Baru-baru ini, tepatnya pada tanggal 1 Oktober 2022 terjadi sebuah tragedi yang memilukan bagi dunia sepak bola Indonesia dan secara umum bagi sepak bola internasional, yakni kasus meninggalnya para suporter dan anggota kepolisian di Stadion Kanjuruhan – Malang. Dihimpun dari berbagai sumber yang ada bahwa lebih dari seratus lebih nyawa hilang karena laga sepak bola yang tak pernah menghasilkan prestasi dunia bagi Indonesia. Pertandingan kandang tanpa kehadiran suporter lawan yang berakhir kalah, jadi pemicu pertama tragedi. Janji klub suporter untuk nihil insiden apalagi kerusuhan, kosong saja akhirnya. Lebih jauh dari pada itu bahwa gas air mata yang digunakan polisi untuk menghalau kerusuhan adalah hal terfatal yang menjadikan tragedi terbesar dalam sejarah sepak bola Indonesia—bahkan dunia—ini terjadi. Peristiwa ini di samping peristiwa serupa lainnya merupakan jejak-jejak dari negativitas pengalaman manusia. Dari peristiwa di atas juga dapat dilihat bahwa telah terjadi “pengremangan kesadaran” dari gerombolan orang- orang yang menjadi bagian dari peristiwa itu. Kemudian juga bahwa merebaknya kekerasan massa, teror, terlantarnya rakyat dan luka-luka yang tetap basah tak tersembuhkan.
Yang Lain
Terlepas dari kronologi dan hal-hal lain yang menjadi latar belakang dari peristiwa Stadion Kanjuruhan di atas, fenomena kekerasan yang dilakukan atas nama massa yang semakin marak akhir-akhir (kasus Kanjuruhan, Tambak Sari Surabaya, dan lain sebagainya) ini menurut George Simmel, diproyeksikan oleh heterofobia (takut akan ‘yang lain). Heterofobia berasal dari otofobia (takut akan diri sendiri). Dalam filsafat yang abnormal dirumuskan dalam konsep “the other” (Inggris), “l’autre” (Prancis) atau “das Andere” (Jerman), dan “yang lain” dalam terjemahan bahasa Indonesia. Yang lain, menduduki posisi negativas, karena dianggap berbahaya dan harus diberangus. Sebab yang lain ditatap jauh diseberang sana.
Padahal “yang lain” itu justru mengeram di palung terdalam individualitas manusia. Tidak sekedar penampakan wajah (face) ‘yang lain’ sebagai ‘yang lain’ hadir dengan
selubung tabir ideologi. Namun juga, wajah seram yang dihadapanku hadir secara terus- menerus. Kehadiran itu “mengharuskan” subyek mengelak dan berpaling bahkan kalau perlu ‘yang lain’ itu dimusnahkan, agar tidak menggerogoti eksistensi subyek. Maka pemberangusan dan pengejaran terhadap yang berlainan sebagai minoritas merupakan tanda keruntuhan solidaritas.
Di zaman Orde Baru, hancurnya solidaritas pada kehidupan bernegara berpengaruh terhadap masyarakat setelahnya. Maka negara bagi Hannah Arendt dalam Vita Activa, 1996 (The Human Condition) adalah wadah ekspresi kemajemukan dari ketunggalan. Dalam kediktatoran tak ada lagi negara sebab represi, agresi dan dominasi (Herrschaft) akan menghancurkan kemajemukan dalam ketunggalan. Kediktatoran bukanlah sekedar intervensi publik ke dalam yang privat melainkan “kolonisasi” ruang publik oleh yang privat. Republik dalam kondisi semacam itu kehilangan esensinya, dan teror justru bertolak dari penguasa sebagai ‘pelaku’ destruktif.
Histerisitas massa pada kekerasan massa disorot dari ‘perspektif pelaku’, meminjam ungkapan Hermann Broch dalam buku Massenwahntheorie, 1979 (teori kegilaan massa) ditimbulkan dari ketidakmampuan untuk menegaskan diri yang mendapatkan energi dengan cara tindakan kolektif yang destruktif. Dalam kekerasan massa ‘pelaku’ kekerasan justru mengalami penumpulan tidak hanya perasaan melukai para korban tetapi juga sirna rasa bersalah atas perilaku kekerasan. Lenyaplah daya serap moralitas dan akal sehat kehilangan “otoritasnya”. Secara struktural, akar-akar kekerasan massa dalam teori tindakan kolektif Veit Michael Bader (sosiolog Jerman) berpangkal dari disparitas sosial yang terbentuk lewat interaksi sosial. Negativitas dilihat sebagai signal dari kebuntuan komunikasi dan bentuk perjuangan untuk meraih kesamaan dan keadilan. Macetnya komunikasi merupakan resonansi perubahan manusia dari “personalitas” menjadi “massa”.
