fbpx

Manusia Sempurna Menurut Murtadha Muthahhari

Islam melihat alam semesta sebagai rantai yang berkaitan, dengan anggapan bahwa manusia pada hakikatnya hanya menjalankan peran sebagai kalifah di bumi dengan menjaga keseimbangan dan mencegah kerusakan.
Murthada Muthatharri

Kecenderungan manusia modern yang mengandalkan positivistik dan antroposentrisme menghantar dunia pada kebangkrutan dan kegagalan dalam mengenali dan mendudukkan manusia secara utuh. Dengan pemberontakan manusia atas Tuhan, Ia melempar jauh manusia ke jurang krisis dan kehancuran yang merusak jiwa mereka. Alih – alih memerankan peran Tuhan, manusia justru terjebak dan berputar – putar dalam hidup yang serba tidak pasti dan relatif.

Perdebatan tentang manusia adalah diskursus yang terus akan berkembang dan dinamis dalam perjalanan perkembangan pengetahuan. Tentunya, kompleksitas untuk melihat substansi dan esensi manusia melahirkan banyak irisan bangunan pemikiran tentang dalam berbagai mazhab pemikiran. Walau diskursus atas kesempurnaan merupakan sebuah perdebatan yang ontologis, akan menjadi menarik untuk melihat corak pemikiran yang masing-masing dibangun dengan kekayaan pengetahuan. Hingga selanjutnya dimanifestasikan dalam sistem sosial dan pengetahuan. Setidaknya, filsafat berhasil melahirkan berbagai macam definisi dan interpretasi tentang manusia yang kompleks hingga memiliki konsekuensi logis dari nilai subjektivitas atasnya.

Mengacu pada pemikiran salah satu tokoh filsafat Islam kontemporer, ialah Murtadha Muthahhari, konsep manusia sempurna merupakan sebuah pandangan tentang apa dan bagaimana menjadi manusia sempurna. Bagi Muthahhari, manusia sempurna berarti manusia teladan, unggul, dan mulia. Muthahhari mengutarakan bahwa manusia sempurna terbentuk dalam jalan proses intelektual dan spiritual sebagai pencapaian di tengah masyarakat. Manusia selanjutnya dapat menjadi khalifah yang akan memperbaiki tatanan sosial dan menjaga bumi dari kerusakan. Pendudukan manusia sempurna khususnya di dunia modern akan menjadi sebuah upaya konstruktif untuk membawa manusia agar terhindar dari kendala laten dunia, tersebut: karakter eksploitatif, miskin nilai, pemikiran kompleks, kebenaran subjektif, dan relativitas pengetahuan.

Kritik Islam atas Manusia Modern

Islam sebagai bagian dari masyarakat universal dunia tentu perlu menemukan penjelasan mengenai kecenderungan manusia modern. Hal ini menjadi penting guna memecahkan faktor kendala dan ketimpangan dunia modern. Dalam hal ini, Islam juga berperan sebagai sebuah pandangan hidup memiliki pendapat – pendapat destruktif dalam melihat perkembangan dan corak dunia modern. Di dalam perkembangannya, hal yang tidak bisa nafikan ialah banyaknya gugatan – gugatan argumentatif  yang mengutarakan bahwa, dengan segala persoalan dan krisis yang terjadi, dunia modern mengalami kebangkrutan. Realitas kehidupan modern telah diwarnai dengan kontradiksi dan dijiwai oleh semangat positivisme. Manusia modern hidup dalam sebuah dunia sosial dari nilai – nilai yang berat sebelah dan bertentangan dengan kepastian hidup. Dengan demikian, dalam perkembangannya yang mencekik, manusia telah untuk mendekonstruksi pandangan transendental hingga mampu menanggalkan pakaian keimanan. Singkatnya kata, agama tidak mendapatkan tempat dalam kehidupan modern.

