Immanuel Kant adalah “filsuf” terakhir, bukan berarti filsuf besar terakhir.
Jika kamu bertanya-tanya mengapa Immanuel Kant adalah filsuf terakhir, dapat kita lihat dalam departemen filsafat kontemporer, seperti dalam departemen filsafat analitik dan kontinental. Dalam banyak hal, Kant adalah filsuf terakhir bagi filsafat analitik dan filsuf pertama bagi filsafat pos-metafisik atau kontinental. Ada yang disebut sebagai Kantian Split atau pembagian filsafat Kantian, dengan kata lain Kant melakukan sesuatu yang sangat radikal sampai-sampai Kant sendiri tidak menyadari telah membuat pembagian sepanjang sejarah pemikiran filsafat barat.
Setelah Kant, tidak banyak orang yang ingin menjadi filsuf. Hegel tidak memandang dirinya sebagai filsuf dalam logika transendental Kant. Karl Marx pula tidak memandang dirinya sebagai filsuf seberapapun Friedrich Engels ingin menjadikannya filsuf. Semua pemikir besar setelah Kant tidak lagi memandang dirinya sebagai praktisi filsafat. Pertanyaannya menjadi, jika mereka tidak sedang berfilsafat, lalu apa yang sebenarnya mereka lakukan?
Kita mulai dari Slavoj Zizek. Zizek mempunyai satu kutipan favoritnya dari Claude Levi-Strauss yang menjadi cara Zizek dalam melakukan pendekatan terhadap filsafat dan metafisika secara general. Levi-Strauss menggambarkan seorang antropologis yang sedang berkunjung ke sebuah suku pedalaman yang hidup di dalam hutan. Lalu para antropologis ini meminta warga suku pedalaman untuk menggambarkan peta tempat mereka tinggal. Dan dia mendapatkan dua gambar peta yang berbeda secara esensial. Peta yang pertama menggambarkan satu gubuk besar dan megah di tengah dan gubuk-gubuk kecil yang mengitarinya. Sebuah peta yang mengindikasikan suatu ketidaksetaraan secara sosial. Bukti dari gagasan di mana yang kaya tinggal di kluster, sisanya tinggal di pemukiman kumuh. Sedangkan yang satu lagi adalah peta yang menggambarkan setiap gubuk yang tersusun sejajar dengan selaras dan rapi. Kemudian sang antropologis pun naik helikopter dan terbang ke udara untuk memverifikasi mana dari kedua peta –antara peta kesenjangan sosial dan peta kesetaraan sosial– yang mendekati kebenaran empiris. Dan ternyata kedua peta ini sama sekali tidak akurat. Mereka tidak berada dalam suatu kesenjangan ataupun kesetaraan.
Insight terpenting yang ingin Levi-Strauss berikan adalah fakta bahwa sesungguhnya kedua peta tersebut tidaklah benar, namun pemisahan atau antagonisme sosial ini adalah ketidakmampuan membentuk satu peta yang benar-benar menggambarkan seperti apa bentuk sosial di dalam masyarakat. Itulah yang menggambarkan karakteristik masyarakat modern. Dengan kata lain, suku pedalaman ini sedang berada di jurang peradaban modern, bukan karena pencapaian teknologisnya, tetapi karena adanya disonansi fundamental tentang cara menggambarkan kualitas relasi sosial di dalam suku tersebut. Itulah yang menjadi fitur sosialisasi secara fundamental. Yang membentuk masyarakat adalah disonansi, ialah distorsi spektral yang mendefinisikan masyarakat itu sendiri.
