Restoran di Jepang memiliki sebuah praktik di mana ada sebuah etalase yang di dalamnya terdapat replika makanan palsu untuk memberikan gambaran atas makanan yang akan dikonsumsi pembeli atau biasa disebut sampel makanan (food samples, Japanese: 食品サンプル, romanized: shokuhin sampuru). Yang menjadi menarik dari fenomena di restoran Jepang adalah, berdasarkan dari seberapa bagus model makanan itu terlihat, kita mendapatkan ide/gambaran realistis akan seberapa bagus makanan yang akan kita makan nantinya. Tentu kondisi ini sangat berlawanan dengan apa yang sering kita temui dalam dunia periklanan pada umumnya, di mana iklan selalu menampilkan bentuk produk lebih menarik daripada bentuk aslinya. Seperti iklan di McDonald atau Burger King yang menggambarkan burger mereka yang terlihat begitu menarik, besar, dan enak. Sehingga kita menjadi terbiasa dengan fakta bahwa iklan terhadap suatu produk dipakai untuk memperindah kenyataannya. Yang artinya memberikan kita gambaran versi fantasi dari yang sebenarnya benda/produk yang mana selalu mengecewakan.
Kita terbiasa dengan ide bahwa kenyataan itu tidak selalu sesuai dengan apa yang dibayangkan. Dan anehnya ide ini hampir dapat dikatakan cukup menenangkan, di mana kita mendapatkan gambaran Burger ideal McDonald di TV atau platform lain, dan kita tidak merasa ditipu ketika datang ke restoran dan mendapatkan bentuk makanan yang tidak sesempurna iklannya. Dan seseorang akan terlihat gila jika tidak bodoh, jika dia datang ke meja pesanan dan memprotes – kenapa makanannya tidak sesuai dengan yang di poster iklannya.
Namun hal ini tidak terjadi di Jepang. Tentu mereka punya media periklanan, tetapi yang terjadi pada restoran Jepang adalah kualitas tampilan dari model makanan memberi kita indikator yang baik atas sebagaimana makanan yang sebenarnya akan kita dapatkan nanti. Dan ternyata yang menjadi alasan model pengiklanan makanan seperti ini di Jepang adalah, perusahaan pembuat model menetapkan kebijakan produksi yang sangat-sangat ketat. Yang artinya tidak hanya harga model makanannya mahal, tetapi biaya yang dikeluarkan untuk diperbolehkan membeli model ini juga sangat mahal.
Dengan kata lain, jika kamu membangun restoran di Jepang, dan kamu tidak memiliki uang untuk diinvestasikan pada makanan dengan kualitas tinggi maka kamu tidak dapat membeli model makanan yang mahal tersebut dapat dikatakan bahwa realitas diletakkan pada model makanannya. di Jepang, restoran mahal atau high-end memiliki model makanan yang bagus, sedangkan restoran murah akan memiliki model makanan yang jelek. Sehingga ada kejujuran di dalam sistem model makanan ini, namun kejujuran yang dikondisikan pada ketimpangan fantasi. disisi lain, di sini kita mengalami kondisi di mana fantasi itu terdistribusi dengan setara.
Ada beberapa hal yang akan kita uraikan dari situ, Karena kita berbicara mengenai sifat dari komoditas di sini. Yaitu kenyataan dari suatu objek, fantasi pada objek serta relasi subjektif kita pada objek. Zizek seorang marxis, menunjuk pada film Terry Gillian berjudul Brazil. Brazil memiliki scene yang terkenal di mana para karakter sedang menuju restoran lalu mereka dipersembahkan gambar-gambar menu makanan mahal dan mereka harus memilih di antara gambar tersebut. Namun yang diantarkan pada mereka adalah piring dengan gumpalan berwarna seperti bubur bayi dan tusukan bendera kecil bergambar makan yang mereka pilih. Gagasannya adalah bubur itu berisi esensi dan nutrisi dari makanan yang sudah pasti masuk ke dalam dan di proses oleh tubuh sedangkan gambar pada bendera kecil adalah fantasi atau ide dari makanan. Poin terpenting di sini adalah Pelayan dalam film Brazil selalu bersikeras untuk pelanggan mengekspresikan kebebasannya dalam memilih sekalipun pelanggan memprotes bahwa apapun makanan yang saya pilih saya hanya akan mendapat sepiring bubur dengan gambar makanan. Pelayan bersikeras untuk pelanggan mengaktualisasikan pilihan berdasarkan kebebasan diri sendiri untuk memilih hal yang pada kenyataannya sama namun secara fantasi dihadirkan berbeda.