Disorot dari psikologi politik (mental), kebuntuan komunikasi yang memproduksi kekerasan secara epistemologis dimengerti sebagai kegagalan proses pengenalan manusia. Artinya, tindakan kekerasan itu sudah terkondisi di dalam struktur pikiran manusia. Hal itu mengacu pada dua hal; pertama, pengenalan atas manusia berarti mengandung momen dominasi sebab mengenali berarti mendefinisikan. Kekerasan itu semakin melar eksistensinya jika yang didefinisikan tak mampu mendefinisikan dirinya sendiri dan tunduk pada “institusi” di luar dirinya. Kedua, pengenalan atas manusia lain diawali dengan stereotifikasi bahwa orang lain dimengerti sebagai kelompok dan bukan sebagai individu. Dalam situasi konflik
stereotifikasi yang netral menjadi destruktif menurut Simmel, kekerasan massa pada taraf antropologis berpangkal dari rasa panik dan kebutuhan akan ekstasis menurut Broch, dan posisi sosiologis kekerasan massa itu dilahirkan dari proses atomisasi individu secara struktural dalam masyarakat kapitalis menurut Arendt.
Oleh karena menarik untuk fakta keberadaan orang lain, bahwa ketika aku bertindak di luar nalar antara aku dan dia, aku memandang dia sebagai mangsa, maka dengan demikian kekerasan terhadap yang lain menjadi hal yang mutlak. Analisis Emanuel Levinas, yang mencoba mengangkat subjek lain di luar diriku sebagai subyek atau aku yang daripadanya menuntut pertanggungjawaban moral. Sudut pandang Levinas tentang pertanggungjawaban moral terhadap aku yang lain dikaitkan oleh penulis dengan peristiwa Stadion Kanjuruhan, dimana berdasarkan sudut pandang Levinas bahwa massa atau para suporter yang menjadi pelaku dan korban kerusuhan perlu dilihat dari cara pandang bahwa aku memangsa yang lain karena aku tidak bertanggung jawab terhadap eksistensi lain di luar dari diriku.
Fanatisme dan Suporter
Fanatisme merupakan suatu keyakinan berupa kesetiaan, pengabdian, kecintaan, dan sebagainya. Lebih lanjut bahwa fanatisme sebagai sikap penuh semangat yang berlebihan terhadap satu pandangan. Sikap tersebut didasarkan pada suatu pemikiran dan pemahaman dari individu tersebut yang tidak berubah. Fanatisme diartikan sebagai sebuah paham karena dalam ejaan yang disempurnakan, kata yang memiliki akhiran-isme adalah suatu paham. Fanatik dan fanatisme memiliki artian yang sedikit berbeda. Dikatakan bahwa fanatik adalah sifat yang timbul saat seseorang menganut fanatisme. Sehingga fanatik dan fanatisme seperti memiliki keterkaitan sebab akibat.
Fanatisme merupakan konsekuensi dari kemajemukan sosial karena sikap fanatik tidak mungkin timbul tanpa didahului perjumpaan dua kelompok sosial. Manusia menemukan kenyataan ada orang yang segolongan dan bukan golongannya dalam kemajemukan tersebut. Kemajemukan itu melahirkan pengelompokan “in group” dan “out group”. Dalam persepsi ini fanatisme dipandang sebagai bentuk solidaritas terhadap orang- orang yang sepaham, dan tidak menyukai orang yang berbeda. Inilah mengapa fanatisme selalu dilihat dan dipelajari sebagai fenomena yang komunal (bersama-sama). Hal ini didasarkan pada suporter yang memiliki komunitas fans yang selalu mengikuti perubahan dan perkembangan idolanya. Komunitas suporter klub sepak bola tidak akan menyukai komunitas dari klub rivalnya. Ketidaksukaan itu tidak berdasarkan suatu argumen yang logis, tetapi hanya sekedar tidak suka kepada yang tidak disukai (dislike of the unlike). Sikap tersebut membuat seseorang tidak dapat lagi melihat masalah secara jernih dan logis.