Theodor Adorno menggambarkan bahwa ada dua kubu yang muncul ketika para intelektual mencoba untuk menjelaskan suatu peradaban, yang pertama adalah kubu individualis yang menjelaskan bahwa peradaban sejalan dengan nilai-nilai suatu pencerahan dengan dorongan untuk mengejar suatu keuntungan, kesenangan individual dan motif. Yang berarti bahwa semakin kita beradab, maka semakin berkurang pula bentuk kolektivitas kita. Atau kubu kedua yang merupakan para kolektivis, yang berpendapat bahwa ada dikotomi yang salah antara peradaban dan egalitarianisme, yang sebenarnya ada suatu bentuk masyarakat maju dan egaliter. Jawaban Adorno terhadap pembagian dua kubu tersebut sama seperti Levi-Strauss, bahwa tidak ada satupun yang benar di antara dua perspektif itu. Menurut Adorno masyarakat justru adalah beberapa orang (biasanya orang kaya) yang berperan menjadi wadah dan kesempatan, sedangkan orang-orang yang tidak kaya melihat semua secara inheren tidak setara.
Mengapa Zizek begitu tertarik dengan gagasan Levi-Strauss?
Zizek berpendapat bahwa secara spektrum politis, pemahaman tentang adanya pembagian antara kiri dan kanan, sudah merupakan gestur sayap kiri. Sebaliknya pula ketika mengatakan bahwa masyarakat sedang berada pada suatu spektrum di mana ada pusat yang memegang kuasa dan adanya penyimpangan dari tengah idealisme tersebut, sudah tentu merupakan gestur sayap kanan. Kembali pada logika dari analogi cerita Levi-Strauss, yang menggambarkan dua peta dalam perkampungan suku Indian. Satu orang menggambarkan sebuah masyarakat yang setara, dan yang lain menggambarkan masyarakat yang timpang, (dan ingat) tidak ada dari keduanya yang benar.
Komunitas yang termarjinalkan di dalam suku tersebut menuduh masyarakat mereka sedang berada dalam kondisi timpang, itulah yang menjadi penanda utama mereka. Dan orang-orang yang kaya menggambarkan sebuah peta tentang masyarakat yang setara, itu yang menjadi prinsip utamanya. Yang menjadi poin penting di sini adalah keduanya merupakan distorsi, mereka bersandar pada sebuah penanda utama (master signifier). Yang satu bersandar pada universalisasi kesetaraan dan sentrisme, dan yang lain bersandar pada universalisasi bahwa semua tereduksi dalam konflik ketimpangan.
Dari sini kita bisa membuat suatu lompatan ontologis terlepas dari spektrum politis, di mana marxisme pada akhirnya, tidak kurang dan tidak lebih, menjadi pengulangan dan usaha terus menerus untuk menyoroti dan menunjukkan universalitas palsu. Dalam kasus ini, jika kita lihat lagi lewat pembagian sentris kanan dan kiri, posisi kedua sentris ini adalah universal palsu, dengan kata lain, kondisi universal dari masyarakat adalah pusatnya dan untuk menjadi kiri atau kanan adalah pembagiannya. Segera setelah menunjukkan kesalahan dari universalitas dan ideologi yang mendasarinya (yang sering dikatakan ideologi borjuis) maka siapapun itu telah menjadi bagian dari sayap kiri.
Karena sekarang kita sudah tidak dapat lagi melihat masyarakat sebagai pusat, yang kemudian darinya muncul sayap kiri dan kanan, melainkan masyarakat yang terbelah menjadi kiri dan kanan, di pusatnya merupakan universalitas yang salah. Dari perspektif ontologis, kita menemukan perbedaan yang mendasar di sini. Di dalam bingkai sayap kanan, kita mulai dari pusat, kemudian antara kamu memilih sayap kiri atau sayap kanan. Menurut perspektif kiri, sedari awal tidak ada yang namanya pusat, pusat merupakan hal yang simtomatik, dengan kata lain, penolakan kesenjangan antara kiri dan kanan, pusat muncul sebagai manifestasi dari penolakan tersebut, atau dengan kata lain penolakan. Teori Zizek tentang politik kiri dan kanan, memiliki dimensi ontologis; adakah pusat secara apriori ada, yang kemudian terjadi pembagian? Ataukah, antagonisme a priori perjuangan kelas secara retroaktif memunculkan ilusi akan adanya pusat? Dua posisi ini secara radikal berbeda.
