Sejarah perjalanan umat manusia telah melukiskan pengalaman panjang yang melintasi berbagai dimensi kehidupan, terutama dimensi sosial. Dimensi sosial terbentuk dari pola aktivitas masyarakat dalam suatu waktu, kejadian, maupun peradaban. Sejarah telah mengatakan bahwa aktivitas sosial dari berbagai macam peradaban memiliki ciri khasnya masing-masing. Jika kita menilik dari sudut pandang ilmu sosiologi, terutama analisis yang dilakukan oleh bangsa Barat, akan terpetakan dua periode kondisi masyarakat yakni masyarakat tradisional dan masyarakat modern. Menurut Rostow, masyarakat tradisional adalah masyarakat yang masih menggunakan cara produksi yang primitif dan cara hidup masyarakat yang masih dipengaruhi oleh nilai-nilai tradisional (adat istiadat) (Pratama, 2022). Sedangkan masyarakat modern adalah masyarakat yang telah mampu berpikir secara rasional sehingga banyak menciptakan pembaharuan dalam aspek kehidupan, seperti penciptaan teknologi.
Era baru modern (selanjutnya disebut modernitas) adalah sebuah anugerah bagi seluruh umat manusia. Sebenarnya istilah ini telah muncul pada abad ke-5 M untuk menunjukkan batas antara era kekuasaan agama Kristen dan era Paganisme Romawi. Modernitas pada awalnya mengguncang sinkretisme yang dianut masyarakat pada waktu itu. Masyarakat sebelumnya masih menganut dogma tradisi adat dan agama (secara konservatif) sehingga belum berpikiran jauh untuk mencoba berinovasi membuat suatu kebaruan demi mencapai kemudahan akses atas kebutuhan. Demikian juga masih belum bisa menikmati kebebasan secara universal karena masih belum mengembangkan ilmu pengetahuan. Melalui modernitas, inovasi dan kreatifitas manusia semakin maju dan mampu menciptakan berbagai macam pengetahuan dan alat bantu untuk kemudahan aktivitas manusia. Modernitas juga menjadi titik awal baru lantaran ia menawarkan hal-hal baru seperti: pengetahuan, moral, ilmu, kebudayaan, politik dan seni.
Kondisi Dunia Modern Kini
Masyarakat modern mulai meninggalkan karya-karya klasik, warisan masa lampau dan sejarah purbakala karena perilaku modern menjadikan dirinya sebagai perlawanan terhadap hal-hal lama demi mencapai sesuatu yang baru. Perilaku objektivasi juga semakin jelas karena dipengaruhi oleh gaya ekonomi kapitalis untuk memperoleh keuntungan profit yang lebih banyak. Dengan adanya perilaku tersebut, perubahan mulai tampak terlihat signifikan ditandai dengan industrialisasi, urbanisasi, konsep negara-bangsa (nation-state), struktur birokrasi, pertumbuhan penduduk yang tinggi, sistem komunikasi dan kekuasaan baru. Upaya-upaya itu semakin menggeser ke arah paradigma baru, yakni paradigma yang berorientasi pada sebagaimana mungkin manusia dapat lebih banyak memanfaatkan objek. Objek yang manusia gunakan sangat luas meliputi berbagai aspek kehidupan, seperti dengan industrialisasi yang berusaha memanfaatkan bahan alam kemudian diolah untuk menghasilkan produk kebutuhan masyarakat oleh tenaga kerja manusia dan dibantu teknologi mesin. Dengan ini, modernitas dalam teknologi membuka objek pekerjaan manusia yang lebih banyak, sehingga dalam konteks industrialisasi dipandang ampuh dalam mengatasi masalah keterbelakangan, kemiskinan, ketimpangan, dan pengangguran.
Bagaimana Modernitas Bergerak?
Modernitas bukan hanya terbatas pada suatu wilayah tertentu, tapi juga merambah ke seluruh daerah. Ini yang kemudian menjadi salah satu dampak globalisasi. Globalisasi membantu mempercepat proses modernisasi ke seluruh wilayah, baik lintas regional maupun internasional. Bukan hanya itu, penyebaran wacana dan ideologi juga ikut terbawa oleh globalisasi. Hal ini lah yang membentuk paham-paham sosial baru di seluruh dunia. Paham-paham sosial menciptakan pola-pola kebudayaan yang pada akhirnya membuat realitas baru. Produksi realitas ini tak akan berhenti dan selalu memproduksi sampai kapan pun selagi manusia masih menemukan permasalahan dan mencari kebutuhan.
Pengaruh modernitas yang terjadi pada teknologi membuat rentetan perubahan yang kompleks, apalagi dalam sosial-budaya masyarakat. Masyarakat yang semula masih mengandalkan kegiatan kolektif hampir pada setiap aktivitasnya, kini tak harus demikian. Kegiatan yang berhubungan dengan pekerjaan, kini dapat dikerjakan secara individu, karena masyarakat modern dapat bertahan hidup dengan memanfaatkan teknologi media informasi untuk mencari akses pekerjaan. Di balik kemudahan penggunaan teknologi, ada nilai-nilai sosial yang mulai pudar dari masyarakat. Nilai-nilai sosial yang awalnya menjadi sumber norma, silih berubah bahkan menghilang. Moral masyarakat yang konsumtif mulai bermunculan karena industrialisasi semakin marak. Industri yang semula memproduksi ‘kebutuhan’ manusia mulai berganti pada memproduksi ‘keinginan’ manusia. Budaya gotong-royong pun tak luput dari serangan modernitas yang mengakibatkan masyarakat menjadi semakin individualis dengan munculnya media sosial dan informasi.