Menurut Faber (1997, dalam Pertiwi, 2013), fanatisme merupakan perasaan positif meskipun di dalamnya terdapat perilaku adiktif dan obsesif. Perilaku tersebut muncul karena pengaruh dari objek lain. Perilaku tersebut disebabkan oleh keinginan orang itu sendiri. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa fanatisme adalah perasaan cinta diri atau kekaguman diri yang berlebihan lalu berkembang menjadi rasa tidak suka, munculnya perasaan benci kepada orang lain atau kelompok lain yang berbeda dengan dirinya.
Suporter pertandingan sepak bola tidak lengkap apabila tanpa melibatkan kelompok suporter. Supporter selalu hadir ketika klub sepak bola idolanya bertanding. Mereka tidak segan-segan untuk melakukan tindakan agar tim favoritnya meraih kemenangan. Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) mendefinisikan supporter adalah orang yang memberikan dukungan atau sokongan dalam pertandingan. Keberadaan supporter pada kenyataannya begitu lekat dengan pertandingan sepak bola. Daniel L. Wann menyebut supporter adalah yang menyaksikan pertandingan olahraga yang aktif secara fisik, politik, dan sosial. Supporter membuat pertandingan menjadi lebih dinamis. Bahkan tak jarang keberadaan supporter justru lebih menarik dibandingkan pertandingan itu sendiri.
Supporter adalah kelompok yang memiliki tanggung jawab terhadap eksistensi dan prestasi klubnya. Supporter ingin saling memadupadankan diri, baik secara perilaku maupun penampilan. Hal ini dikarenakan perasaan memiliki kepada klub favoritnya tersebut sangat tinggi. Tidak jarang supporter rela mengeluarkan banyak uang untuk membeli merchandise, ataupun ikut menonton pertandingan kesebelasan favoritnya. Para suporter melakukan hal tersebut untuk membedakan dirinya dengan penonton lain. Suporter sepak bola sering diartikan sebagai kerumunan. Kerumunan tersebut adalah orang yang berada pada tempat yang sama meskipun tidak saling mengenal satu sama lain namun memiliki sifat yang peka terhadap stimulus dari luar. Kelompok suporter meski menonton sepak bola di tempat yang sama belum tentu mereka saling mengenal satu sama lain. Akan tetapi mereka sangat peka terhadap stimulus dari luar seperti saat tim idolanya nyaris mencetak gol atau saat gol tercipta secara tidak langsung mereka menunjukkan ekspresi yang sama. Apabila berlangsung tindakan anarkis, mereka membantu rekan- rekannya atas nama solidaritas.
Berangkat dari analisis terhadap fanatisme dan suporter dalam sepak bola, jika dikaitkan dengan tragedi Stadion Kanjuruhan Malang beberapa waktu silam dari sudut pandang penulis berdasarkan analisis filosofis Levinas tentang etika wajah orang lain bahwa ada satu hak yang dilupakan ketika kita dihadapkan pada orang lain dalam konteks kerumunan. Hal yang terlupakan dalam tragedi Stadion Kanjuruhan di atas berdasarkan sudut pandang Emanuel Levinas bahwa kesadaran atau transendensi aku kepada yang lain adalah kosong. Yang seharusnya terjadi adalah bahwa ketika aku bertemu dengan yang lain kesadaranku haruslah tertuju kepada yang lain karena orang lain yang kujumpai menuntut pertanggungjawaban moral daripadaku.
Massa dan Etika Wajah Orang Lain
Sebagaimana yang nampak terjadi di Stadion Kanjuruhan Malang-Jawa Timur yang menelan banyak korban, fenomena di atas sepertinya telah memposisikan kembali aspek etis dalam seluruh fenomena kehidupan manusia termasuk dalam kumpulan massa yang berujung menelan korban di Stadion Kanjuruhan Malang-Jawa Timur. Benang merah dari fenomena di atas dengan isi pemikiran Levinas dapat dilihat dari bagaimana ia membangun filsafatnya di atas kenyataan paling dasar yakni adanya orang lain yang menampakkan wajahnya pada aku. Bagi Levinas, penampakan wajah orang lain itu adalah fakta paling dasar sebelum aku sadar akan kehadirannya dan menentukan sikapku. Atas dasar kenyataan dasari inilah Levinas membangun filsafatnya, dan karena itu bagi dia materi utama filsafat adalah etika. Dan landasan etika adalah orang lain, tanggung jawabku terhadap orang lain. Atas dasar ini dia mengkritik seluruh filsafat sebelumnya sebagai berpusat pada aku dan kesadaranku dan bukan pada orang lain. Dari sini kemudian nampak titik perbedaan pemikiran antara Levinas dan para filsuf Barat lainnya.