Dari sini kembali kita melakukan sebuah lompatan, kita membicarakan gagasan mengenai masyarakat; manakah yang menjadi dominan? Apakah itu kesetaraan? Ataukah kesenjangan?
Fredric Jameson dan Calvinisme
Ada satu gagasan yang menarik dari seorang filsuf sekaligus kritikus literatur, Fredric Jameson. Jameson memiliki satu konsep filsafat bernama penengah yang menghilang (Vanishing Mediator). Ia melihat suatu peristiwa historis; relasi antara Calvinisme dan industrialisasi. Dia menghubungkan cara Calvinisme menghadirkan individualisasi kebaikan tertentu seperti sikap kerja keras, pengorbanan, dan penghematan; mereka mengesampingkan kesenangan demi imbalan di masa depan, dan lain-lain. Moralisasi yang implisit di dalam etika individualis Calvinis itu kemudian direlasikan dengan kemunculan masyarakat industrial. Yang sangat penting untuk diperhatikan di sini adalah Jameson tidak mengatakan bahwa etika Calvinis memasuki era industrialisasi, atau mengatakan bahwa Calvinisme menciptakan masyarakat industri. Jameson memberikan argumen yang cukup rumit; apa yang terjadi dengan Calvinisme bukankah kehidupan sekuler menjadi lebih religius, bukan juga kehidupan religius menjadi lebih sekuler, namun yang terjadi antara kehidupan religius dan kehidupan sekuler di abad ke-19 adalah kehidupan sekuler menjadi sangat religius, yang kemudian membuatnya tidak lagi religius; sebutan lain untuk masyarakat itu adalah kapitalisme.
Sistem dari kapitalisme menyerap etika Calvinis dan Protestan, dan tidak hanya diuniversalisasikan tetapi juga membuatnya menjadi standar yang mana katalisator aslinya menghilang. Dengan kata lain, kita tidak mengalami hidup di dalam kapitalisme sebagai bagian partikular dari Calvinis, justru karena setiap aspek dari hidup kita diilhami oleh etika Calvinisme.
Yang menjadi poin penting dari Jameson di sini adalah bukan mengatakan kapitalisme diam-diam adalah Calvinis atau diam-diam Kristen Protestan, tetapi mengatakan bahwa yang terjadi adalah etika Calvinis menjadi sangat universal dan secara universal pula terserap ke dalam etika kerja kapitalis di mana (anehnya) Calvinisme sendiri yang menghilang. Kehidupan religius teruniversalisasikan di dalam kapitalisme dan kemudian memudar. Dengan demikian kehidupan sekuler sekarang benar-benar sekuler, tapi masyarakat memperlakukannya seolah-olah itu religius. Cara kita berpartisipasi di dalam kapitalisme tidak terlalu berhubungan dengan material kognitif atau sikap rasional empirik pencerahan, tetapi justru bergantung fanatik pada prinsip motif keuntungan. Bukan kapitalisme yang telah menghancurkan agama atau agama telah mengambil alih kapitalisme. Poinnya adalah menurut Jameson, kapitalisme hanya eksis sebagai bentuk penyangkalan agama. Atau dengan kata lain, agama diuniversalisasikan dan di saat yang bersamaan, diputarkan dari bentuk konten positifnya. Itulah yang disebut Jameson sebagai Vanishing Mediator. Itulah mengapa Hegel mengatakan bahwa rahasia dari Mesir adalah rahasia Mesir itu sendiri. Karena kita tidak dapat memprediksi apa yang akan ditemukan sejarawan di masa depan tentang hidup kita. Dengan kata lain, yang menjadi pendorong utama masa depan sudah ada di masa sekarang, namun kita tidak dapat melihatnya.
