP adalah halaman rekomendasi atau halaman awal yang langsung muncul ketika membuka aplikasi tersebut yang biasanya berisi kumpulan konten yang sedang naik daun atau populer. Di TikTok, FYP tidak hanya dipengaruhi oleh tagar, tetapi juga latar belakang suara musik yang digunakan. Banyak musik-musik yang sebelumnya tidak populer, ketika dijadikan latar belakang suara di TikTok, musik tersebut naik daun dan terkenal. Memang, apapun yang ada di TikTok semuanya bisa berubah. Salah satu lagu yang sering FYP adalah lagu Toxic dari BoyWithUke. Lagu itu bercerita tentang seseorang yang memiliki teman toxic dengan kepribadian sangat kasar, negatif dan tidak peduli. Gambaran itu dapat ditemui di lirik awal masuk lagu tersebut “All my friends are toxic, all ambitionless. So rude and always negative.” (Semua temanku beracun, semua tanpa ambisi. Sangat kasar dan selalu negatif).

Oleh karena itu, ia merasa temannya selalu tidak ada sehingga lebih baik sendiri. Ia membutuhkan teman baru, namun tentu tidaklah cepat dan mudah. “I need new friends, but it’s not that quick and easy.” (Aku butuh teman baru, tapi itu tidak secepat dan semudah itu). Lagu Toxic sering dijadikan latar belakang suara sebuah video di konten TikTok, bahkan juga tidak jarang menggunakan lagu itu untuk sekedar FYP. Kendati demikian, banyak lagu lain yang juga dijadikan latar belakang suara sebuah konten. Namun, terlepas dari FYP atau konten, lagu ‘Toxic’ tersebut oleh penulis hendak dilihat dari cara pandang Eksistensialisme Sartre dengan kaitannya terhadap realitas yang tengah terjadi saat ini.

Sartre dan Orang Lain adalah Neraka

Banyak aliran pemikiran filsafat yang sama-sama kuat dan populer di masanya, seperti kritisisme Immanuel Kant, idealisme Georg Hegel di abad pertengahan, atau fenomenologi Edmund Husserl,  dan eksistensialisme Jean-Paul Sartre di abad kontemporer. Jika dicermati secara teliti, cara kerja pemikiran-pemikiran filsafat adalah tindakan negatif sekaligus afirmatif. Artinya, pemikiran yang lalu diterima, namun juga dikritisi dengan cara diteruskan dan dikembangkan secara radikal. Cara kerja seperti itu sudah identik dalam diskursus intelektual sebagai bagian dari upaya mengembangkan pemikiran yang adaptif dan akomodatif terhadap perkembangan dunia.

Format intelektual seperti itu banyak ditemui di tokoh filsuf barat, seperti Karl Marx yang mengajukan kritik atas kritik agama Ludwig Feurbach (Frans-Magnis, 2016:73-76) Habermas dengan tindakan komunikatif dan etika emansipatoris hendak meneruskan pemikiran hermeneutika ala Hans-Georg Gadamer (F. Budi Hardiman, 2015:223-331) atau Sartre yang menawarkan filsafat eksistensialisme sebagai antitesis dari fenomenologi Husserl (Ito Prajna, 2011:193-200). Semua itu, jika dilihat dalam istilah dialektika Hegel, disebut dengan tesis-antitesis-sintesis (antitesis-nya). Sartre bertolak dari filsafat fenomenologi Husserl. Menurut Sartre, Husserl telah mengkhianati pendirian dan cita-cita awalnya untuk menjadikan fenomenologi sebagai suatu metode filsafat yang sungguh-sungguh radikal (Ito Prajna, 2011:202). Husserl tidak cukup berani untuk menerima segala konsekuensi yang muncul dari fenomenologinya sendiri. Bagi Sartre, eksistensialisme adalah konsekuensi radikal yang niscaya muncul dari fenomenologi.

