Ki Hadjar Dewantara
Ki Hadjar Dewantara

Belum lama ini, Kemendikbud mengeluarkan rencana kebijakan tentang penyederhanaan kurikulum 2021 untuk sekolah menengah atas yang cukup menuai polemik. Rencana kebijakan tersebut berkisar mengenai—apakah pelajaran sejarah di sekolah baiknya diletakkan sebagai pelajaran wajib atau hanya sekadar pelajaran pilihan?

Kemendikbud sendiri berencana untuk menjadikan pelajaran sejarah sebagai mata pelajaran pilihan. Rencana perubahan ini tertuang jelas dalam draf sosialisasi Penyederhanaan Kurikulum dan Asesmen Nasional tertanggal 25 Agustus 2020.

Belum lama setelah dikeluarkannya rencana kebijakan ini, kritik sudah banyak dilayangkan oleh berbagai kalangan, mulai dari masyarakat biasa hingga akademisi — kritik-kritik tersebut membanjiri kanal media guna menentang keputusan tersebut.

Presiden AGSI (Asosiasi Guru Sejarah Indonesia) Sumardiansyah Perdana Kusuma pun mengecam rencana tersebut. Mengutip Tirto.id, ia menyatakan, meskipun

Sejarah memang tidak dihapuskan di jenjang ini, melainkan direduksi keberadaannya,” ia tetap menilai bahwa “Ini kebijakan yang keliru, sebab kami belajar sejarah adalah karena sebuah keharusan, bukan pilihan.1

Saya bersepakat dengan apa yang diutarakan oleh Sumardiansyah tersebut. Menurut saya, dikeluarkannya rencana kebijakan yang polemik tersebut dikarenakan dua hal.

Pertama, kesadaran kita akan pentingnya sejarah masih begitu minim. Kita cenderung meremehkan sejarah. Bagi kebanyakan dari kita, sejarah —alih-alih dilihat sebagai bagian dari identitas ke-dirian yang sangat penting— cenderung dilihat hanya sekadar fakta kering dalam kurikulum dengan seonggok cerita masa lalu yang dipelajari semata-mata hanya untuk nilai dan ijazah.

Kedua, terdapat masalah dalam metodologi pengajaran sejarah kita yang membuat sejarah kini menjadi begitu terasing. Cara kebanyakan pendidik dalam mengajarkan sejarah selama ini, menurut saya masih kurang efektif.

Tenaga pengajar notabene semata-mata hanya terfokus pada fakta (waktu dan tempat) sejarah saja, dan kurang menangkap nilai-nilai kearifan di dalamnya. Seperti yang dikatakan oleh Said Hamid, Guru Besar Pendidikan Sejarah UPI (mengutip koran Kompas) bahwa

… Pelajaran sejarah memang harus berubah. Kita harus ajarkan jiwa kejuangan dan inovatif.” Menurut Said, ini karena “Kalau hanya sekadar mengajarkan fakta, itu hanya mengajarkan abu sejarah.

Bagi saya, sejarah semestinya diajarkan dengan cara yang lebih seronok, sederhana, dan komplementer — yang mampu menangkap pesan tersirat di balik sebuah cerita. Karena harus diakui bahwa pelajaran sejarah bagi kebanyakan orang relatif membosankan.

Kebosanan ini muncul — karena bagi mereka, sejarah tak lebih dari sekadar campuran nama, tanggal, dan tahun yang melekat pada peristiwa masa lalu dan sosok yang sudah lama meninggal. Sejarah yang lazim diajarkan kepada kita akhirnya terasa hambar. Bukan karena sejarah yang tidak menarik, tetapi karena penyampaian yang kurang maksimal.

Sistem yang kita gunakan dalam mempelajari sejarah selama ini bukanlah sistem yang tepat dan efektif untuk mendalami dan memaknai sejarah. Tentu saja, mengetahui fakta kapan terjadinya suatu peristiwa sejarah adalah penting. Tetapi sejarah jauh lebih dari sekadar peristiwa, tanggal, dan perang di sana-sini.

Singkatnya, sejarah adalah studi tentang bagaimana sesuatu itu berubah, dan inilah alasan mengapa sejarah menjadi salah satu disiplin ilmu yang sangat penting.

