fbpx

Kritik Gramsci atas objektivisme dan rekonstruksi filsafat praksis

Menurut Gramsci objektivitas selalu ditentukan oleh manusia, dengan kata lain manusia adalah hakim dari objektivitas itu sendiri.
Mural Antonio Gramsci
Graffiti Antonio Gramsci karya Ozmo di Roma on March 31, 2014. Credit Alberto Pizzoli / AFP via Getty Images

Pasca kematian Karl Marx, Marxisme menjadi ideologi populer di kalangan kaum buruh. Proses ideologisasi pemikiran Marx tersebut tidak bisa lepas dari peran Friedrich Engels. Marxisme di tangan Engels, memiliki status tidak hanya sebagai teori yang menjelaskan persoalan-persoalan sosial, melainkan berstatus pula sebagai sebuah teori ontologi yang berupaya menjelaskan kejadian alam semesta. Dalam hal ini, sumbangan baru Engels terhadap marxisme adalah materialisme dialektis. Materialisme dialektis memandang bahwa seluruh realitas bersifat dan bergerak secara dinamis dari materi. Cara pandang materialisme dialektik ini hampir sama dengan apa yang diajukan Charles Darwin mengenai perkembangan organisme. Materialisme dialektis racikan Engels kemudian diterapkan pada seluruh bidang dalam filsafat guna menjawab pertanyaan-pertanyaan yang bersifat ontologis dan epistemologis. Akan tetapi,  materialisme dialektik berbeda dengan materialisme mekanis. Materialisme dialektis mengakui adanya gerakan materi yang bermacam-macam, yakni gerakan mekanis, kimia, biologi, dan psikis. Dengan kata lain, materialisme dialektik mengakui adanya perbedaan kualitatif antara materi yang mati, yang hidup, dan yang mampu berkesadaran dan berinteligensi. Sejak adanya upaya ideologisasi dari Engels, marxisme menjadi pandangan mendunia, yang menjelaskan tentang alam semesta dan persoalan sosial.

Upaya menafsirkan kembali materialisme dalam konteks marxisme kemudian dilanjutkan oleh Georgi Plekhanov hingga Nikolai Bukharin. Namun tafsiran Bukharin-lah yang akan menjadi titik pijak Antonio Gramsci dalam mengembangkan kritik-kritiknya atas objektivisme, rekonstruksi basis, dan suprastruktur dalam marxisme. Bukharin dalam buku Historical Materialism: A System of Sociology, memandang bahwa gambaran karakteristik dari dialektika ditemukan dalam mekanika. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa marxisme merupakan materialisme mekanik. Bukharin memandang bahwa pikiran tidak pernah ada tanpa sebentuk otak, nafsu adalah tidak mungkin walaupun di sana ada organisme yang bernafsu. Terlihat bahwa Bukharin hanya mengakui gerakan mekanis material dan mengesampingkan materi yang mati dan hidup, materi yang berkesadaran dan berinteligensi sebagaimana yang diyakini Engels. Dapat diketahui, bahwa Bukharin telah bergerak lebih jauh ketimbang Engels. Pandangan materialis mekaniknya ini kemudian diperkuat melalui teori korespondensi yang ditulis dalam esainya dengan judul Theory and Practice from Standpoint Dialectical Materialism, dan dipresentasikan di kongres internasional sejarah ilmu pengetahuan dan teknologi di London. Ia menyatakan bahwa kriteria kebenaran dari pengetahuan adalah sesuai dengan realitas objektif. Segala dalil atau proposisi dalam ilmu pengetahuan dianggap benar apabila memiliki kesesuaian dengan realitas objektif. Dalam hal ini, tampak posisi Bukharin yang tidak jauh berbeda dengan para filsuf materialis metafisik seperti Thomas Hobbes, Ernst Haeckel, dan Ludwig Buechner.