Kecenderungan filsafat pada umumnya untuk menyatukan dan menyamakan (ego dan totalitas) itu, telah mengorbankan keberlainan pada orang lain. Orang lain itu memang berbeda dan lain dari aku. Maka menganggap orang lain sebagai aku yang lain (alter ego), adalah sikap yang tidak adil. Aku dan orang lain tidak bisa disamakan, dijumlahkan, dan disatukan. Penyamaan akan berakibat pada tindakan mengabaikan dan mengorbankan eksistensi orang lain yang terang benderang menampakkan diri padaku tanpa bisa kutampik.
Secara umum, kata ‘wajah’ orang lain memang mengacu pada bagian fisik tubuh manusia tempat mata, hidung, dan mulut berada. Wajah juga sering dipakai sebagai rujukan identifikasi seseorang. Dalam hal ini, perlu selalu diingat bahwa wajah manusia bagi Levinas selalu terkait dengan cara orang lain menampakkan diri kepada kita. Dengan kata lain, wajah selalu menyangkut keseluruhan kehadiran orang lain bagi diri kita. Kehadiran wajah orang lain ini seringkali justru berlawanan dengan kecenderungan alamiah kita dalam memperlakukan orang lain. Pertama, haruslah kita akui bahwa kita sering melihat dan memperlakukan orang lain berdasarkan gagasan atau abstraksi yang kita miliki atas orang tersebut. relasi atau cara melihat yang demikian ini berlangsung melalui sebuah mediasi,yakni melalui pandangan kita mengenai orang tersebut berdasarkan konteks tertentu. Karena pertemuan ini terjadi melalui gagasan atau abstraksi semacam itu, kita terhalang untuk bertemu langsung dengannya. Karena kondisi, keadaan kesehatan, stigma,ideologi tertentu, kita tidak lagi berjabat tangan dengan orang lain atau duduk berdampingan sebagai saudara dan saudari sesama manusia.
Kedua, wajah yang lain membuka relasi baru yang berbeda dengan relasi berdasarkan gagasan belaka. Pertemuan dengan wajah orang lain membuat kita menyadari bahwa orang lain bukanlah sekadar kulit, daging, dan darah yang dapat dihancurkan begitu saja. Sebaliknya, ia adalah manusia seperti kita yang memiliki harapan dan kecemasan, kegembiraan dan duka, orang yang dicintai dan mencintainya. Inilah yang dalam kerangka besar pemikiran Levinas sering menyebut penampakan wajah sebagai sebuah epifani, yakni manifestasi tiba-tiba atas esensi atau makna realitas tertentu. Realitas yang selama ini tersembunyi tiba-tiba tersingkap. Bahwa ternyata orang yang selama ini distigma sebagai penderita dan pada akhirnya menularkan Covid-19, bahwa ia tertular Covid-19 sebagai aib,karma masa lalunya tidaklah demikian. Ia saat ini adalah subjek yang menggugah rasa peduliku, simpatiku untuk dibantu,disembuhkan,dan diselamatkan. Perubahan persepsi ini hanya dapat terhadap hanya dapat terjadi kalau kita mampu mentransendensikan pertemuan terhadap wajah orang lain tersebut.
Ketiga, kita selalu terlambat dalam menyadari transendensi wajah manusia. Dalam banyak hal,kegagalan bertemu dengan wajah orang lain memang terjadi karena kebiasaan kita dalam mendekati orang lain berdasarkan pemikiran dan gagasan kita mengenai orang lain itu. Kiranya menjadi semakin jelas bahwa bagi Levinas kehadiran wajah itu tidaklah memberikan sekadar satu makna atau signifikansi di antara sekian banyak makna yang mungkin,melainkan signifikansi ‘pertama’ atas transendensi. Dengan transendensi yang disingkapkannya, wajah secara langsung menghancurkan totalitas yang telah menciptakan situasi yang tidak etis.
