fbpx

Festival Keagamaan: Ritual Konsumerisme dan Histeria Kolektif

Momen hari raya merupakan gejala konsumerisme yang terjadi setiap tahunnya, pada momen itu masyarakat berbondong-bondong menampilkan diri kepermukaan.
Ilustrasi Iklan dan foto Jean Baudrillard
Ilustrasi Iklan dan foto Jean Baudrillard

Menurut Jean Baudrillard, kini logika konsumsi masyarakat bukan lagi berdasarkan nilai guna atau nilai tukar, melainkan dari nilai baru yang disebut symbolic value (nilai simbolis). Orang tidak lagi mengkonsumsi objek berdasarkan nilai tukar atau nilai guna, melainkan karena nilai simbolis yang sifatnya abstrak dan terkonstruksi. Hal ini disebabkan oleh tawaran iklan yang justru menafikan kebutuhan konsumen akan kegunaan produknya, dengan menyerang rasa sombong yang tersembunyi di dalam diri manusia, produk ditawarkan sebagai simbol prestasi dan gaya hidup yang memunculkan rasa bangga yang klise dalam diri pemakainya. Ketika seorang membeli tas Louis Vuitton, sebenarnya orang tersebut tidak hanya membeli tas karena kegunaan fungsionalnya, tapi sekaligus membeli simbol kemewahan yang menaikkan privilese yang semu pada orang tersebut.

Momen hari raya merupakan gejala konsumerisme yang terjadi setiap tahunnya, pada momen itu masyarakat berbondong-bondong menampilkan diri kepermukaan. Alih-alih ingin kembali kepada keadaan yang spiritualis, masyarakat justru terjebak akan budaya konsumerisme, membeli barang dengan serakah di luar kebutuhannya. Ambisi, untuk mendapatkan legitimasi sosial dan kebahagiaanlah yang membuat masyarakat selalu terdorong  untuk berperilaku konsumtif, terlebih pada momen perayaan keagamaan yang terjadi di setiap tahun.

Fenomena konsumerisme saat ini sudah terlanjur menjadi gaya hidup masyarakat, apalagi ditambah dengan munculnya iklan-iklan di media yang menawarkan produknya dengan embel-embel religiusitas, simbol-simbol keagamaan, dan diskon-diskon yang merangsang masyarakat untuk mengonsumsi lebih banyak lagi, upaya konsumtif tersebut diluruskan jalannya, oleh tunjangan hari raya, yang membuat masyarakat terlena untuk menaikkan kadar konsumsinya.

Perayaan hari raya justru dijadikan ajang untuk pamer kesuksesan dalam meraih prestasi duniawi yang jauh dari nilai kesederhanaan yang diharapkan dari pelaksanaan  nilai-nilai agama. Di samping itu, kebiasaan membeli barang-barang baru juga sudah menjadi tradisi yang melekat  pada masyarakat di saat hari raya, yang sebenarnya barang-barang baru tersebut belum tentu sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Perayaan hari keagamaan identik dengan mengonsumsi lebih banyak, masyarakat lupa untuk merefleksikan apakah kebutuhan untuk mengkonsumsi secara berlebih memang diperlukan. Upaya untuk menabung dari hasil pendapat non gaji pokok yaitu THR  akan sulit dilakukan karena ekosistem yang telah terbangun di masyarakat.

Budaya yang sudah mengakar mungkin sulit untuk dihilangkan, namun masyarakat wajib kritis dan merefleksikan apakah konsumsi itu fungsional atau sekedar tren kebudayaan yang terjadi di tiap tahun.

Kecerdikan elit kapitalis dalam mengelola simbol

Hasrat untuk mengkonsumsi lebih banyak merupakan sesuatu yang diciptakan dengan sengaja oleh sebagian kelompok manusia, yaitu para pemodal besar, guna mendapatkan keuntungan yang lebih maksimal. Maka untuk tetap mempertahankan keuntungan, di ciptakanlah jaringan ekonomi dengan manajemen rapi melalui sistem manipulasi kebutuhan dan ekspansi ekonomis ke negara-negara yang sedang berkembang, sehingga merebaklah kebutuhan-kebutuhan semu yang bersifat artifisial. 

Teknologi menurut Baudrillard berperan penting, khususnya manusia sebagai agen yang menyebar imaji-imaji keidealan tersebut kepada khalayak luas, keputusan setiap individu untuk membeli atau tidak membeli, benar-benar dipengaruhi oleh kekuatan imaji tersebut. Semula kemampuan konsumsi dibatasi oleh penghasilan. Namun, melalui layanan kredit, kemampuan mengonsumsi meningkat dan selanjutnya tanpa sadar konsumen tersebut telah terjerumus. Desain fasilitas perbelanjaan, telah dieksploitasi sebagai sarana akumulasi modal melalui hasrat konsumsi. Masyarakat hanya menjadi mayoritas yang diam tanpa mampu merefleksi diri oleh kekuatan sihir iklan demi iklan yang disodorkan pada dirinya sendiri sebagai tanda dan simbol.