Kant sang filsuf terakhir
Kita tidak dapat mengantisipasi bagaimana masa depan akan tertanam di masa sekarang. Dari perspektif ontologis Hegel (Hegel bukanlah filsuf yang memahami masa lalu) burung hantu yang keluar berburu ketika malam tiba, dia tidak mengatakan dia mau berburu. Kita hanya bisa mengetahui ketika segalanya telah terjadi, dan mengatakan bahwa tidak ada batasan temporal yang ketat antara masa sekarang dengan masa depan. Masa depan adalah mediasi atau negasi dari apa yang ditolak di masa sekarang. Itulah mengapa Marx masih berada di dalam kerangka Hegelian. Marx berargumen bahwa masa depan yang merupakan penyangkalan masa sekarang bukan sesuatu hal yang terjadi secara murni pada level abstrak dalam filsafat, tetapi pada tingkatan material di mana kelas, masyarakat, dan kesadarannnya terbentuk.
Hal ini pula terjadi di dalam sejarah filsafat barat. Seperti yang penulis nyatakan di awal, Kant adalah filsuf terakhir. Dengan kata lain Kant telah memikirkan hal yang sangat radikal, yang meruntuhkan pondasi utama dari filsafat itu sendiri. Perlu dicatat bahwa Hegel dalam tanda kutip; mengoreksi Kant bukan dengan melampaui Kant, bukan mengatakan bahwa inilah yang meleset dari Kant, bukan untuk menunjukkan bahwa akulah pemikir hebat. Hegel hanya sekedar menunjukkan betapa radikalnya Kant. Kant tidak sepenuhnya menyadari betapa monumental wawasan yang ia temukan, gagasan yang telah ia pikirkan, atau konsepsi yang telah ia tuliskan. Hal ini membenarkan yang menurut Hegel, gagal untuk kita sadari. Hal yang sangat penting dalam satu momen yang sedang kita jalani akan menjadi tugas sejarawan masa depan, merek yang akan menyusun apa-apa yang penting dari yang telah terjadi dan tidak kita sadari saat ini.
Lalu apa yang membuat Kant menjadi sangat penting? Apa yang membuat gagasan Kant sangat radikal? Hegel memiliki ide tentang kekristenan dalam kejadian penyaliban, hal yang mati di kayu salib bukan sekedar Kristus, tetapi gagasan tentang Tuhan di atas; dengan kata lain yang meninggal di kayu salib memiliki dimensi transendental dari Iman Kristiani. Yang mati di kayu salib adalah gagasan adanya Dewa yang sangat berkuasa yang mempengaruhi dan berinteraksi dengan apa yang ada di alam semesta. Yang mati adalah Tuhan, dimensi transendental dalam hubungan dengan Tuhan. Hey Google seperti biasa mengatakan bahwa setiap masalah memiliki solusinya sendiri, dengan kata lain, kematian yang seharusnya dari Tuhan yang transendental juga merupakan kelahiran atau awal dari Tuhan yang lebih powerfull.
Dari titik inilah kita mengawali Kant. Kant masih mempercayai Tuhan yang transendental ini, yang artinya pula Kant percaya bahwa filsafat adalah untuk mengejar bentuk pengetahuan transendental, yang mana itu bukanlah nalar (Reason). Mengapa bukan Nalar? Karena Menurut Kant, nalar bukankah cara kita mengakses Tuhan yang di atas, melainkan, nalar adalah penghalang yang mencegah kita untuk mengetahui bentuk tertinggi itu. Bentuk tertinggi inilah yang disebut dengan benda pada dirinya sendiri (das ding an sich). Problem yang dimiliki Kant adalah bahwa kita ingin mengetahui benda dalam bentuk murninya, atau bentuk transendentalnya atau bentuk tertingginya; namun ketika nalar terlibat hal tersebut menjadi kacau. Inilah antinomi menurut Kant. Segera ketika kita berusaha mengakses pengetahuan kita mengenai Tuhan yang di atas, yang menciptakan benda pada dirinya sendiri, atau realitas eksternal dari objek, kita dipertemukan dengan penghalang yang tidak dapat dipisahkan (antinomi seperti contoh kehendak bebas dan determinisme); sebuah paradoks logis yang tidak dapat diselesaikan.
