Media sosial yang menjadi medium untuk berada dan mengada semakin menggoda kita untuk selalu pamer eksistensi. Tidak peduli meski telah memasuki ranah privasi. Jika bukan masalah pamer, maka karena sekedar menonton, berbagi, atau ikut berkomentar sudah menjadi aktivitas sehari-hari yang lumrah.
The Social Dilemma (2020) telah memberitahu kita, bahwa eksistensi kita di media sosial tak lagi aman. Privasi kita telah didata oleh developer media yang dipakai. Mereka bisa tahu misalnya jika ada pengguna atau pemilik akun bersikap suci ketika bergumul di ranah publik, tapi di ranah privat begitu cabul. Di sisi lain, banjirnya informasi di segala sisi juga memungkinkan privasi kita teringkari dan diambil alih oleh orang lain tanpa sepengetahuan kita. Memang tak bisa dipungkiri bahwa kita puas melihat fenomena dunia yang begitu narsistik. Narcissistic satisfaction (kepuasan sikap narsis), begitu kata Freud dalam The Future of an Illusion (1961), telah sukses membentuk budaya yang ideal tanpa membedakan kelas tertentu.
Masyarakat yang merasakan kepuasan akan budaya narsis telah cukup berani menampilkan ruang intim kepribadiannya. Terutama mengenai sesuatu hal yang dianggap tidak pantas bagi masyarakat. Bukan melulu soal tubuh dan seks, tapi juga berbagai perilaku yang bisa saja seharusnya mendapat sanksi sosial. Misalnya, masyarakat dengan mudah mengaku telah melakukan perpindahan agama, atau mengakui diri sebagai agnostik, atau bahkan mengakui tidak percaya adanya agama atau Tuhan (atheis) – mengingat bahwa perkara agama ini merupakan isu paling sensual di telinga masyarakat Indonesia.
Namun terdapat pendapat bahwa itu adalah hak masyarakat. Dari situ kita bisa menangkap satu hal, bahwa sikap demokratis adalah kondisi di mana semua suara orang bergema lambat laun dapat merobek batas-batas norma sosial. Batas yang tak lazim itu mulai membelai aturan normatif masyarakat secara perlahan. Penuh gairah, makin agresif, dan segera merakyat.
Banyak norma yang ada sebelumnya kini telah didekonstruksi. Ihwal batas harusnya tak ada yang benar, atau sama-sama benar. Barangkali Derrida tersenyum lebar melihat dunia saat ini ketika teorinya diamini banyak orang. Meski pernah dikritik oleh para penganut non-dekonstruksionis seperti Umberto Eco (saat mengisi kuliah di Cambridge University tahun 1990), tapi hasrat manusia lambat laun akan berhasrat untuk menjadi homo deus ala Firaun. Tak ubahnya seperti impian manusia Yunani Kuno tentang keabadian (Apeiros).
Dalam pandangan non-dekonstruksi, menurut Eco, salah satu kunci agar manusia dapat berbahagia adalah dengan mencari tahu serta memahami batas. Tapi saat ini, batas itu sendiri tak kuat membendung keluhannya manusia. Manusia justru semakin ingin untuk hidup sebebas-bebasnya. Gender dan identitas dilampaui. Jenis kelamin manusia sekarang tak hanya pria dan wanita, tapi juga transgender (non-binary). Jika dulu Freud pernah mengatakan wanita tak sempurna karena tak memiliki penis, sekarang bertebaran sosok wanita yang memiliki penis. Adagium ‘anatomy is destiny’ telah berhasil didobrak pada beberapa konteks tertentu, dan menghasilkan fenomena baru, kebenaran baru sekaligus pembahasan baru. Jengah dengan kungkungan diskriminasi antar gender, para feminis berusaha menyuarakan kebebasan kaum yang sebelumnya ditolak dan bahkan tidak dikenali.
Ester Lianawati dalam bukunya, Ada Serigala Betina dalam Diri Setiap Perempuan (2020) mengingatkan kepada para feminis agar tak garang-garang menyerang pelaku diskriminasi (laki-laki). Tapi apakah mungkin hal itu terjadi? Mengapa pelecehan seksual sampai saat ini tak kunjung terselesaikan? Entah karena banyak manusia yang memang kelewat cabul atau karena banyak pihak yang tak mampu membela diri. Barangkali, kegelisahan Lianawati akan terwujud.
Sebagaimana ungkap Mahbub Djunaedi di salah satu kolomnya yang berjudul “Krisis Maskulin” (1986), bahwa akan ada saatnya keperkasaan laki-laki tinggal terpampang di bungkus-bungkus jamu. Andai saja hal itu terwujud, tentu akan mencetak sejarah baru. Semua tatanan sosial yang berbau maskulin dirampingkan, bahkan jika perlu dibuang. Dan kembali pada persoalan agama, yang bagi para ateis dikecam sebagai sumber dehumanisasi; bisa jadi suatu hari, Tuhan Bapa akan juga dapat disebut sebagai Tuhan Ibu, dan hal ini akan menjadi pembahasan baru yang dapat merombak norma-norma yang telah ada.