Hal ini yang secara tradisional dipikirkan orang mengenai masyarakat konsumen yang di kritik Terry Gilliam dalam filmnya, yang mana kita diberikan berbagai tipe ilusi dari pilihan di tengahnya namun kita tidak dapat mengondisikan parameter dari pemilihan kita. Dengan artian bahwa kebebasan kita untuk memilih terjadi dalam batasan untuk masyarakat konsumen yang dibuat secara artifisial yang mana kita adalah basis konsumennya. Yang kita dapatkan akhirnya adalah bukan demokrasi kesempatan namun demokrasi atas akses yang gagasannya adalah jika semua orang bisa membelinya maka kesetaraan ada di situ. Dan untuk menghindari abstraksi tradisional dari film Brazil tawaran gagasan lain adalah perbedaan tidak pada objeknya tetapi perbedaan ada pada kita sebagai subjeknya, bahwa esensi diri kita diekspresikan melalui pilihan konsumsi kita atau melalui bagaimana kita mengadopsi gaya hidup.
Inilah mengapa pelayan dalam film Brazil bersikeras bahwa pelanggan harus menggunakan kebebasannya karena untuk secara jelas menjadi bebas adalah dengan mengadopsi gaya hidup yang tepat. Namun ini masih dalam koridor kritik tradisional masyarakat konsumen.
Yang menjadi masalah, jika kita menarik kembali pada pergerakan tanpa logo di akhir tahun 90an yang menjadi kritik atas masyarakat konsumen, adalah ide bahwa jika kita praktis menolak fantasinya maka kita akan kembali pada ekspresi otentik yang menjadi dasar dari gerakan tersebut. Gerakan tanpa logo ini percaya bahwa brand pada pakaianmu adalah epitomi dari kesadaran keliru ini. Sehingga tidak hanya kamu mengiklankan brand yang kamu pakai tetapi juga kamu secara dangkal mengekspresikan identitasmu seolah-olah dirimu terasosiasikan dengan brand tersebut. Gerakan ini mengklaim, jika kamu belajar untuk menjauh dari merek dagang maka kita dapat kembali pada masyarakat yang setara, esensi utama dari makanan, pakaian dll. Namun, tanpa bermaksud merendahkan gagasan pergerakan yang baik ini, yang tidak dilihat oleh pergerakan ini adalah yang sebenarnya kita cari adalah Surplus Enjoyment.
Dalam perspektif psikoanalisis Lacanian, Surplus Enjoyment adalah kenikmatan atas sesuatu yang melampaui atau bahkan tidak ada pada bendanya. Inilah yang terjadi pada Fetisisme Komoditas atau ide dari merek dagang, yaitu pada bagian kenikmatan memiliki Merek dagang yang bagus, atau gengsi sesaat yang diasosiasikan dengan merek dagang. Seperti yang secara umum digambarkan oleh konten kreator Oza Rangkuti atau Sastra Silalahi mengenai karakter orang-orang yang dikatakan skena berdasarkan outfit yang mereka pakai, di mana yang didambakan adalah Surplus Enjoyment bukan pakaiannya.
Hal yang menarik untuk dilihat adalah bagaimana fashion, merek dagang dan Surplus Enjoyment terjadi secara sirkuler. Bagaimana suatu merek dagang setelah beberapa waktu menjadi hal yang ketinggalan jaman dan tidak disukai sehingga memakainya serasa memakan buah yang busuk. Lalu brand tersebut semacam terehabilitasi dalam suatu waktu dan menjadi disukai kembali. Salah satu kenikmatan barang yang sudah berumur adalah kita telah menyaksikan bagaimana barang yang fashionable menjadi tidak fashionable lalu menjadi fashionable lagi.