Penting untuk dicatat bahwa antinomi yang dibicarakan Kant adalah sebuah penghalang yang menjauhkan kita dari pengetahuan tertinggi. Sebuah gerbang yang menghalangi kita untuk bergerak menuju Tuhan, adalah gerbang nalar manusia itu sendiri. Dengan mengatakan bahwa ada batas dari apa yang bisa kita ketahui, sama dengan mengatakan bahwa nalar menghalangi kita untuk mendapatkan pengetahuan murni. Terlihat bahwa Kant adalah seorang anti-nalar di sini. Kant memiliki gagasan yang sering disalahpahami bahkan disalahgunakan; tanpa Tuhan maka tidak akan ada moralitas. Contohnya adalah Gore Vidal, seorang Atheis yang mengatakan, “Bagaimana bisa seseorang menganggap bahwa satu-satunya alasan orang memilih untuk menjadi baik atau buruk adalah karena mereka takut adanya hukuman Tuhan, atau mereka menyenangkan Tuhan?” lanjutnya, “Jika Tuhan yang seperti itu eksis, maka aku tidak ingin percaya padanya.” Pernyataan Vidal ini merupakan respon normatif atheis, yang dengan kata lain menyatakan, “Kenapa aku perlu menganggap bahwa ada Maha Pencipta yang akan memberi hadiah jika aku berbuat baik, dan hukum jika aku berbuat jahat?” Gagasan Kant secara tegas tidaklah normatif, melainkan ontologis. Moralitas kegagalan nalar manusia dan bukanlah sebuah kalkulasi. Dengan kata lain, jika manusia tahu apa yang baik adalah baik dan apa yang buruk adalah buruk, manusia tidak membutuhkan moralitas.
Moralitas bukanlah sebuah tanda dari bentuk sistem keadilan yang sempurna, yang berarti melakukan kebaikan akan mendapat imbalan, sedangkan yang melakukan keburukan akan mendapat hukuman. Moralitas adalah kegagalan yang absolut, perlu tidaknya moralitas disebabkan karena kita tidak dapat memastikan secara objektif mana yang baik dan buruk. Dan untuk mengakui atau menandai kegagalan nalar kita terhadap yang baik dan yang buruk, kita terjebak dalam hal terbaik setelahnya, adalah moralitas. Jadi dalam etika Kantian, moralitas bukanlah jawaban atas mana yg baik dan jahat, tetapi moralitas adalah kemustahilan yang mendasar untuk memastikan secara rasional perbedaan antara baik dan buruk. Moralitas bukanlah hasil kalkulasi dari pengetahuan tentang kebaikan absolut atau kejahatan absolut, tetapi penamaan manusia atas kebingungannya yang mendasar terhadap mana yang baik dan buruk. Tentu pandangan Hegelian akan berkata bahwa tidak ada yang baik dan jahat, moralitas itu sendirilah yang menciptakan baik dan buruk.
Jika menarik gagasan itu kembali pada gagasan antinomi, kita dapat melihat kemiripan di sini. Kant mengatakan bahwa setiap kali kita mencoba untuk menalarkan dunia atau mencoba untuk mendapat sifat asli dari benda pada dirinya, kita terjebak dengan fakta bahwa kita tidak dapat mengetahuinya, fakta bahwa kita tidak dapat menggapai otoritas tertinggi yang dalam arti tertentu; memformalisasikan keterbatasan nalar menjadi gagasan antinomi. Tentu ini sejalan dengan apa yang disebut Kant sebagai moralitas. Moralitas bukanlah sebuah sistem peraturan, moralitas adalah sebuah formalisasi ketidaklengkapan dan inkompatibilitas dari nalar manusia dengan pengetahuan murni.