Ketika kita sedang berada pada sebuah titik kerumunan, dalam hal ini penonton sepak bola di Stadion Kanjuruhan menyerukan tanggung jawab terhadap keselamatan orang lain, serasa kita menemukan momentum bersama, demi menjadi peduli dan bertanggung jawab terhadap orang lain, dan pihak ketiga. Pihak ketiga ini juga tidak sama dengan orang lain, tetapi merupakan rentetan tak terbatas dari orang lain yang juga menjadi tanggung jawabku. Maka tanggung jawabku terhadap yang lain di sini tidak terbatas pada orang lain saja, melainkan juga terhadap umat manusia yang tidak terbatas. Pihak ketiga sesungguhnya adalah umat manusia. Maka melindungi orang lain, menghindari terjadinya konflik di tengah kerumunan merupakan bentuk tanggung jawabku terhadap orang lain dan umat manusia seluruhnya. Tanggung jawab etis itu mengarah ke transendensi dan kebebasan. Tanggung jawab terhadap orang lain justru menunjukkan kesejatian manusia sebagai penjaga bagi manusia lainnya. Prinsip ini yang sejatinya menjadi landasan etis yang sesungguhnya akan membawa perdamaian, kesejahteraan, dan keadilan sosial bagi umat manusia.
Jika dilihat secara sepintas, terkesan adanya kepincangan pada etika Levinas. Sepertinya relasi aku dan orang lain yang asimetris itu menyisakan persoalan menyangkut ketidakadilan. Seolah-olah aku terobsesi oleh orang lain dan karena itu aku diperlakukan secara tidak adil. Sekali lagi landasan etika Levinas bukan pada norma yang bisa diutak-atik, melainkan pada fakta dasar yang tak bisa ditampik yakni aku dan orang lain. Pada saat perjumpaan dengan orang lain, aku sebagai the self belum sampai pada kesadaran untuk mengada dan mengambil sikap. Kondisiku adalah pasif sepasif-pasifnya, artinya belum sampai pada kesadaranku untuk bersikap aktif atau pasif. Itu berarti tanggung jawabku kepada orang lain itu bukan keputusanku, bukan tindakanku melainkan prinsip etis, yang ditemukan di atas fakta dasar ini. Berdasarkan fakta yang tak dapat dielak menyangkut aku dan orang lain ini, kita membangun prinsip- prinsip yang dianut bersama, dan membuat kesepakatan-kesepakatan yang adil. Di sini kita menemukan peraturan-peraturan yang menjamin bahwa setiap aku bertanggung jawab atas orang lain. Landasannya tetap pada fakta dasar tadi yakni tanggung jawab pada orang lain. Dan ketika setiap orang bertindak sesuai dengan fakta dasar tadi, maka keadilan dan kesejahteraan akan mewujud. Politik yang bermartabat, hukum yang adil, masyarakat yang berkeadilan sosial seharusnya tidak menjadi masalah karena pada dasarnya setiap orang bertanggung jawab terhadap orang lain.
Di sisi lain dari sudut pandang korban (mereka yang menjadi korban dari tragedi Stadion Kanjuruhan ini, baik yang sudah meninggal maupun mereka yang masih dalam proses perawatan dan penyembuhan), dari sudut pandang Viktor E. Frankl dalam konsep logoterapinya memandang bahwa derita para korban adalah jalan lain menuju pencarian makna hidup itu sendiri. Namun dalam hal ini, korban adalah mereka yang tidak mampu menolak keadaan. Demi menemukan makna itulah, jika perlu, manusia siap untuk menderita. Manusia menurut Frankl memiliki “den Willen zum Sinn” (kehendak-untuk-makna). Konsep ini didasarkan atas pengalaman Frankl sendiri sebagai tawanan di tiga kamp konsentrasi (yaitu Dachau, Bauchenwald dan Auschwitz). Penderitaan akan bermakna jika fokus hidup kita tidak berpijak pada apa yang diharapkan dari hidup ini melainkan bertolak pada apa yang dapat diharapkan oleh kehidupan darinya. Berpindah dari yang bertanya menjadi yang ditanyai. Jadi, makna penderitaan itu tergantung pada sikap yang benar terhadap penderitaan.