gaya hidup konsumtif ini telah di kontrol oleh teknik pemasaran yang telah menguasai aspek kesadaran konsumen. Masyarakat  yang telah menjadi masyarakat konsumen akan melihat iklan (advertising) sebagai guru dan teladan moral yang harus diikuti. Karena iklan adalah ujung tombak kapitalisme sebagai guru dan teladan moralitas, maka moralitas yang berkembang dalam masyarakat adalah moralitas Hedonis (Baudrillard, 1997).  Masyarakat telah direduksi ke dalam massa yang mengambang, yang tercabut dari akar budayanya, yang menganggap dirinya sebagai pengikut setia dari moral hedonis.
manuver kapitalis sudah berkembang dengan sangat apik, lembut dan halus, sehingga banyak yang termanipulasi oleh kecerdikan mereka. 

Jika konsumerisme ini menjadi role model, maka akan menimbulkan suatu kebutuhan yang tidak pernah bisa dipuaskan oleh apa yang dikonsumsi dan membuat orang terus mengkonsumsi secara brutal. masyarakat dewasa saat ini semakin sukar untuk bisa memprioritaskan antara barang yang harus dipenuhi dengan keinginan belaka. Ciri karakteristik fenomena konsumeris : ingin tampil beda, kebanggaan penampilan, sekedar ikut-ikutan, dan Menarik perhatian orang lain.

Konsumerisme adalah budaya yang di dalamnya terdapat berbagai bentuk dusta, halusinasi, mimpi, fantasi, kesemuan, artifisialisasi, pendangkalan, kemasan wujud komoditi, melalui strategi hipersemiotika dan imagologi, yang kemudian dikonstruksikan secara sosial melalui komunikasi ekonomi (iklan), sebagai kekuatan tanda kapitalisme.
Kaum konsumtif adalah sapi perahan bagi elit kapitalis.

Jangan sampai, bangsa ini seperti yang digambarkan Pramoedya Ananta Toer, “Negara yang kaya tapi suka mengemis, sudah mengemis, hidup boros lagi. Suatu yang ironis”

Manusia tidak benar-benar bebas dalam menentukan keinginan

Keinginan manusia dewasa saat ini diadopsi dari lingkungannya, manusia tidak benar-benar bebas dalam memilih pilihan, pengiring keinginan yang dinahkodai oleh teknologi, sudah merasuk ke dalam diri manusia, dikotomi tersebut semakin samar untuk dilihat. kita hanya menginginkan apa yang kita lihat. Dan apa yang kita lihat adalah sebuah ilusi untuk simbol-simbol kebutuhan.

Keinginan adalah yang kita anggap ideal, dan hasil keidealan tersebut, diperoleh dari iklan-iklan yang disebarluaskan. Media menjadi kompas keinginan manusia, manusia tidak benar-benar autentik dalam memperoleh keinginannya. Dan manusia tidak akan pernah bisa terlepas dari bentuk keinginannya, karena dengan mengurangi keinginan sama dengan sebuah keinginan. Manusia terpenjara di dalam tubuhnya sekaligus pada keinginannya.

Ketika Keinginan pertama diwujudkan akan semakin besar hasrat keinginan berikutnya, ini disebut dengan Diderot effect. Diderot effect sendiri muncul sejak abad ke-18 dari seorang filsuf prancis, yang bernama Denis Diderot. Efek Diderot adalah kondisi seseorang yang cenderung terus membeli barang baru untuk melengkapi barang yang sudah dimiliki. Contoh : ketika kita membeli sebuah baju formal, maka kita akan berkeinginan untuk membeli celana formal, jam formal, tas formal, sepatu formal, begitu seterusnya sampai versi ideal itu tercapai, namun nafsu tidak akan pernah terpuaskan, kita akan terjebak oleh pembelian-pembelian berikutnya. Alangkah bijaknya kita mampu membedakan kebutuhan dan keinginan, agar terlepas dari rantai keinginan yang membelenggu.

Manusia saat ini telah berlomba-lomba mengkonsumsi kehampaan, fungsi sesungguhnya pada konsumsi telah dikesampingkan, masyarakat lebih senang mengedepankan nilai-nilai sosialnya yang dapat menunjang si pemilik lebih tinggi status sosialnya. Dan hal ini menjadi perlombaan manusia dewasa saat ini, bukan kepada fungsi melainkan kepada value kemewahan untuk dianggap modern dan mengikuti tren yang berlaku. 

Keinginan akan terus menjadi musuh tersebar bagi manusia, dan manusia tidak akan bisa terlepas dari keinginannya. Jean paul Sartre pernah menyampaikan: “suatu keinginan adalah sia-sia seperti halnya keseluruhan eksistensi manusia. Setiap aktivitas manusia pasti menuju kegagalan”. Ini yang disebut Sartre sebagai penderitaan manusia.

Ridho cahyadi Hareva

Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sumatra Utara

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content