Sejarah menuntut kita untuk merasakan perubahan tersebut, yang dengan begitu ia dapat memberikan konteks yang terang untuk segala sesuatu yang kita lihat di sekitar kita hari ini. Karena kunci untuk memahami dunia tempat kita berada sekarang adalah dengan melihat mengapa sesuatu itu terjadi dan bagaimana hal itu bisa terjadi. Mari kita bayangkan, apa jadinya filsafat tanpa catatan-catatan Plato? Apa jadinya musik tanpa Beethoven? Apa jadinya pendidikan kita tanpa Ki Hadjar Dewantara? Dan apa jadinya hukum tanpa Hammurabi?

Sejarah memberikan kita aset yang mungkin kita tidak dapatkan dalam mata pelajaran lain seperti sains, ialah waktu. Waktu mengungkapkan hal-hal yang mungkin tidak dapat kita lihat di masa sekarang. Waktu mengungkapkan banyak hal, misalnya apa yang kita sukai, dan dengan siapa kita lebih suka untuk menghabiskan waktu?

Melalui sejarah, memahami perubahan waktu kiranya dapat memberikan kita solusi untuk mencapai suatu masalah, atau—hal-hal sepele yang secara fundamental mungkin dapat mengubah jalannya sebuah peristiwa. Fungsi ini dapat mencegah kita untuk meremehkan pengalaman diri sendiri, serta menunjukkan pada kita bahwa setiap keputusan yang diambil saat ini merupakan akibat dari keputusan di masa lalu.

Adalah penting untuk memahami hal tersebut dengan lebih kohesif. Di lain sisi, pada tingkat yang lebih partikular sejarah juga berkenaan dengan masa lalu manusia secara individual. Ia membentuk sebuah nilai atau persepsi tentang siapa kita, mulai dari masalah keyakinan — atau bahkan sampai pada selera makan.

Mari kita gabungkan sejarah individual ini dan dari sini kita akan mendapatkan apa yang disebut dengan “ingatan kolektif.” Ingatan kolektif merupakan cerita tentang sekelompok orang yang terikat oleh karakteristik umum atau masa lalu yang sama. Kelahiran Indonesia adalah salah satu bukti dari ingatan kolektif ini.

Sejalan dengan apa yang sudah diutarakan oleh Pembina Pengurusan Pusat Perkumpulan Program Studi Sejarah, Agus Mulyana; mengutip koran Kompas, ia berpendapat bahwa “Dengan mempelajari sejarah, siswa (akan) mempunyai memori kolektif yang pada akhirnya membentuk kepribadian.”

Dengan memahami hal sederhana ini kita mendapatan pelajaran mengenai diri sendiri. Siapa diri kita dan dari mana kita berasal, serta mungkin ke mana kita akan pergi. Singkatnya, identitas komunal/kolektif juga merupakan identitas individual yang bertautan dengan rentang waktu sejarah itu sendiri — bahwa identitas sebuah bangsa terletak pada sejarah masing-masing individu di dalamnya.

Karenanya adalah sebuah keputusan yang fatal apabila kita menomor duakan sejarah. Tak heran Sumardiansyah mengutarakan kekhawatirannya kepada mereka yang tidak belajar sejarah bahwa “Mereka tidak (akan) tahu siapa dia, (dan) tidak punya ideologi kebangsaan.” Ia menambahkan, “Mempelajari sejarah saja bangsa ini (masih) mengalami krisis. Apalagi tidak mempelajarinya.”

Sejarah merupakan bagian yang krusial dari identitas kita, baik sebagai individu maupun bangsa, menghilangkan atau mengabaikannya sama saja dengan membuang jati diri kita sendiri. Apa yang kita butuhkan saat ini adalah — bukan dengan menjadikan sejarah sebagai opsi yang kapan saja bebas untuk diabaikan, yang kita butuhkan ialah bagaimana kita dapat menjadikan sejarah sebagai cerminan atau bagian penting dari jati diri kita — sejarah harus menjadi sebuah keharusan.

Meskipun pendahulu kita hidup di waktu yang berbeda, mengenakan pakaian yang berbeda, sarapan hidangan yang berbeda, dan hidup di situasi yang berbeda, namun hakikatnya, hal yang menghubungkan kita dengan para pendahulu ialah perasaan, kisah, dan cita-cita yang terangkum oleh catatan sejarah. Tema universal seperti cinta, kemenangan, rasa sakit, dan tragedi menggema dalam tiap bait kisah mereka—dan dari sana mereka meninggalkan jejak kebijaksanaan yang darinya kita mungkin bisa belajar.

Fadlan A.M Noor

Alumni Filsafat IAIN Palu.

Catatan

  1. https://tirto.id/kemdikbud-batasi-pelajaran-sejarah-asosiasi-guru-sejarah-keliru-f4Lu

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.