Sayyed Hossein Nasr: Tradisionalisme Islam dan Scientia Sacra

Seyyed Hossein Nasr
Seyyed Hossein Nasr

Sayyed Hossein Nasr lahir di Teheran, Iran pada 7 April 1933 M. Ia merupakan tokoh pembaharu dalam dunia Islam. Ayahnya seorang dokter, juga dikenal sebagai seorang penyair. Nasr berasal dari keluarga yang mengikuti mazhab Syiah. Pendidikan dasarnya ia lakoni di tempat kelahirannya negeri Iran di mana sistem pendidikan pada saat itu banyak mengulas nilai-nilai tradisional Islam. Pada saat dewasa, ia melanjutkan pendidikannya ke Amerika Serikat di Massachusetts Institute of Technology (MIT)  dan mendapat gelar B.Sc pada ilmu fisika. Gelar M.A., dan Ph.D juga ia raih di Universitas Harvard.

Sebelum masuk lebih dalam pembahasannya, tulisan ini mencoba mengulas pemikiran Nasr sebagai alternatif atau respons atas ilmu pengetahuan sekuler modern, terhadap krisis spiritual “manusia modern”, serta mediator dalam dialog antar agama. Tulisan ini juga memiliki tujuan untuk mendeskripsikan struktur pemikiran Nasr tentang nilai-nilai tradisional yang melampaui perbedaan historis.

Awal pendidikan, Nasr sebenarnya fokus di bidang fisika dan natural science, tapi kemudian ia mendapat beberapa saran oleh para cendekiawan, para pemikir dan filsuf terdekatnya seperti Fritjoh Schuon yang juga sebagai guru Nasr. Saran-saran tersebut mengarahkannya untuk mencoba mengembangkan sayapnya dalam bidang mistisisme (metafisika) dan sufisme. Dari sinilah kemudian ia melanjutkan studinya ke Afrika untuk mendalami ilmu tersebut. Yang nantinya  keilmuannya lebih dikenal sebagai tradisionalisme Islam.

Pandangan pada perspektif tradisional bersumber pada makna tradisi. Nasr mengartikan tradisi sebagai kebenaran dan bentuk-bentuk manifestasi historis kebenaran (kehadiran). Kebenaran yang dimaksud adalah scientia sacra (sains sakral) atau metafisika yang berisi pandangan tentang realitas, hierarki realitas, dan realitas yang sakral. Banyak orang beranggapan bahwasanya tradisionalisme Islam merupakan sebuah langkah kemunduran.

Namun tidak demikian oleh Nasr, menurutnya tradisionalisme adalah tidak berarti kembali ke masa lalu semata-mata mengambil apa yang telah di lakukan di masa lampau, tetapi diolah secara selektif. Artinya dalam perkembangan dunia barat, karena ia juga sempat mengenyam pendidikan yang cukup lama di sana seperti Amerika dan Eropa. Atas pengalamannya ini Nasr beranggapan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi selalu merujuk pada paradigma pemikiran bangsa barat. Yang berangkat dari nilai-nilai renaisans, kemudian menempatkan rasionalitas manusia di atas segalanya.

Keinginan Nasr terhadap tradisi sufisme merupakan pangkal dari analisanya terhadap Barat “Modern“ karena baginya sufisme bukan saja berkedudukan mengimbangi rasionalisme, positivisme, atau empirisme, bukan  pula sekadar mengimbangi materialisme (sebagai sikap hidup) dengan spiritualisme (jalan keagamaan). Tetapi ia menempatkan diri (jiwa) sebagai implementasi atas ilmu pengetahuan dan teknologi. Nasr menjadikan sufisme sebagai titik akhir esensi spiritual dan dimensi esoteris.

Bagi mereka, jika kajian ilmu pengetahuan dikombinasi dengan keagamaan akan menghambat berjalannya proses ilmu pengetahuan. Karena menghambat itulah kemudian kajian keagamaan tidak disertakan lagi di dalam ilmu pengetahuan dan teknologi sampai era kontemporer. Nasr kemudian menyusun konsep pemikiran bahwa ilmu pengetahuan sesungguhnya tidak semata berjalan sendirian. Ilmu pengetahuan berjalan berdampingan dengan aspek keagamaan. Karena ilmu pengetahuan pada dasarnya satu kesatuan yang melekat pada hierarki realitas masyarakat sehingga realisasinya tidak bisa dipisahkan.