Sekarang hal yang nampak sekilas reaksioner dari gerakan Tanpa Logo ini adalah mereka mempercayai bahwa Surplus Enjoyment ini mencurigakan secara moral. Sehingga jika kita bisa mencapai semacam kapitalisme yang menghilangkan Surplus Enjoyment, maka kita telah mencapai bentuk konsumsi etis. Sehingga yang menjadi titik buta dari pergerakan tanpa logo ini adalah justru Surplus Enjoyment dari Tanpa Logo itu sendiri. yaitu cara yang mana Tanpa Logo bukan berarti, “saya tidak memiliki logo” tetapi kenikmatan Tanpa Logo adalah, “aku memiliki logo dan aku melepas/menghilangkannya,” yang akhirnya menjadi Surplus Enjoyment”. Inilah juga yang dalam Hegel dikatakan sebagai Negasi dari negasi. Yang dipostulatkan bukanlah kamu memakai pakaian yang tanpa merek dagang, tapi kamu berada di dalam dunia merek dagang dan telah keluar dari dalamnya. Sehingga bagi mereka yang menganut Tanpa Logo merupakan perlawanan atau pergerakan positif menuju suatu hal lain.
Kondisi ini sama seperti trend menutup webcam komputer karena takut dimata-matai pemerintah, lalu banyak orang melakukan hal yang sama karena mendapat Surplus Enjoyment pada saat menutupi kamera dengan stiker apalagi saat tindakan itu diketahui orang. Begitu pun Tanpa Logo, muncul orang-orang yang justru membeli dan memakai brand sambil ditutupi logonya karena merasakan Kenikmatan Lebih saat terlibat dalam pergerakan Tanpa Logo. Gerakan dimana muncul juga orang yang membeli brand palsu dan menutupinya dengan stiker, sehingga yang awalnya, “saya memiliki Handbag brand mahal dan sekarang saya seolah-olah tidak peduli dengan brand tersebut.” Lalu menjadi, “saya punya tas tangan branded palsu, tetapi saya menolak signifikansi logonya.”.
Terdapat pula Surplus Enjoyment dari minimalisme. Minimalisme lagi soal praktik memiliki sedikit hal, tetapi merupakan proses aktif dari pembuatan bentuk minimal dan ketiadaan dalam hidup dengan merangkul keheningan, semacam positivisasi bentuk kekosongan. Di sinilah muncul Surplus Enjoyment. Surplus Enjoyment ada pada apa yang terjadi di dunia setelah positivisasi sesuatu dimana kamu mempertahankan kesenangannya melampaui benda pada dirinya.
Pendekatan minimalisme Marie Kondo adalah pada apa yang memercikkan kesenangan. Sehingga kamu melihat barang yang kamu punya apakah itu memercikkan kesenangan? Jika tidak maka buang saja. Dari perspektif Lacanian yang memercikkan kesenangan adalah Surplus “Joy” yaitu membuang barang. Sehingga kamu diharuskan mengapresiasi satu barang lalu kamu dikelilingi oleh barang yang dipikiranmu tersemat dorongan kenikmatan ekonomi yaitu membuang semua barang yang tidak penting. Sehingga orang mendapatkan semacam perasaan katarsis dari menyingkirkan objek dari hidup mereka. Semacam kecanduan yang membuat mereka merasa tidak lagi melalui bentuk konsumsi sia-sia. Inilah Surplus Enjoyment, yang bukanlah lawan dari konsumsi tetapi kelanjutan logis dari dorongan konsumtif melampaui batas dalam pada konsumsi itu sendiri.
Ini juga yang dimaksud Marx dengan Fetisme Komoditas. Fetisme komoditas bukan sekedar mengatakan kita memperlakukan sesuatu sebagaimana lebih berharga daripada yang sebenarnya, yang sepertinya Marx juga tidak terlalu percaya dengan nilai murni. Yang berusaha dipostulatkan Marx adalah hal yang disebut Lacan Surplus Enjoyment muncul melampaui produknya.
Kita mulai mengidentifikasi diri kita, emosi kita, proses katarsis kita tidak pada objeknya, karena manusia tidak sedangkal itu. Bukan soal kita memperlakukan manusia seperti benda dan benda seperti manusia. Tetapi relasi antar objek membentuk struktur relasi antar subjek. Sehingga yang terjadi adalah identitas kita, agen subjektif masing-masing kita di dunia, atau yang disebut Relasi sosial menurut Marx, menjadi termanifestasikan pada proses subjektif dalam pemilihan fantasi yang nampak begitu nyata. Itulah yang menjadi fetisisme komoditas, cara di mana struktur relasi antar fantasi membentuk relasi dari identitasmu sendiri.
Novan Gebbyano
Anggota Departemen Penelitian dan Pengembangan Lingkar Studi Filsafat Discourse.
- 04/05/2022
- 30/11/2022
- 15/10/2023