Pandangan Bukharin tersebut kemudian menjadi titik keberangkatan Gramsci dalam mengkritik cara pandang objektivisme dan mengembalikan materialisme dalam konteks marxisme atau filsafat praksis. Meski Gramsci merupakan seorang filosof yang tidak berbicara persoalan epistemologi secara ketat seperti John Locke, Immanuel Kant, dan Georg Hegel, namun secara tersirat terdapat pula konsepsi epistemologis yang terdapat dalam catatan-catatan Gramsci, yang berisi kritiknya terhadap materialisme mekanik Bukharin. Oleh karenanya, tulisan ini akan menjelaskan kritik Gramsci atas objektivisme, dilanjutkan pada penjelasan tentang upaya Gramsci menafsirkan kembali materialisme dalam konteks marxisme, dan rekonstruksi atas basis struktur dan super struktur dalam tradisi marxisme yang sering dipahami secara fatalistik dan mekanistik oleh para pemikir Marxisme ortodoks termasuk Bukharin.

Kritik Gramsci atas objektivisme

Persoalan mengenai realitas objektif dan kemampuan manusia dalam mengetahui realitas objektif tersebut sebenarnya telah menjadi pembahasan yang marak dibicarakan dalam sejarah filsafat Barat. Terutama pada era modern, di mana pada periode tersebut para filsuf cenderung memusatkan persoalan filosofisnya pada manusia. Dua aliran utama yang tampil dalam perdebatan epistemologis tersebut adalah aliran rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme menganggap bahwa pengetahuan sejati hanya diperoleh melalui pikiran atau akal. Pikiran atau akal tersebut menghasilkan ide-ide bawaan. Menurut Descartes terdapat tiga ide bawaan yang dimiliki manusia, yakni pikiran, keluasan, dan Allah. Konsep mengenai ide bawaan ini kemudian mendapat serangan dari empirisme. Berbeda dengan rasionalisme, empirisme memandang bahwa pengamatan panca indra merupakan instrumen utama pengetahuan. Locke memandang bahwa pengetahuan manusia diperoleh melalui jalan abstraksi melalui idea-idea simpleks. Menurut Locke, idea-idea abstrak manusia tentang ruang, waktu, bilangan dan sebagainya yang oleh para filosof rasionalisme dianggap bawaan sebenarnya merupakan hasil penyusunan idea-idea simpleks yang terpisah-pisah menjadi idea kompleks. Sehingga menurut kaum empiris, pengetahuan manusia tentang “hakikat dari sesuatu” merupakan sebuah proses abstraksi dari idea-idea simpleks itu. Perdebatan antara rasionalisme dan empirisme ini kemudian mengundang perhatian seorang filosof Jerman Immanuel Kant. Menurut Kant baik rasionalisme maupun empirisme terlalu berat sebelah. Kedua instrumen pengetahuan, baik pikiran maupun pengamatan indra, menurut Kant memainkan peranan penting dalam memperoleh pengetahuan manusia. Dalam pandangan Kant, realitas sendiri telah dipermak melalui ruang, waktu, serta kategori-kategori a priori yang secara inheren berada di dalam diri manusia. Karenanya, menurut Kant manusia tidak mampu mengetahui realitas pada dirinya sendiri atau Das Ding an sich.

Perdebatan mengenai kemampuan manusia untuk mengetahui kemudian berlanjut pada awal abad ke-18 hingga ke-19, dua aliran penting yang tampil dalam perdebatan tersebut adalah idealisme dan materialisme. Menurut paham idealisme, pikiran dan keberadaan merupakan sesuatu yang identik. Benda-benda di luar pikiran tidak memiliki status ontologisnya, ialah tidak sungguh-sungguh riil. Realitas sesuai dengan pikiran, sehingga tak ada benda-benda di luar pikiran. Hegel sebagai wakil dari aliran idealisme Jerman menyatakan bahwa yang rasional itu riil dan yang riil itu rasional. Pandangan tersebut kemudian dikritik oleh para pemikir materialisme, terutama Ludwig Feuerbach. Feuerbach memandang bahwa alam material merupakan realitas terakhir. Ide-ide universal yang dimiliki manusia, seperti ide tentang Tuhan, hanyalah sebuah proyeksi dari manusia sendiri. Dalam hal ini, terlihat bahwa problem mengenai kemampuan manusia untuk mengetahui realitas objektif menjadi permasalahan yang cukup serius di kalangan para filsuf modern. Namun di sini terlihat bahwa para filosof modern masih menganggap bahwa manusia adalah subjek yang hanya bertugas memperoleh pengetahuan secara pasif. Interaksi manusia yang bersifat historis dalam alam cenderung diabaikan oleh para filosof modern. Manusia seolah terisolasi dari alam sosio-historisnya dalam upaya memperoleh pengetahuan. Di sini, baik para pemikir dari golongan rasionalisme, empirisme, idealisme, maupun materialisme gagal memahami praktik sosio-historis yang juga memainkan peran penting dalam proses pencerapan pengetahuan.