Cara baca Sartre atas fenomenologi kemudian menjadi titik balik munculnya eksistensialisme, setidaknya terangkum dalam dua pengertian penting, yaitu (Ito Prajna, 2011:192); pertama, pengertian tentang diri; kedua, pengertian tentang ketiadaan. Jika konsep diri berkaitan dengan pemahaman atas manusia sebagai individu, maka konsep ketiadaan berkaitan dengan pemahaman atas relasi manusia sebagai individu dengan ‘yang lain’ di luar dirinya. Konsep yang kedua (ketiadaan), dalam filsafat eksistensialisme, Sartre hanya ingin memperjuangkan kebebasan individu dari relasi-penilaian-situasi-dan sebagainya yang datang dari individu lain. Bahwa kebanyakan dari manusia bergantung terhadap manusia lain. Individu satu tidak bisa lepas dari relasi orang lain, bahkan ‘hidup-mati’ seseorang didasarkan pada penilaian yang datang dari orang lain.

Di satu titik, jika orang menyelimuti dirinya dengan berbagai penilaian orang lain atas dirinya, dan tidak dapat keluar dari lingkaran setan itu, karena ia tidak mau mengubahnya, itulah kematian hidup (living death) (Thomas Hidya, 2011: 184). Sebaliknya, jika seseorang menggunakan kebebasannya untuk mengubah dan melepaskan diri dari situasi tersebut, maka ia benar-benar hidup dengan kesungguhannya. Oleh karena itu, ‘kebebasan’ adalah suatu hal yang penting dalam memahami filsafat eksistensialisme Sartre. Relasi kita dengan orang lain sama halnya dengan berbicara soal kebebasan. Jika relasi kita dengan orang lain penuh dengan racun, maka tidak ubahnya seperti di neraka. Singkatnya, penilaian orang lain memiliki pengaruh besar terhadap penilaian kita terhadap diri kita sendiri. Maka dari itu, muncul ungkapan “Orang lain adalah neraka.”

Barangkali pernyataan di atas sering terjadi. Ketidakmampuan dalam melepaskan diri dari penilaian orang lain, oleh Sartre, diungkapkan dalam metafora ‘tatapan’ (look). Kenyataan bahwa orang lain selalu memberikan penilaian kepada kita adalah kurang lebih sama halnya dengan kenyataan bahwa orang lain selalu menatap kita. Tidak bisa dicegah dan tidak bisa dihindari. Dalam keseharian, kita sebagai orgasme personal tidak bisa lepas dari melihat dan dilihat, yang terkadang tidak jarang membuat kita mengalami keterasingan dan kesenjangan di hadapan orang lain.

Ketergatungan adanya seseorang terhadap penilaian orang lain mengindikasikan istilah lain, bahwa kita dipaksa ada untuk orang lain. Kendati demikian, ketidakmampuan dalam melepaskan diri dari penilaian orang lain melalui aktivitas ‘menatap’ dan ‘ditatap’ menimbulkan potensi salah. Potensi salah itu adalah perasaan keterasingan di antara mereka yang terlibat, dan itulah bagian relasi dari manusia yang hendak dikritik oleh Sartre. Manusia saling menjadikan orang lain sebagai objek, hingga mereka hidup dalam relasi saling mengobjekkan  dan destruktif.

Toxic, TikTok, dan Alienasi

Lagu ‘Toxic’ yang sering kali memenuhi FYP di TikTok menjadi tren bagi setiap manusia di zaman sekarang dalam mengabarkan kepada khalayak perihal realitas lingkungan yang hegemonik dan tengik. Dengan menampilkan konten video dibalut lagu Toxic tersebut, pembuat konten hanya ingin mengabarkan kepada masyarakat umum bahwa video tersebut memperlihatkan kejadian atau fenomena yang paradoks. Artinya, di satu sisi kita bertindak atau berucap sesuai dengan kehendak dan karakteristik masing-masing, di sisi lain kita dipaksa menelan cara pandang dan penilaian yang ‘tidak-tidak’ dan ‘aneh-aneh’ dari orang lain.

Sebelum masuk lebih lanjut, barangkali orang-orang luput, bahwa sebenarnya ketika kita menyelami dunia maya tidak ubahnya dengan kita memasuki alam metafisika. Pendek kata, segala sesuatu yang ada dan terjadi hanyalah ilusi belaka, fatamorgana. Dunia tersebut bukan nyata walaupun tidak menutup kemungkinan juga ada potensi fakta. Namun, kembali lagi kita dipaksa untuk menerima dan mengamini kejadian-fenomena-realitas yang tampil di dunia maya. Tidak sedikit orang di zaman sekarang yang berubah sikap-cara pandang-tutur kata karena konten-konten yang ada di dalam media sosial yang fana, TikTok misalnya.

