Pemikiran Seyyed Hossein Nasr mengenai sains menawarkan kritik tajam terhadap pandangan dunia modern yang mendasarkan segala sesuatu pada materialisme dan sekularisme. Nasr menganggap bahwa sains modern telah kehilangan dimensi spiritualnya, karena memisahkan ilmu pengetahuan dari wahyu dan tanggung jawab moral manusia terhadap alam semesta. Dalam kosmologi pengetahuannya, Nasr berusaha mengembalikan nilai-nilai tradisional dengan mengintegrasikan antara sains dan spiritualitas. Baginya, sains harus dipandang sebagai sarana untuk memahami realitas tertinggi, bukan sekadar alat untuk mengeksploitasi alam saja (Nasr, 1968).
Salah satu konsep utama pemikirannya adalah Scientia Sacra, atau ilmu sakral, yang menekankan bahwa pengetahuan sejati hanya bisa dicapai melalui keterkaitan antara intelek manusia dan dimensi spiritual. Dalam tradisi Islam, pengetahuan selalu terkait erat dengan wahyu (kalam Tuhan), dan Nasr menegaskan bahwa sains modern harus tunduk pada nilai-nilai transenden yang berasal dari Tuhan. Pengetahuan dalam perspektif ini tidak hanya terbatas pada dunia fisik, tetapi juga mencakup realitas metafisik yang lebih dalam, yaitu realitas wujud.
Nasr mengkritik sains modern dengan dasar bahwa ia telah menciptakan jurang antara manusia dan alam. Dalam sains modern yang didasarkan pada sekularisme, alam diperlakukan sebagai entitas mekanistik yang dapat dieksploitasi tanpa pertimbangan moral. Anggapannya, ini sebagai akibat dari hilangnya prinsip transendensi yaitu, hilangnya pandangan atau kesadaran bahwa ada sesuatu yang lebih tinggi dan melampaui dunia fisik (emipris). dalam pemikiran manusia modern. Dengan pendekatan yang hanya mengandalkan rasionalitas dan empirisme, sains modern gagal memahami keterkaitan mendalam antara alam, manusia, dan Tuhan (Sayem, 2019). Krisis lingkungan yang terjadi saat ini, menurut Nasr, adalah manifestasi dari krisis spiritual manusia (Ulfani & Hambali, 2023). Diskusi inilah yang oleh banyak pengkaji ekologi terutama yang merujuk pada Nasr dijunjung tinggi.
Dalam filsafat Islam, terutama dalam ajaran Mulla Sadra, wujud (eksistensi) dipandang sebagai dasar dari segala sesuatu. Konsep ini menginspirasi Nasr dalam menyusun kosmologi pengetahuannya. Filsafat wujud Sadra, mengartikan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini tidak hanya terdiri dari materi fisik, tetapi juga wujud yang lebih tinggi, yang hanya bisa dipahami melalui pengetahuan metafisik. Nasr berpendapat bahwa manusia memiliki tanggung jawab untuk mengenali wujud ini serta memahami bahwa alam bukanlah sekadar objek material, tetapi ciptaan Tuhan yang sakral.
Melalui kosmologi pengetahuannya, Nasr menekankan bahwa sains harus dikembalikan kepada jalan spiritual yang mengakui keberadaan Tuhan sebagai pusat segala realitas. Ia memperkenalkan konsep kesatuan antara sains dan wahyu sebagai solusi dari krisis spiritual di dunia modern. Dengan memahami wujud melalui perspektif kosmologi tradisional, manusia akan dapat menemukan peran dan posisinya dalam tatanan kosmos yang lebih besar, yang tidak hanya material, tetapi juga spiritual. Dengan demikian, Nasr percaya bahwa hanya dengan pendekatan yang holistik ini manusia modern dapat menemukan kembali makna sejati dari kehidupan dan pengetahuan.
Kosmologi Nasr berakar pada tradisi pemikiran metafisik yang tidak memisahkan pengetahuan fisik dan spiritual. Dalam konsep ini, pengetahuan tentang alam dan kosmos tidak dapat dipahami secara utuh jika hanya dibatasi oleh parameter empiris dan rasional. Bagi Nasr, kosmos adalah cerminan dari realitas ilahi, dan pemahaman terhadap kosmos harus dilakukan melalui pendekatan spiritual yang menyatukan aspek-aspek lahiriah dan batiniah. Inilah yang membedakan kosmologi pengetahuan Nasr dari sains modern yang hanya melihat alam sebagai objek kajian ilmiah tanpa mempertimbangkan dimensi transenden.
Nasr memandang bahwa realitas kosmos bersifat hierarkis, dengan wujud yang mengalir dari Realitas Tertinggi menuju tingkatan-tingkatan yang lebih rendah. Ini sejalan dengan filsafat wujud Sadra ‘al-wujud’ yang menekankan bahwa segala sesuatu memiliki tingkatan keberadaan. Pada konsep ini, segala sesuatu yang ada merupakan manifestasi dari wujud Tuhan yang bersifat absolute, sementara dunia material hanya merupakan pantulan dari realitas yang lebih tinggi. Dengan demikian, pemahaman tentang alam semesta membutuhkan pendekatan metafisik yang mendalam agar manusia dapat memahami posisinya dalam skema kosmologis yang lebih luas.