Gramsci merupakan seorang filsuf yang sebenarnya tidak memiliki pandangan khusus tentang epistemologi. Namun, pandangan epistemologi tersebut dapat ditemukan dalam catatan-catatan berupa evaluasi kritis terhadap Bukharin dalam Prison Notebooks. Sebagaimana yang telah diketahui, Bukharin telah jatuh ke dalam cara pandang materialisme mekanis, yang memandang bahwa alam material merupakan realitas sejati atau realitas objektif. Dalam hal ini, ia telah jatuh ke dalam cara pandang objektivisme yang sebenarnya telah berakar dalam materialisme pra-marxian. Gramsci menyebut karya Bukharin yang berjudul Historical Materialism: A System of Sociology, tidak mengandung penegasan hubungan antara pernyataan ideologis mengenai realitas objektif sebagai ciptaan dan semangat manusia. Dengan kata lain, Bukharin tidak memandang hubungan antara konsep realitas objektif dengan keberadaan manusia.

Gramsci secara umum menolak adanya konsep objektivisme ini. Menurutnya tidak ada realitas objektif yang memiliki kebenaran mutlak dan terpisah dari interaksi manusia dalam dunia. Segala konsep pemikiran selalu bersifat historis, sebab terikat dengan proses interaksi manusia dalam dunia. Sehingga dapat dikatakan bahwa sebuah teori tidak dapat dipisahkan dari praxis. Interaksi manusia dalam dunia atau praxis memungkinkan manusia untuk mengetahui sesuatu. Tanpa manusia yang bereksistensi di dunia secara historis, pengetahuan tidaklah mungkin. Secara tegas Gramsci dalam Prison Notebooks, yang berisikan catatan-catatan kecilnya di dalam penjara, menyatakan bahwa; “Realitas hanya ada dalam hubungan dengan manusia, dan karena manusia ada secara historis, demikian juga dengan keberadaan pengetahuan, realitas dan objektivitas”. Dengan demikian, dapat dikatakan pula bahwa interaksi manusia dalam dunia atau praxis juga merupakan kategori epistemologis yang memungkinkan manusia untuk mengetahui. Manusia akan mengambil sikap teoritis terhadap alam dan mengklaim adanya realitas objektif setelah ia melakukan interaksi material terhadap alam maupun dengan sesama manusia sebagai sebuah hubungan-hubungan produksi. Dari sini terlihat bahwa Gramsci memandang bahwa pengetahuan sendiri bersifat historis, dan tidak akan lepas dari sejarah.