Hal ini menandakan bahwa kecenderungan telah terjadi pada suatu paradigma yang fokus terhadap antroposentrisme yang bersifat mengkaji kemanusiaan semata-mata. Sehingga terjadi tren-tren sekuler yang kemudian memisahkan ilmu pengetahuan dengan kajian keagamaan. Inilah yang terjadi pada zaman renaisans, bermula karena kejenuhan para filsuf dan cendekiawan yang memang sudah cukup bosan dengan pembahasan mistisisme. Oleh karenanya, kajian keagamaan seperti spiritualitas mulai ditinggalkan sehingga kecenderungannya lebih mengarah pada antroposentris dan tambah lagi dengan sekuler.

Agar dapat diterima oleh masyarakat, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi harus seimbang atau sinkron dengan kajian keagamaan. Dari sinilah peran dari sosok Nasr mengumandangkan konsep tradisionalisme Islam. Menurutnya, bahwa ilmu pengetahuan dan keagamaan itu satu kesatuan, terbukti pada masa kejayaan dinasti Abbasiyah dan dinasti Umayyah. Bahwa disana perkembangan keilmuan sains, ilmu pengetahuan ini kembali mencapai titik keemasan karena adanya sinergi antara ilmu pengetahuan dan kajian keagamaan.

Jika kita tarik kembali ke belakang, bahwasanya ketika Al-Qur’an diturunkan 14 abad lalu, kemudian muncul hadis yang fokus sekali dalam bidang kajian keilmuan, tidak hanya ilmu Islam tapi juga sains dan sosial. Hal ini membuktikan bahwa perhelatan ilmu pengetahuan dan teknologi ini harus dikembangkan sinergis dengan kajian keagamaan. Maka yang disebut pembaharuan atau tajdid itu tidak hanya harus berkiblat ke belakang, karena yang dimaksud bukan semata-mata budaya saja tapi ditemukan adanya dialektika antara historisitas dan normalitas antara keilmuan dan keagamaan Islam.

Yang menarik dari pemikiran Nasr adalah konsepnya itu tidak hanya fokus untuk kajian keislaman saja, tetapi ia juga beranggapan bahwa semua agama memiliki tradisionalismenya masing-masing, sehingga sumbangan pemikirannya ini dapat dipakai untuk pengembangan kajian ilmu pengetahuan umum. Terkait dengan pemikiran Nasr juga lebih dikenal dengan scientia sacra (ilmu sakral) yaitu ilmu yang memiliki pandangan realitas masyarakat tidak bisa dielakkan pada kajian ilmu pengetahuan dengan keagamaan.

Sakralitas ilmu pengetahuan ini sendiri, berasal dari tendensi manusia dan juga fitrah manusia yang memang bertuhan. Manusia diciptakan oleh sang pencipta karenanya memiliki tendensi atau transendensi. Adanya campur tangan Tuhan di dalam pengembangan pengetahuan, pengembangan keilmuan dan perkembangan manusia yang harus menyatukan antara aspek Ilahiyah (ketuhanan), aspek insaniah (kemanusian) dan aspek ilmiah (keilmuan). Itulah ilmu pengetahuan yang memang harus dicari berdasarkan kajian-kajian ilmiah. Hal inilah yang kemudian oleh Nasr, disebut dengan tradisionalisme Islam. Bukan berarti kajian keagamaan dihilangkan begitu saja, tetapi justru di ambil kembali secara selektif untuk menyempurnakan bagaimana pengembangan ilmu pengetahuan itu yang seharusnya. 

Dari sekian pemikirannya yang telah diungkapkan di atas, tampaknya Nasr tidak bersifat parsial atau dipengaruhi oleh budaya lokal dan paham keagamaan yang dianutnya, yaitu Syi’ah, walaupun juga sedikit kelihatan, ini wajar karena dipengaruhi oleh budaya leluhurnya. Akan tetapi yang lebih menonjol darinya adalah ia lebih berada pada jalur akademisnya, adalah filsafat. Oleh karena itu, ide-idenya lebih bersifat filosofis-metafisik dari yang bersifat empiris

Pesan dari konsep Nasr adalah bahwa manusia modern telah kehilangan pandangan esensial yang abadi karena terperangkap oleh modernitas terutama dengan berbagai paham pseudo-intelektual seperti modernisme, sekularisme, rasionalisme, evolusionisme, humanisme, materialisme, dan imperialisme. Oleh karena itu, pandangan manusia modern saat ini, tidak memiliki dimensi transendental. Sehingga lumrah jika peradaban atau perkembangan  modern  yang  dibangun  sampai saat ini tidak mengelaborasi aspek esensial pada kehidupan manusia, adalah aspek spiritual.

A. Anjasyah

Pengkaji Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.