Starting point penting dalam kosmologi Nasr adalah kesatuan antara ilmu pengetahuan dan wahyu. Dalam pandangan ini, wahyu tidak hanya dipahami sebagai pengetahuan yang bersifat religius, tetapi juga sebagai sarana untuk mencapai kesadaran intelektual yang lebih tinggi (Nasr, 1968). Ilmu yang terpisah dari wahyu, menurut Nasr, akan menghasilkan sains yang kering dan sekuler. Sebaliknya, ilmu yang terintegrasi dengan wahyu memiliki dimensi spiritual yang lebih kaya, memungkinkan manusia untuk menemukan hubungan yang lebih dalam dengan alam dan Tuhan. Inilah yang ia sebut sebagai Scientia Sacra, yaitu pengetahuan yang sakral yang mengikat alam semesta dengan realitas transenden.
Kritik Nasr terhadap sains modern tidak hanya terfokus pada aspek teoretis, tetapi juga pada dampak praktis yang dihasilkan. Sains modern, dengan pendekatannya yang mekanistik, telah mendorong manusia untuk mengeksploitasi alam tanpa memikirkan keseimbangan ekologis dan tanggung jawab moral. Sebaliknya, kosmologi pengetahuan Nasr menekankan pentingnya menjaga harmoni antara manusia dan alam, karena alam merupakan cerminan dari tatanan ilahi. Dengan demikian, hubungan antara manusia dan alam tidak boleh didasarkan pada eksploitasi, melainkan pada penghormatan terhadap kesucian alam sebagai bagian dari ciptaan Tuhan.
Melalui filsafat wujud Sadra, Nasr juga menyoroti pentingnya pemahaman yang mendalam tentang peran manusia dalam kosmos. Manusia, memiliki tanggung jawab untuk memahami dan menjaga tatanan kosmik yang telah diciptakan oleh Tuhan (Nasr, 1968). Dalam pandangan ini, manusia bukanlah penguasa mutlak alam, tetapi bagian dari kesatuan yang lebih besar, di mana segala sesuatu terkait secara holistik. Oleh karena itu, pengembalian manusia kepada kesadaran kosmologis ini menjadi inti dari ajaran Nasr tentang bagaimana pengetahuan dapat menjadi sarana untuk mencapai kesadaran spiritual yang lebih tinggi dan pada akhirnya, menghubungkan manusia dengan Tuhan.
Dalam konteks filsafat wujud, Nasr juga mengangkat pentingnya akal (intellect) sebagai sarana utama untuk memahami realitas yang lebih tinggi. Bagi Nasr, akal bukan hanya instrumen rasional yang digunakan untuk memahami dunia material, melainkan juga sebagai jembatan antara manusia dan realitas metafisik. Akal yang bersifat intelektual-spiritual memiliki kemampuan untuk menembus batas-batas dunia fisik dan mengakses pengetahuan yang bersifat ilahiah. Dengan ini, Nasr menolak pandangan rasionalisme sekuler yang hanya mengakui akal sebagai alat pengukuran terhadap hal-hal yang bersifat empiris.
Dalam filsafat wujud, akal juga dianggap sebagai bagian dari realitas yang lebih luas dan tidak terbatas hanya pada fungsi intelektual yang terpisah dari Tuhan. Sebagai refleksi dari realitas ilahi, akal manusia, ketika diasah dengan baik melalui pendekatan spiritual dan wahyu, mampu mencapai kesadaran tertinggi. Nasr menyebutnya sebagai (intelek aktif), yang dalam tradisi Islam sering dikaitkan dengan kemampuan untuk mengenal Tuhan dan hakikat-Nya melalui alam dan seluruh ciptaan. Oleh karena itu, dalam kosmologi Nasr, pengetahuan yang sejati melibatkan perpaduan antara intelek manusia dan wahyu ilahi, yang memungkinkan manusia untuk memahami wujud dalam segala dimensinya.
Sebagai bagian dari kesatuan kosmologis, Nasr menekankan bahwa semua wujud memiliki hubungan mendasar dengan Tuhan sebagai sumber segala yang ada. Ini memperlihatkan bahwa kosmologi pengetahuan Nasr bukan sekadar pendekatan teoretis, tetapi juga menuntut adanya tanggung jawab moral dan spiritual. Manusia, dalam kosmologi ini, berperan sebagai khalifah di bumi yang harus menjaga keselarasan antara tatanan fisik dan spiritual. Dengan memahami posisi dan peran manusia dalam kosmos, Nasr mengajak kita untuk melihat pengetahuan sebagai bagian dari usaha kita untuk kembali kepada Tuhan, bukan hanya sekadar instrumen untuk mengeksploitasi alam atau memperkaya diri secara material (Ulfani & Hambali, 2023).
Kritik Nasr terhadap modernitas yang memisahkan manusia dari dimensi spiritual kehidupan sehari-hari. Pandangannya tentang the lost of center menyoroti keadaan manusia modern telah kehilangan arah dan tujuan utama dalam kehidupannya karena terputusnya hubungan dengan Tuhan. Dalam kosmologi Nasr, wujud yang sesungguhnya tidak dapat dipahami tanpa memasukkan aspek transenden sebagai landasan utama. Sejalan dengan itu, memahami kosmos melalui kerangka metafisik, manusia dapat menemukan kembali keterhubungan mereka dengan Tuhan dan menemukan makna yang berarti dalam kehidupan. Dengan demikian, pemikiran Nasr menawarkan sebuah peta jalan bagi mereka yang ingin menavigasi kehidupan modern tanpa kehilangan akar spiritualnya.
A. Anjasyah
Pengkaji Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
- A. Anjasyah#molongui-disabled-link