fbpx

Paulo Freire: Pendidikan yang Membebaskan

Mengubah realitas (penindasan) adalah sebuah tugas historis, sebuah tugas untuk kemanusiaan.
Pelajar di Ekuador dilansir dari brogenproject.org
Pelajar di Ekuador dilansir dari brogenproject.org

Pendidikan bagi Paulo Freire merupakan proses humanisasi, yakni proses untuk memanusiakan manusia. Upaya humanisasi harus diaktualisasikan dengan tujuan melawan proses dehumanisasi.

Pendidikan yang selalu digagas oleh seorang Freire adalah pendidikan humanisme. Di mana pendidikan humanisme merupakan bagian dari filsafat humanisme. Aliran filsafat humanisme inilah yang dicita-citakan oleh Freire, di mana manusia adalah subjek atau pelaku utama dalam pendidikan.

Konsep humanisme ini selalu berfokus pada pemahaman tentang manusia dan nilai-nilainya. Prinsip kemanusiaan harus selalu dijunjung tinggi. Tidak boleh ada ketimpangan di dalamnya. Sumasno Hadi (2012) dalam Konsep Humanisme Yunani Kuno dan Perkembangannya dalam Sejarah Pemikiran Filsafat menjelaskan bahwa humanisme mengedepankan nilai dan kedudukan manusia serta menjadikannya sebagai kriteria dalam segala hal.

Di ranah filsafat, Freire banyak menggunakan sekaligus berhutang pada pemikiran-pemikiran filosofis dari Marx, Hegel, Gramsci, dan Sartre. Terkhusus mengenai filsafat pendidikan yang dikembangkannya.

Konsep Pendidikan Freire

Paulo Freire merupakan tokoh pendidikan, teolog, dan seorang pemikir humanis dari Brazil. Ia dilahirkan dalam keluarga kelas menengah di Kota Recife pada tahun 1921. Ketika ia masih muda, depresi hebat pada tahun 1930-an melanda ekonomi dunia terutama benua Amerika. Freire tumbuh dalam kemiskinan serta kelaparan, pengalaman yang selanjutnya mempengaruhi naluri akan keprihatinannya atas kemiskinan. 

Pengalaman ini menjadi spirit Freire dalam menggagas konsep pendidikan. Berangkat dari pengalaman empiris di lingkungan tempat tinggalnya, serta tantangan sehari-hari di mana ia selalu dihadapkan pada penindasan, melahirkan konsep pendidikan yang menjadi kritik terhadap model pendidikan berkembang di seluruh dunia, hingga sekarang.

Konsep pendidikan dari Freire yang kemudian kita kenal sebagai metode pendidikan hadap-masalah bertujuan utama untuk memahami realitas. Metode pendidikan ini akan membuat seseorang menjadi aktif menyadari lingkungannya dan kondisinya sebagai subjek. Dalam hal ini, seorang peserta didik diarahkan untuk selalu terlibat dengan persoalan kemasyarakatannya.

Karena Freire melihat manusia sebagai makhluk yang sempurna, menurut Freire manusia harus diposisikan sebagai subjek. Sebagai subjek artinya manusia mampu mengubah realitas dari permasalahan yang ditemukan. Sebaliknya, manusia yang hanya beradaptasi adalah manusia sebagai objek.

Metode hadap-masalah tidak dilakukan dengan dikotomi aktivitas guru-murid di mana guru memiliki kondisi tidak “memahami” dan “menceritakan”. Guru yang selalu “memahami”, adalah guru yang menyiapkan projek dengan baik dan terlibat dialog dengan murid. Guru tidak menganggap objek yang dipahami sebagai kepunyaannya sendiri melainkan sebagai objek refleksi bagi dirinya dan muridnya. Murid pun, tidak lagi sekedar menjadi pendengar. Mereka diidealkan menjadi pencari jawaban kritis dalam dialog dengan guru. Peran pendidik yang memakai metode hadap-masalah diharapkan dapat menciptakan kebersamaan dengan murid; kondisi di mana pengetahuan pada tahap mentera (doxa) diganti dengan pengetahuan sejati pada tahap ilmu (logos) (Freire, 2019: 69-70).

Metode hadap-masalah ini juga digunakan Freire untuk mengkritik konsep pendidikan yang ia sebut sebagai pendidikan bergaya bank, yakni pendidikan yang menjadikan aktivitas belajar-mengajar sebagai aktivitas menabung, di mana murid berperan sebagai tabungan dan guru bertindak layaknya penabung. Murid hanya menerima dan menyimpan apa yang disampaikan oleh guru. Tidak ada proses dialektika antara guru dan murid . Konsep pendidikan gaya bank ini bagi Freire merupakan cikal bakal lahirnya ideologi penindasan.

Upaya Humanisasi 

Pada buku Pendidikan Kaum Tertindas yang ditulisnya, Freire banyak menyinggung permasalahan Humanisme. Persoalan humanisasi menurut Freire adalah persoalan universal kehidupan manusia. Baginya, masalah humanisasi mesti dilihat sebagai masalah pokok, suatu semangat yang tak terelakkan.

Humanisasi s adalah proses pemanusiawian manusia. Selain itu, upaya humanisasi merupakan bagian nyata dari perlawanan terhadap dehumanisasi. Dehumanisasi adalah aktivitas kontra kemanusiaan atau penghilangan harkat manusia.

