Perubahan sosial dalam ranah ilmiah dapat dilihat dalam berbagai sudut pandang yang tersedia. Berbagai aliran ilmu sosial pada umumnya seperti evolusionisme sosial hingga materialisme menyediakan perangkat metode dan teori yang dapat digunakan dalam menelaah perubahan sosial secara sistematis dan logis.
Hampir semua teori yang berkembang dalam menyelidiki perubahan sosial berangkat dari satu hal atau asumsi dasar yang sama, ialah keteraturan hukum-hukum mengikat di luar individu atau masyarakat dan dapat menuntun individu atau masyarakat tersebut ke dalam suasana sosial yang sesuai dengan hukum-hukum tersebut.
Ketika masyarakat A memilih berperang dengan masyarakat B, ketimbang masyarakat C. Hukum atau pola yang terbentuk setelah perang dengan masyarakat B adalah begini dan karena tidak berperang dengan masyarakat C adalah begitu. Ada situasi tertentu yang didapatkan ketika menyelesaikan sebuah kegiatan atau peristiwa tertentu karena pola, hukum, atau irama sejarah senantiasa ada, dan mengikat.
Di pertengahan abad 20-an, aliran materialisme-historis (historisisme) mau pun evolusionisme — kedua aliran ini sering dinamakan aliran developmentalisme dalam telaah perubahan sosial — mendapat banyak masukan, kritik, bahkan penolakan dari berbagai pihak, khususnya ilmuwan sosial. Karl Edmund Popper adalah salah seorang dari kalangan ilmuwan sosial tersebut — dalam kritik inilah pendapat banyak sarjana mengasumsikan Popper mulai merentangkan pemikirannya yang semula pada kajian filsafat ilmu ke kajian filsafat sosial.
Melalui buku berjudul The Poverty Of Historicism, Popper mengkritik analisis sejarah dan produksi masa depan yang berangkat dari asumsi yang salah dan kekurangan perangkat ilmiah dan metodologi yang memadai. Pendekatan prediktif masa depan yang menggunakan analisis berupa evolusionisme mau pun materialisme-historis (historisisme), dianggap sebagai takhayul ilmiah belaka dan melupakan nuansa unik dari manusia sebagai aktor dalam sebuah sejarah dalam masyarakat.
Menurut Popper, historisisme yang keliru tersebut mengemukakan pandangan ontologis yang menyatakan bahwa masyarakat senantiasa berubah, tetapi menurut jalan yang telah ditentukan yang tidak dapat berubah, melalui tahap-tahap yang ditentukan oleh kebutuhan yang tidak dapat ditawar-tawar (Popper, 1964).
Popper juga menganggap historisisme berasal dari sebuah pernyataan epistemologis yakni bahwa hukum-hukum sejarah dapat diketahui, dapat dirunut melalui penelitian. Ia mengatakan, “Yang saya maksud dengan historisisme adalah suatu pendekatan ilmu sosial yang berasumsi bahwa peramalan sejarah merupakan tujuan prinsipnya dan berasumsi bahwa tujuan ini dapat dicapai dengan meneliti ‘irama’ atau ‘pola-pola’, ‘hukum-hukum’ atau ‘kecenderungan’ yang melandasi evolusi sejarah” — lihat versi lengkapnya pada buku Stzompka mengenai sosiologi perubahan sosial.
Namun, Popper memberikan kritik pedas kepada mereka yang berkutat pada developmentalisme seperti ini. Keyakinan terhadap nasib sejarah adalah takhayul belaka dan perjalanan sejarah manusia tidak dapat diramalkan oleh ilmu pengetahuan atau oleh metode rasional lain mana pun (Popper, 1964). Jadi, apa yang selama ini diprediksi oleh prinsip semacam mentalitas budaya Pitirim Sorokin ialah takhayul semata.
Jelas Sorokin, Popper memberikan 5 argumen taktis mengenai developmentalisme. Pertama, Tidak ada sejarah manusia yang universal. Kedua, ada demarkasi antara wilayah-wilayah tertentu khususnya pada tataran sosio-kultural. Ketiga, ada faktor ketergantungan, irasionalitas, dan keanehan personal sejarah. Keempat, sejarah manusia adalah unik, tiada samanya. Dan kelima, tingkatan pengetahuan manusia berbeda di setiap wilayah lainnya, sehingga memengaruhi sejarah yang berkembang (Popper, 1964; Sorokin, 2017).
Ada pun ramalan historis mengenai sejarah universal yang berjalan menurut jalan yang sudah ditentukan dalam kondisi yang tetap, secara prinsip adalah mustahil. Jelasnya, Popper menegaskan prinsip bahwa kita harus menolak kemungkinan sejarah teoretis; tidak ada teori ilmiah tentang perkembangan sejarah yang dapat dijadikan basis untuk prediksi historis (Popper, 1964; Sorokin, 2017).
Perubahan sosial pada dasarnya tidak dapat diprediksi. Hal ini karena asumsi yang dikemukakan oleh Popper meyakini metodologi dan penelitian mengenai alur sejarah dan prediksinya kurang memadai. Hal ini bisa mematahkan berbagai asumsi, pandangan, prediksi oleh orang, lembaga pemerintah, think tank, mau pun akademisi mengenai berbagai hal yang akan datang nantinya. Apa yang akan berubah dan bagaimana perubahannya di masa yang akan datang menjadi sukar diprediksi karena alur sejarah tidaklah mempunyai fondasi sains yang mumpuni.
Namun, kritik Historisisme Popper perlu ditempatkan sesuai dengan konteksnya. Menelan kritik Popper secara mentah-mentah dapat berakibat kesalahan analisis dan pemahaman keliru mengenai kritik historisisme Popper. Cara yang pas menurut penulis dalam menggunakan kritik tersebut dengan menggunakannya sebagai otokritik terhadap pengandaian sejarah, khususnya perubahan sosial yang terlalu mengedepankan imaji intuitif tanpa memerhatikan kompleksitas keilmiahan yang ada pada masa sekarang.
Sehingga perubahan sosial akan dengan mudah di rekayasa, diprediksi, dan disiapkan, karena berbagai penyisihan hasil dari kritik historisisme Popper. Dengan catatan, kritik tersebut harus lahir dari pemahaman yang baik dan juga mendetail mengenai Historisisme (developmentalisme secara umum) dan kritik atasnya.
Daftar Pustaka
Popper, K., E. (1964). The Poverty of Hisitoricism. New York: Harper & Row
Sorokin, P., A. (1937). Social and Cultural Dynamics. Cincinnati: American Book