Di sinilah Kant sudah sangat sangat radikal, tanpa menyadari betapa radikalnya dia. Dan kita membutuhkan seorang Hegel untuk datang, untuk menyadarkan Kant apa yang telah disadarinya. Inilah mengapa menurut Zizek, Kant adalah vanishing mediator dari pergerakan pos-metafisika Hegelian, baik itu Hegel sendiri, Marx, Kierkegaard, dan para filsuf lainnya. Seolah-olah Kant telah memudar dengan lahirnya para filsuf lain, tetapi semua filsafat setelah Kant secara universal terilhami dengan problem Kantian ini. Dan tentunya, kita bisa menunjuk ke arah sifat analitik sebagai penolakan pangkalan dari revolusi Kantian. Dengan kata lain, jika kita membuat sebuah analogi mentah dari pemisahan sayap kiri dan sayap kanan di dalam masyarakat. Jika kita mengatakan yang dimaksud dengan kiri adalah perspektif pada masyarakat sebagai sebuah ketimpangan antara siap kiri dan sayap kanan, dan siapa yang dimaksud dengan kanan adalah perspektif kepada masyarakat yang awalnya terpusat tetapi kemudian terpisah menjadi kiri dan kanan, maka secara kuantitatif, filsuf analitik adalah mereka yang menolak untuk mengakui adanya pemisahan, dan masih melihat sentrisme terhadap pengajaran filsafat yang transendental. Para filsuf Post Kantian yang melihat sebuah keterpisahan wajar dengan fakta bahwa setelah Kant, menyatakan bahwa tidak akan pernah ada lagi pusat atau tidak akan pernah ada lagi pengejaran transendental.
Poinnya di sini adalah mengenai respon Hegel terhadap Kant. Secara esensial, Hegel mengatakan bahwa Kant telah menciptakan sebuah celah antara Tuhan sebagai otoritas transendental dengan nalar manusia. Kant mengatakan adanya celah ini, yang mana terformalisasikan melalui antinomi, yang dengan kata lain kita tidak memiliki akses menuju bentuk pemikiran murni dan penghalangnya adalah Nalar yang antinomikal seperti contoh kehendak bebas dengan determinisme. Pandangan Hegel terhadap Kant adalah apa yang kita alami sebagai sebuah rintangan, tidak dapat diatasi, yang faktanya adalah realitas eksternal. Apa yang ingin Hegel tunjukkan adalah realitas eksternal tidaklah dibalik antinomi, melainkan di dalam antinomi itu sendiri. Jadi yang nampak sebagai sebuah rintangan fundamental terhadap realitas eksternal atau dimensi tertinggi dari pengetahuan sudah berada di dalam antinomi itu sendiri. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Levi-Strauss tentang orang pedalaman atau yang Adorno rumuskan sebagai masyarakat, daripada mengatakan bahwa penduduk pedalaman ini tidak modern atau terhalangi karena tidak dapat menentukan apakah mereka hidup dalam kesetaraan ataukah kesenjangan, maka yang sebenarnya adalah itulah kebenaran masyarakat tersebut. Realitas eksternal ada pada rintangan yang dialami, itulah esensinya. Esensi tidak ada di balik penghalangnya, melainkan di dalam penghalang itu sendiri. Kant masih sibuk dengan tingkatan transendental di mana ia percaya bahwa di balik antinomi, ada sebuah realitas eksternal.
Pandangan Hegelian adalah cara untuk menunjukkan adanya realitas eksternal atau dimensi esensi di dalam keterpisahan antara esensi dan yang nampak benar ada di dalam antinomi. Akhirnya, di sini kita bisa melihat bahwa hal ini juga penting bahkan menurut Zizek. Yang biasa Zizek lakukan adalah ia mengambil struktur bangunan Hegelian-Kantian dan membacanya melalui pemikiran Jacques Lacan. Lacan mengambil keterpisahan klasik antara esensi dan yang nampak, lalu mengatakan bahwa sebenarnya mereka tidak terbagi atau terpisah melainkan esensi hanya muncul melalui yang nampak, atau esensi hanya muncul melalui hal yang nampak, atau terlihat sebagai penghalang. Hal yang menurut Kant antinomi (yang menurutnya adalah sebuah fenomena atau penampakan) adalah satu-satunya cara untuk esensi bisa muncul.