Dalam pandangan Freire, baik humanisasi dan dehumanisasi merupakan pilihan yang nyata. Namun, kedua pilihan itu sangat kontradiktif. Freire menyebutkan humanisasi menjadi fitrah manusia, sedangkan dehumanisasi adalah sebuah penyimpangan fitrah menjadi manusia sejati. Dehumanisasi sendiri dapat terjadi karena adanya perampasan kemanusiaan dalam masyarakat. Kemanusiaan menurut Freire, tidak terjadi secara independen atau given, tetapi amerupakan proses yang harus diupayakan.

Freire menegaskan bahwa manusia terlahir sebagai pejuang dan fitrah ontologisnya adalah memperjuangkan humanisasi. Cepat atau lambat, manusia akan menyadari kontradiksi yang terjadi antara humanisasi dan dehumanisasi, salah satunya kontradiksi yang ada dalam sistem pendidikan.

Membebaskan Kaum Tertindas

Dalam konsep pendidikan bagi kaum tertindas -dengan tujuan membebaskan diri dari penindasan- Freire berusaha mengingatkan masyarakat akan pentingnya pendidikan.

Substansi pemikiran pendidikan Freire terletak pada pandangannya tentang manusia, tentang dunianya yang kemudian ditransformasikan ke dalam dunia pendidikan, yang menghasilkan model pendidikan alternatif, yaitu dari model pendidikan yang membelenggu ke model yang membebaskan (Siswanto, 2007).

Freire sendiri, menuliskan Pendidikan Kaum Tertindas sebagai bentuk tanggung jawab sosial dan kemanusiaan, di mana ia merasa perlu memenuhi perannya sebagai “intelektual organik”. Hampir seluruh karya Freireditujukan bagi pendidikan yang membebaskan dan kepentingan masyarakat global, terkhusus kaum yang ditindas. Beberapa karya tersebut di antaranya; Politik Pendidikan (1985); Pendidikan Yang Membebaskan (1965); Pendidikan sebagai Praktek Pembebasan (1976); dan Pendidikan Kaum Tertindas (1968). Benang merah yang menyatukan karyanya adalah kesadaran kritis sebagai penggerak emansipasi kultural.

Untuk membebaskan yang kaum tertindas maka diperlukan perjuangan. Sebab kebebasan bukan hadiah yang turun dari langit – bukan pemberian, tetapi didapat dari hasil perjuangan. Pendidikan harus melahirkan kesadaran masyarakat dan kesadaran itu diharapkan dapat mengubah lingkungan. Kesadaran inilah yang kemudian disebut Freire sebagaikesadaran kritis.

Perlu diketahui bahwa, ada tiga macam bentuk kesadaran manusia menurut Freire, yakni: 1) Kesadaran magis, dimana ketidaksederajatan masyarakat lahir dari sebuah proses yang alami, yang mustahil dihindari karena sudah merupakan takdir Tuhan. Masyarakat tidak mampu melihat adanya kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. 2) Kesadaran naif, yakni masyarakat memiliki kesadaran dan sudah bisa memahami adanya permasalahan sosial yang terjadi di lingkungannya, namun belum sepenuhnya bisa memberikan solusi. 3) Kesadaran kritis, bahwa adanya kesadaran kritis ditandai oleh kematangan menafsirkan masalah. Pada tahap kesadaran kritis ini masyarakat melihat sistem sebagai sumber masalah.

Dalam buku Pendidikan Yang Membebaskan (2001) Freire menulis bahwa untuk membawa kita berpindah dari kesadaran naif ke kesadaran kritis, kita tidak dapat menggantungkan diri pada pada orang lain-apalagi patuh pada keputusan-keputusan orang lain. Kita harus terbebaskan dan berani melihat realitas sosial agar praktek penindasan dapat dihilangkan. Freire mempertegas, bahwa pendidikan mampu mewujudkan proses itu.

Masyarakat secara umum harus memiliki kesadaran saat ia sedang berada dalam proses tindas-menindas. Pendidikan kaum tertindas bagi Freire adalah sebuah alat agar masyarakat mampu memahami secara kritis bahwa masyarakat dalam suatu kondisi dapat merupakan kaum tertindas maupun kaum penindasnya. Ini adalah sebuah kondisi kontradiksi yang harus disadari

Solusi yang ditawarkan Freire bukanlah dorongan untuk melahirkan keadaan baru yang tidak menindas dan tidak juga tertindas. Ia mengusulkan agar manusia bersiap untuk masuk ke dalam proses memperjuangkan kebebasan dengan mengubah persepsi. Persepsi ini perlu menjadi bahan bakar untuk memotivasi peraihan kebebasan. Persepsi Freire menyerupai konsep yang pernah diusulkan oleh Marx, di mana keadaan sosial yang objektif tidak hadir karena kebetulan, tapi karena keadaan sosial tersebut adalah produk dari tindakan manusia. Oleh karena itu, mengubah realitas (penindasan) adalah sebuah tugas historis, sebuah tugas untuk kemanusiaan.

Referensi

Freire, Paulo. 2001. Pendidikan Yang Membebaskan. Jakarta. Penerbit Melibas.

Freire, Paulo. 2019. Pendidikan Kaum Tertindas. Yogyakarta. Penerbit Narasi.

Hadi, Sumasno (2012). Konsep Humanisme Yunani Kuno dan Perkembangannya dalam Sejarah Pemikiran Filsafat. Jurnal Filsafat. Yogyakarta: UGM. 22 (2): 107–119.

Siswanto (2007). Pendidikan Sebagai Paradigma Pembebasan. Tadris. Volume 2, Nomor 2, 2007: 250-263.

Nardi Maruapey

Alumnus Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Darussalam Ambon

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content