Sebagaimana yang telah penulis sebutkan di pada bagian sebelumnya, perspektif sosiologi menyajikan dan menganalisis fakta yang terjadi di masyarakat. Sosiologi terbatas pada kemampuannya sebagai ilmu pengetahuan yang netral, sehingga memfokuskan dirinya pada hal yang empirik, yakni mendasarkan pada observasi terhadap kenyataan dan hasilnya tidak bersifat spekulatif. Sosiologi juga bersifat teoritik, yakni berusaha menyusun abstraksi dari hasil-hasil observasi. Dengan kesungguhan para teoritikus Frankfurt, Jerman mengembangkan teori kritis sebagai bentuk kombinasi sosiologi untuk membantu dalam menjawab permasalahan sosial.
Tawaran Teori Kritis Sebagai Pembentuk Kesadaran
Teori kritis mazhab Frankfurt (Die Frankfurter Schule) diasosiasikan oleh sekelompok pemikir berhaluan Marxis di Institut fur Sozialforschung (Institut Penelitian Sosial), di Frankfurt, Jerman. Lembaga ini didirikan oleh Felix Jose Weil pada 23 Februari 1923. Kajian lembaga ini adalah permasalahan sosial masyarakat, terutama sejarah gerakan kaum buruh yang terilhami oleh pemikiran Marxis. Ada 3 pemikiran yang melatarbelakangi pemikir kritis ini, yakni filsafat idealisme Hegel, pemikiran filsafat Karl Marx, dan psikoanalisis Freud. Teori kritis tidak sepenuhnya menggunakan analisis Marxisme, tapi teori kritis lahir sebagai koreksi terhadap aliran Marxisme karena dinilai sangat deterministik ekonomis, sehingga kemudian teori kritis disebut neo-marxisme. Teori Sosial kritis tak dapat dilepaskan dari tiga tokoh pemikir besar penerusnya, yaitu Adorno, Horkheimer, dan Marcuse.
Teori Kritis meninggalkan ajaran Marxisme ortodoks karena kondisi masyarakat modern kini sudah jauh berbeda. Ada beberapa alasan yang mendasari lahirnya teori kritis. Pertama, meninggalkan teori nilai pekerjaan Karl Marx, karena dianggap sudah kehilangan arti. Menurut Mazhab Frankfurt di dalam masyarakat industri maju, nilai pekerjaan tidak lagi menjadi tenaga produktif utama, tetapi ilmu pengetahuan dan teknologi lah yang menjadi tenaga produktif utama. Kedua, meninggalkan analisis kelas yang terbagi menjadi dua (borjuis dan proletar). Menurut Mazhab Frankfurt di dalam masyarakat kapitalisme baru, baik masyarakat atau antara kelas masyarakat, sudah saling menyatu. Perbedaan kelas masyarakat sudah tidak setajam dulu lagi. Dengan demikian, teori tentang kelas proletar (pekerja/ buruh) yang ditindas oleh kelas borjuis (pemilik modal/kapitalis) juga ditinggalkan, karena dalam masyarakat kapitalisme baru penindasan manusia tidak lagi berbentuk penindasan kaum kapitalis terhadap kelas pekerja dan subjek revolusi dari kaum proletar tidak lagi relevan (karena telah terintegrasi dalam suatu sistem masyarakat yang plural), melainkan semuanya ditindas oleh sistem di mana proses produksi yang ditentukan oleh teknologi sudah tidak lagi terkontrol. tidak lagi berbentuk pada penindasan kaum kapitalis terhadap kelas pekerja.
Teori Kritis lahir atas kritik dari teori sosial tradisional yang hanya melihat dan memahami realitas seperti apa adanya, tanpa bertanya mengapa realitas itu bisa terjadi sehingga, menurut Horkheimer hal tersebut justru menutupi “kelemahan” yang tidak berusaha mengubah realitas. Selain itu, teori tradisional memisahkan teori dengan praktis, sehingga tidak berpikir bagaimana teorinya dapat menghasilkan kesadaran yang dapat dijadikan sebagai instrumen tindakan untuk mempengaruhi dan bahkan mengubah fakta/realitas/keadaan yang ada. Narasi yang dibawa oleh teori kritis adalah teori sosial kritis berkeyakinan bahwa tidak mungkin menciptakan tatanan sosial yang merdeka dan berkeadilan, jika kehidupan manusia masih dikendalikan oleh kekuasaan kapitalisme, patriarki, rasisme, dan dominasi yang mendiskriminasi atau mengeksploitasi lainnya. Dalam pandangan Mansour Faqih (Sholahudin, 2020) teori kritis, bukan sekedar berkaitan dengan urusan “benar” dan “salah” tentang fakta atau suatu realitas sosial, tetapi lebih dari itu. tersebut dengan visi utama teori kritis: visi pembebasan manusia dari kungkungan dan hegemoni struktural yang timpang atau tidak adil.
Daftar Pustaka
Fajarni, S. (2022). Teori Kritis Mazhab Frankfurt: Varian Pemikiran 3 (Tiga) Generasi Serta Kritik Terhadap Positivisme, Sosiologi, dan Masyarakat Modern. Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, Vol. 24, No. 1.
Hidayat, M. A. (2019). Menimbang Teori-Teori Sosial Postmodern: Sejarah, Pemikiran, Kritik dan Masa Depan Postmodernisme. Journal of Urban Sociology, Vol. 2, No. 1.Sholahudin, U. (2020). Membedah Teori Kritis Mazhab Frankfurt: Sejarah, Asumsi, dan Kontribusinya Terhadap Perkembangan Teori Ilmu Sosial. Journal of Urban Sociology, Vol. 3, No. 2.