Itulah mengapa hermeneutika Marxis ada untuk menunjukkan gestur kesalahan universalisasi, bahwa tidak ada esensi di balik yang nampak, bahwa esensi terletak di dalam yang nampak. Lacan menyebut antinomi sebagai the real. Penolakan sosial antagonisme, suatu ciri yang menentukan atau mendefinisikan setiap masyarakat Lacan menyebutnya. The Real adalah apa yang tidak bisa dipersepsikan dengan baik, karena hal tersebut dengan sendirinya eksis sebagai sebuah formalisasi dari ketidaklengkapan atau ketidaksesuaian, atau ketidakselesaian. Menurut Lacan, serupa dengan Marx, dan serupa dengan Hegel; ketidaklengkapan dari realitas eksternal adalah satu-satunya cara di mana realitas eksternal memanifestasikan dirinya. Dengan kata lain, yang Kant pikir sebagai rintangan menuju realitas eksternal faktanya dapat menjadi satu-satunya cara di mana realitas eksternal memanifestasikan dirinya.
Kembali pada gagasan teologi Hegel, bahwa yang mati di kayu salib adalah gagasan dari Tuhan Yang transendental. Itu pula yang terjadi pada Kant, di mana ia menyatakan bahwa yang mati bukankah nalar manusia melainkan realitas eksternal atau bentuk tertinggi dari pengetahuan yang bisa didapat. Akhirnya setiap orang memiliki pilihan, entah mereka menghormati kematian ini dan mereka move on menjadi pergerakan post metafisika, post Kantian, kontinental teoritis; atau mereka menolak keterpisahan fundamental ini dan mereka menjadi analitik. Penulis tentu saja tidak sedang mengatakan bahwa filsafat analitik itu buruk. Sekarang banyak dari antara mereka dapat memperkaya pengetahuan, hanya saja bertumpu pada penolakan fundamental yang sebagaimana mestinya menjadi inti radikal dari revolusi Kantian. Hal ini kemudian berujung pada pembagian yang sama seperti yang diawal dijelaskan mengenai ide Zizek mengenai sayap kiri dan sayap kanan. Jika kita percaya bahwa ada awalnya ada satu Pusat yang kemudian terbagi menjadi politik kiri dan kanan, maka kita mengakui adanya sejenis kategori transendental.
Kita mempercayai bahwa ada suatu hal yang disebut sebagai pengetahuan politik murni dan setiap hal yang kita lakukan adalah sebuah penghalang yang kita bergerak menjauhinya. Sedangkan pendekatan post Kantian mengatakan bahwa yang pusat ini tidak ada sejak awal, bahwa tidak ada realitas eksternal tidak ada bentuk murni, bahwa tidak ada kemurnian eksistensi sejak awal; tetapi justru melalui social antagonism fundamental yang ditolak berujung pada simptomatik retroaktif ilusi akan pusat. Tidak ada inti dari yang pusat ini selain premis simptomatiknya, atau secara filosofis tidak ada esensi di tengah atau di pusat slime dari penampakannya. Esensi muncul melalui yang nampak. Dari sini kita dapat melihat bahwa antara revolusi filosofis Kantian, terdapat fakta di mana Hegel menunjukkan konsekuensi ontologis yang semestinya dari pandangan Kant, penolakan yang menyebabkan pemisahan di dalam tradisi historis filsafat barat, dan juga yang menjadi alasan dari pertanyaan “Mengapa setelah Kant, semua filsafat menjadi terpolitisasi?” Karena sebagai pengakuan pada level ontologis dari mekanisme tertentu yang terjadi dalam antagonisme sosial, serta memformalisasikannya adalah apa yang Marx, Althusser, para filsuf post-Althusser, dan Alain Badiou coba lakukan. Saat ini, seketika kamu akan menyadari bahwa seluruh bangunan filsafat telah terbuka padamu.
Novan Gebbyano
Anggota Departemen Penelitian dan Pengembangan Lingkar Studi Filsafat Discourse.
- 04/05/2022
- 30/11/2022
- 05/10/2024