Dalam Notebooks, untuk menjelaskan mengenai realitas objektif Gramsci memulai dengan pertanyaan; “tetapi siapa hakim objektivitas itu? Siapa yang mampu menempatkan diri dalam pandangan alam kosmos?” Menurut Gramsci objektivitas selalu ditentukan oleh manusia, dengan kata lain manusia adalah hakim dari objektivitas itu sendiri. Manusia merupakan subjek yang selalu mengklaim dirinya mengetahui objektivitas. Namun pengetahuan mereka—realitas objektif itu sendiri—sebenarnya ditentukan oleh praxis mereka di dunia. Untuk mempermudah penjelasan tersebut, dalam Notebooks Gramsci memberi contoh mengenai istilah “Timur” dan “Barat”. Menurut Gramsci istilah Timur dan Barat sebenarnya tidak akan eksis tanpa keberadaan manusia dan perkembangan peradaban manusia. Wilayah Jepang, Maroko, Arab dianggap sebagai wilayah timur. Penyebutan negeri-negeri tersebut sebagai negara timur menurut Gramsci berasal dari upaya kristalisasi peradaban dan titik pandang kelompok kebudayaan Eropa yang berakhir dengan semakin meluasnya hegemoni mereka di dunia. Melalui contoh ini, dapat disimpulkan bahwa menurut Gramsci pengetahuan manusia mengenai konsep tertentu sangat ditentukan oleh praxis sosial manusia yang bersifat historis. Praxis tersebut berupa interaksi material dan sosial oleh manusia yang secara historis berada dalam dunia. Dalam Notebooks, Gramsci menyatakan bahwa; “Objektif selalu berarti objektivitas kemanusiaan yang berhubungan dengan subjektivitas historis”. Melalui kalimat tersebut, Gramsci menyatakan bahwa pengetahuan manusia sendiri “menyejarah”. Manusia bukan subjek pasif yang hanya bertugas menerima pengetahuan. Manusia dan alam sosio-historisnya memiliki peranan dalam proses mengetahui sesuatu.

Orisinalitas filsafat praksis: materialisme dalam konteks marxisme

Berangkat dari kritiknya terhadap Bukharin tersebut, Gramsci berupaya mengembalikan istilah materialisme dalam konteks filsafat praksis atau marxisme. Sebagaimana yang telah diketahui, materialisme racikan Bukharin terjerumus ke dalam materialisme mekanis yang tidak jauh berbeda dengan materialisme metafisik. Materialisme model Bukharin ini menjadi sebuah bentuk teori ontologi yang berupaya menjelaskan realitas alam semesta. Materialisme model tersebut, menurut Gramsci bertentangan dengan materialisme dalam filsafat praksis atau marxisme. Menurut pandangan Gramsci, materialisme model tersebut tidak jauh berbeda dengan sebuah doktrin agama. Baik materialisme metafisik dan agama, keduanya sama-sama mengandaikan adanya objektivitas realitas yang terlepas dari praxis manusia. Manusia sendiri tidak dapat berbicara realitas pada dirinya sendiri, baik tentang Tuhan, alam, maupun manusia.

Dalam Notebooks, Gramsci menyatakan bahwa materialisme historis dalam marxisme merupakan sebuah filsafat orisinal, yang tidak memiliki keterkaitan apapun dengan segala bentuk materialisme metafisik. Gramsci secara tegas menyatakan; “unsur-unsur (pemikiran) Baruch Spinoza, Feuerbach, Hegel, materialisme Perancis, dan lain sebagainya bukan merupakan bagian utama dari filsafat praksis, tidak juga dapat membuat filsafat itu menjadi tereduksi hingga menjadi unsur-unsur tersebut”. Namun di sisi lain, materialisme dalam filsafat praksis atau marxisme tidak bersifat otonom, artinya lepas dari pengaruh filsafat lain. Melainkan membutuhkan dukungan pula dari pemikiran filosofis lain yang berkembang pada saat itu. Materialisme Marx secara radikal berbeda dengan pandangan materialisme mekanis yang memandang manusia sebagai sebuah mesin, atau mereduksi seluruh tingkah lakunya menurut hukum fisika dan kimia. Materialisme racikan Marx tidak berbicara tentang ontologi, melainkan berupaya menjelaskan persoalan-persoalan sosial, yakni dinamika perkembangan masyarakat kapitalis. Menurut pandangan Gramsci pada tingkat teori, filsafat praksis atau marxisme tidak dapat dikacaukan atau dipersempit oleh filsafat-filsafat lain. Sebab marxisme sendiri merupakan sebuah filsafat yang benar-benar orisinal. Dalam hal ini, Marx sebagai seorang filosof berupaya mengelaborasi pemikiran-pemikiran filosofis pada masanya seperti idealisme Hegel dan materialisme Feuerbach untuk menyusun konsepnya sendiri. Upaya elaborasi tersebut dilakukan demi membangun sebuah teori sosial-masyarakat. Sehingga tidak dapat dikatakan bahwa marxisme identik dengan materialisme lainnya sebagaimana yang terdapat dalam pemikiran Bukharin.

