Slavoj Zizek

Di perempat bulan ke lima, seorang tuan penggilingan zaitun hendak mengadakan pesta bagi sahabat dan orang-orang pilihannya. Undangan disiarkan melalui perbincangan dari tiap kepala pedagang, petugas pajak dermaga, petinggi kota, hingga buruh di tepi pantai. Saat pesta dihelat, seluruh undangan datang mengenakan jubah terbaiknya. Namun gemerlap pesta terusik oleh kerumunan pengemis dan kawanan tunawisma di luar ruangan. Saat tuan pesta meninjau kerumunan di luar tersebut, ia tertegun dan terusik melihat pengharapan di mata mereka. Kepapaan mereka menyentuh dan merasuk ke dalam perasaan sang tuan hingga ia tidak kuat menahan. Tuan yang tengah berbahagia tersebut lalu meminta pelayan untuk mengusir para pengemis. Baginya, kebahagiaan tidak sempurna bila ia masih melihat penderitaan. Melihat kemiskinan hanya menghadirkan kepedihan dan ia tidak ingin hal menggelisahkan tersebut singgah terlalu lama di dalam dirinya.

Tuan yang tengah berpesta ialah salah satu subjek pembahasan paradoksial Slavoj Zizek. Dalam bukunya, Mati Ketawa Cara Slavoj Zizek, ia menyatakan bahwa hingga hari ini humor lama mengenai tuan yang meminta pada pelayannya, ‘Usir pengemis itu –aku perasa sekali dan tak tahan melihat orang menderita!’ masih relevan. Permintaan tuan untuk mengusir para pengemis mengandung dua kritik logis di mana recta ratio tidak sedang berlaku dalam alasan-alasan moral. Kritik pertama ialah perlawanan makna (paradoks) dari permintaan dan tujuan tuan tersebut. Dalam logika permintaan tuan terdapat induk dan anak frasa yang dapat menguatkan sekaligus melemahkan garis pengertian di dalamnya. Kewajaran paradoks tersebut mengandung perlawanan makna dalam setidaknya dua atau lebih hal. Dalam humor di atas misalnya, tuan yang mendaku tidak tahan dengan kemiskinan dan penderitaan justru mengusir para pengemis. Tuan tersebut ‘menderita’ dan mengusahakan kebahagiaan bagi dirinya dengan membangun jarak dari ketakutannya, ialah kemiskinan. Fungsi ekspresi (rasa iba) dalam perintah sang tuan berbeda dengan fungi informasinya (pengusiran pengemis) hingga menyebabkan silogisme berbenturan dan menimbulkan logika yang sesat.

Kritik kedua ialah kenyataan bahwa manusia bermutasi dalam kemiskinan moral, yang bagi Zizek, merupakan fenomena relevan hingga hari ini. Dalam moral umum –terlepas dari kesepakatan kolektif para tamu mengenai apa yang harus dilakukan oleh tuan tersebut– para pembaca yang budiman akan menyarankan kepada empunya pesta untuk membantu pengemis melepaskan diri dari penderitaan. Sedang bagi Zizek, paradoks permintaan tuan menjadi nyata dengan ragam kebodohan yang menjamur dalam masyarakat, ialah pada tiap-tiap meja pesta, di tiap-tiap keriangan. Kebodohan ini merupakan mode pengingkaran yang manusia pilih karena rendahnya daya laku dan kepekaan moral menghadapi kesenjangan-kesenjangan sosial. Gema kebodohan menguat melalui paradoks yang kian menyedihkan di mana keselarasan pikiran dan panggilan hati dilemahkan. Zizek memprediksi bahwa dalam satu atau dua dekade lagi humor ini dimungkinkan semakin relevan. Kebodohan yang sama akan kita lakukan sendiri dalam realitas alih-alih dalam bingkai humor. Andai tuan adalah kita, kemungkinan paling banal bukan berupa pengusiran terhadap kaum papa di luar ruang pesta melainkan penebaran rejeki yang tak seberapa, agar mereka saling berebut dan menginjak, serta pulang dengan kepuasan semu bahwa mereka telah pula disertakan di dalam pesta. Di mana banalitas yang demikian ialah bentuk relevansi manusia dalam menyingkirkan rasa iba sekaligus melambungkan keniradaban. Bagi Zizek, masa depan mereka yang tidak mampu menyelaraskan rasio dan moral adalah membuat kebodohan paling ironis melalui ketumpulan moral yang terlembaga dalam masyarakat hingga mengakar di sistem sosial-kebudayaan.

Pendiri LSF Discourse dan saat ini menjadi penasihat lembaga. Pimpinan Redaksi lsfdiscourse.org dan penerbit Discourse Book. Mengajar di Universitas Bina Nusantara Malang.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.