Berpijak pada pemikiran Sartre, bahwa munculnya eksistensialis digunakan untuk mendepak ihwal absurd. Absurditas yang sering ditemui manusia pada umumnya bersifat transendental dan insidental. Absurditas itu sangat mudah ditemui oleh manusia, sebagai makhluk sosial, membutuhkan orang lain untuk. Dalam hal ini, tentu tidak bisa lepas dari penilaian dan cara pandang orang lain. Perihal ketergantungan kita terhadap ada-untuk-orang-lain adalah garis besar ajaran yang ditawarkan oleh Sartre. Dalam instrumen itu, yang satu berusaha mengobjekkan yang lain dan sebaliknya yang lain juga berusaha untuk mengobjekkan yang satu.

Di TikTok, banyak konten video yang menyuguhkan kepada kita sebuah realitas yang memaksa. Kita dipaksa untuk mengikuti alur perkembangan tren yang tersaji dalam konten video tersebut. Sebenarnya, kita tidak tahu seberapa jauh efektifitas dan dampak mengikuti tren tersebut, namun hanya karena tersulut hasrat atensi dan geliat ambisi, kita bisa lepas dari batasan dan tuntutan norma yang wajar. Karena itu, struktur dasar hubungan antar manusia terdiri atas negasi timbal-balik. Artinya, jika yang lain sebagai subjek menolak aku, maka aku menjadi objek (Alex Lanur, 2011:76). Begitu juga sebaliknya.

Jika ditinjau lebih jauh, dalam dialektik negasi timbal-balik nyaris tidak ada ruang untuk relasi subjek-subjek. Hubungan subjek-objek bersifat transendental, tidak tetap. Di lain waktu yang satu menjadi subjek dan yang lain menjadi objek, di lain waktu lagi yang lain menjadi subjek yang satu menjadi objek. Relasi subjek-objek itu kemudian, jika dilihat dari kacamata Marx, bisa menimbulkan alienasi. Keterasingan yang lahir dari hubungan antar manusia yang kontradiktif. Selain bertindak atas kemauan hati nurani, juga ada kepentingan memenuhi hasrat ambisi dan tren yang sedang terjadi.

Jika alienasi versi Marx menggambarkan keadaan di mana buruh atau proletar mendapatkan sebuah keadaan yang terasing dari kehidupannya dalam pekerjaan, maka alienasi versi Sartre adalah ketika seseorang terjerembap dalam suatu keadaan di mana mereka kehilangan eksistensi dan hakikat dari arti kehidupan bagi mereka. Mereka terlalu menikmati alunan arus perkembangan tren hingga luput akan eksistensi substansial mereka sebagai pribadi manusia yang ‘bebas’ dari belenggu cara pandang dan penilaian yang datang dari luar kendalinya (Frans-Magnis, 2011:8). Karena itu manusia memiliki tanggung jawab penuh atas dirinya sendiri. Dengan bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri, manusia menurut Sartre sudah bertanggungjawab atas realitas seluruh dunia, atas segenap orang.

Terlepas dari itu, sejatinya setiap manusia memiliki kesadaran menidak, mempertahankan intersubjektivitas. Merespons situasi dengan kapasitas kemampuannya adalah bentuk memunculkan sikap eksistensialis. Oleh karena itu, untuk menggeser ketidakmampuan diri terhadap ketergantungan atas orang lain dibutuhkan keterbukaan terhadap relasi antar manusia yang positif, yang membuat masing-masing lebih menjadi subjek bukan objek (Thomas Hidya, 2011:185). Relasi seperti ini harus benar-benar dimunculkan dan patut dipelihara dalam dinamika antar tindakan dan kata, karena kalau menjadi rusak dan beracun, seperti yang ditunjukkan Sartre, orang lain dapat sungguh menjadi neraka bagi kita.

Muhammad Lutfi Nanang Setiawan

Mahasiswa UIN Walisongo dan bekerja di LPM Justisia.

3 Responses

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.