Rekonstruksi basis struktur dan super struktur dalam tradisi filsafat praksis

Pandangan materialisme mekanis Bukharin membawa dampak yang cukup besar bagi pemahaman akan filsafat praksis atau marxisme sebagai sebuah teori sosial. Konsekuensi dari pandangan ini adalah marxisme hanya menjadi sebuah sosiologi ilmiah yang tercemar oleh positivisme. Pandangan mengenai hubungan antara basis struktur dan super struktur ditafsirkan secara mekanistik oleh para pemikir marxisme ortodoks, termasuk Bukharin. Para marxis ortodoks menyatakan bahwa basis ekonomi, yang berupa dialektika antara tenaga-tenaga produksi dan hubungan produksi, semata-mata menentukan suprastruktur yang terdiri dari tatanan institusional dan tatanan kesadaran. Dalam hal ini, konsekuensi dari pemahaman dasar tersebut adalah bahwa revolusi sosial merupakan sesuatu yang semata-mata dipengaruhi oleh basis ekonomi. Selama kondisi sosial-ekonomis dalam tubuh Kapitalisme belum matang maka revolusi sosialis tidak akan bisa terjadi, dan apabila kondisi sosial-ekonomi sudah matang maka revolusi tidak dapat dihindari. Pandangan deterministik ini kemudian ditolak oleh Gramsci. Baik basis struktur maupun super struktur, keduanya memainkan peran penting dalam masyarakat kapitalis, terutama di wilayah negara Eropa. Kita tidak bisa mereduksi segala komponen suprastruktur ke dalam basis struktur ekonomi. Menurut Gramsci, baik basis maupun super struktur keduanya saling memengaruhi.

Dalam kaitannya dengan pandangan dasar tersebut, Gramsci mulai merekonstruksi cara pandang klasik dalam memahami hubungan basis dan superstruktur. Upaya rekonstruksi Gramsci dimulai dengan membagi superstruktur menjadi dua bagian, yakni masyarakat sipil dan masyarakat politik atau “negara”. Masyarakat sipil terdiri dari hubungan organisasi-organisasi sosial masyarakat yang bersifat sukarela dan tidak memiliki kaitan apapun dengan negara, seperti ormas dan partai politik. Sedangkan masyarakat politik atau negara terdiri dari lembaga-lembaga negara. Baik masyarakat politik maupun masyarakat sipil, keduanya memainkan peran penting dalam menjaga status quo. Tindakan represif atau “dominasi” dilakukan melalui masyarakat politik atau negara. Kontradiksi-kontradiksi dalam basis ekonomi hanya menjadi salah satu syarat bagi revolusi sosial. Oleh karenanya Gramsci menolak pandangan yang menyatakan bahwa revolusi sosial harus ditunggu. Gramsci menyatakan bahwa revolusi sosial merupakan sesuatu hal yang harus dikehendaki. Kita tidak bisa hanya mengandalkan faktor-faktor ekonomis untuk menciptakan sebuah revolusi sosial. Melainkan harus dilakukan upaya counter hegemony dalam masyarakat sipil guna mendapat dukungan penuh dalam masyarakat.

Pandangan materialisme metafisik yang bercokol dalam pemikiran para Marxian ortodoks, termasuk Bukharin, telah membawa dampak bagi marxisme itu sendiri sebagai sebuah teori sosial. Konsekuensi dari pandangan materialisme metafisik ini adalah marxisme hanya menjadi sebuah sosiologi ilmiah yang tercemar oleh positivisme. Dalam hal ini, Gramsci sebagai seorang pemikir neo-marxis berusaha merekonstruksi pemahaman deterministik tersebut dimulai dengan mengkritik pandangan objektivisme dalam pemikiran Bukharin. Melalui kritik atas objektivisme tersebut, Gramsci berupaya mengembalikan istilah materialisme dalam konteks marxisme, serta merekonstruksi ulang konsep basis dan supra struktur dalam pemikiran Marx.

Mahasiswa Filsafat UIN Sunan Kalijaga.

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content