Berhadapan dengan tragedi Stadion Kanjuruhan beberapa waktu silam yang telah menelan banyak korban meninggal dan luka serta kerugian materil lainnya, berdasarkan analisis filosofis Levinas tentang etika wajah orang lain bahwa tragedi ini seharusnya menyampaikan kepadaku fakta sejati bahwa aku bertanggung jawab terhadap orang lain. Inilah wajah-wajah yang seharusnya tampil di antara kerumunan suporter di Stadion Kanjuruhan Malang. Dalam pergumulan tragedi ini, sebagaimana dipikirkan Levinas bahwa ia membantu kita untuk menghadapinya dengan sikap terbuka secara etis: bertanggung jawab kepada orang lain dan bersikap adil terhadap masyarakat, para kesebelasan tim sepak bola yang bertanding, pelatih dan official, aparat penegak hukum, pemerintah sebagai penyelenggara yang diwakili oleh PSSI, dan lain sebagainya. Banyak dari berbagai pihak ini yang telah menunjukkan tanggung jawab mereka, mempertaruhkan nyawa mereka demi keselamatan banyak orang. Dalam kebersamaan ini kita bisa bersinergi menjadi kekuatan yang dapat mengatasi masalah atau tragedi serupa di kemudian hari yang mungkin saja akan terus ada muncul dalam dunia sepak bola kita. Tanggung jawab terhadap orang lain yang tak terbatas sebagai fakta dasar tidak dapat dilepaskan dari keadilan bagi seluruh umat manusia.
Sebagai sebuah kesimpulan dari penulisan singkat ini bahwa apa yang dikonsepkan dan dipikirkan oleh Levinas tentang keberadaan orang lain mengusik ranah etika yang dihadapkan dengan tragedi Stadion Kanjuruhan Malang di atas. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa wajah yang lain membuka relasi baru, relasi tanpa batas antara aku dan
orang lain diluar dari diriku dan bahwa pertemuan aku dengan wajah orang lain menuntut pertanggungjawaban moral dari aku,wajah orang yang aku lihat membuka segala batas pandangan fisik aku terhadap orang lain, memanggil aku untuk hadir, membantu, mencintai, dan duduk bersama dengannya.
Perjumpaan dengan wajah orang lain membuat aku bertanggung jawab terhadap orang itu. Kehadiran wajahnya membuat aku tak bisa menyingkirkannya. Aku tak bisa mengelak. Aku seperti tersandera oleh wajah orang lain itu, dan aku menjadi substitusinya (menggantikannya sebagai sandera). Perjumpaanku dengan wajah lain membuat aku tak berdaya untuk menyingkirkannya, selain terdorong untuk menemuinya, menyapanya, bertanggung jawab terhadapnya. Dia tampil dalam kemutlakan, karena aku tak bisa menolaknya. Aku tak dapat menyingkirkan atau mengabaikannya, karena pada momen perjumpaan itu dia tampil langsung tanpa perantara, tak berdaya untuk mengelak.
Daftar Pustaka
Bertens. K. 1999. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius.
Bertens K. 2014. Sejarah Filsafat Kontemporer : Prancis (Jilid II). Jakarta: Gramedia. Critchley, Simon and Bernasconi, Robert (eds). 2004. The Cambridge Companion to Levinas.
Cambridge: Cambridge University Press.
Hidya Tjaya, Thomas. 2015. Enigma Wajah Orang Lain: Menggali Pemikiran Emmanuel Levinas. KPG. Jakarta.
Hidya Tjaya, Thomas. 2018. Emmanuel Levinas: Enigma Wajah Orang Lain. KPG. Jakarta.
Levinas, Emmanuel. 1979. Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, translated byAlphonso Lingis.
Levinas Emmanuel. 1985. Ethics and Infinity. Trans. Richard A. Cohen. Pittsburgh:Duquesne University Press.
Levinas, Emmanuel. 1981. Otherwise than Being or Beyond Essence. Trans. AlphonsoLingis.
The Hague: Martinus Nijhoff.
Magnis-Suseno, Franz. 2000. 12 Tokoh Etika Abad ke-20. Yogyakarta: Kanisius.
Marcus, Paul. 2008. Being For The Other: Emmanuel Levinas, Ethical Living andPsychoanalysis. Milwaukee, Wisconsin: Marquette University Press.
Rogers, Nigel. Mel Thompson.2011. Existentialism Made Easy. London: HodderEducation. Terj. Benyamin Molan. 2015. Cara Mudah Mempelajari Eksistensialisme. Jakarta: Indeks.
Simmons, William Paul:. 1996. An-Archy and Justice: An Introduction to Emmanuel Levinas Political Thought. Louisiana State University.
Diunduh dari http://repo.driyarkara.ac.id/490/1/MASSA.PDF pada tanggal 06 Oktober 2022.