Dalam penggambaran selanjutnya, dunia modern yang melempar agama ke wilayah degradasi telah mengantarkan manusia ke jurang kehancuran dan krisis. Dengan hilangnya batasan – batasan yang dianggap dan diyakini sebagai sakral atau absolut, mengakibatkan manusia modern terjebak dan berputar – putar dalam dunia yang serba relatif. Seperti yang dikatakan oleh Sayyed Hossein Nasr dalam (Astutik, 2011) bahwa berbagai krisis yang melanda manusia modern seperti krisis ekologi, epistemologi, dan bahkan eksistensial berawal dari pemberontakan manusia modern terhadap Tuhan akibat dari paradigma yang dianut pada abad pencerahan yaitu positivistik – antroposentris. Hingga sains diciptakan hanya berdasarkan kekuatan akal, tanpa cahaya intelek. Di sisi lain, realitas modern telah menafsirkan satu realitas tunggal dan menurunkan level realitas ketuhanan menjadi diri manusia sendiri. Manusia menjadi pusat dalam siklus alam semesta sebagaimana dijelaskan dalam antroposentrisme. Inilah yang bagi para pembelajar Islam seperti Muthahhari dianggap sebagai muara dari carut – marutnya dunia modern. Manusia gagal dalam mengenali dirinya dan realitasnya seutuhnya, yang berimplikasi terhadap ketidakseimbangan psikologis dan kerusakan jiwanya hingga pada akhirnya mendorong manusia menjadi semakin eksploitatif dan rakus.

Manusia Sempurna (Insan kamil): Rujukan Manusia Modern.

Dengan implikasi manusia modern, Islam sebagai pandangan hidup yang memiliki watak kosmopolitan dan bersifat universal mencoba untuk merekonstruksi kegagalan modernitas ini. Pasalnya, salah satu kesalahan manusia modern ialah saat seseorang melihat dan menafsirkan dirinya hanya dalam sisi atau sepotong saja dari eksistensinya. Sedangkan untuk melihat nilai manusia secara utuh, seseorang harus mengakui adanya puncak spiritualitas. Pada titik ini manusia hanya bisa mengetahui dirinya secara utuh dan sempurna tatkala ia berada di pusat spiritualitas dirinya. Karena itu dengan ketumpulan intelektual manusia modern ini, setiap pengetahuan yang diraih bukanlah menjadi pengetahuan yang mendatangkan kearifan untuk melihat hakikat alam semesta sebagai suatu kesatuan yang tunggal, cermin keesaan, dan kemahakuasaan tuhan, melainkan sebagai pandangan yang ekstraktif. Pandangan ini melihat alam semesta sebagai realitas independen, yang dilepaskan dari hubungan apa pun. Menurut Nasr, manusia modern telah menciptakan situasi sedemikian rupa tanpa adanya kontrol, sehingga manusia terperosok hingga pada gilirannya akan menghantarkan alam pada kehancuran.

Dari kecarut-marutan ini, refleksi atas manusia sempurna Muthahhari akan melahirkan sebuah sistem nilai dan moral alternatif manusia. Muthahhari mengemukakan bahwa untuk mencapai manusia sempurna tidak sesederhana cara manusia modern menafsirkan dirinya. Manusia sempurna dapat dilacak dan diidentifikasi dengan kriteria intelektual, spiritual dan tanggung sosialnya. Walaupun terdapat adagium sederhana bahwa tidak ada manusia tidak ada yang sempurna, tapi dalam dunia ide, Muthahhari menjelaskan bahwa manusia terlalu kompleks untuk disimplifikasi. Karenanya, manusia perlu menemukan perbedaan di antara seluruh ciptaan Tuhan, hingga kemudian pengetahuan ini dapat menjadi tangga yang mengantarkan manusia pada diskursus manusia sempurna dan realitas konkretnya.

Islam melihat alam semesta sebagai rantai yang berkaitan, dengan anggapan bahwa manusia pada hakikatnya hanya menjalankan peran sebagai kalifah di bumi dengan menjaga keseimbangan dan mencegah kerusakan. Dalam hal ini, berbeda dengan karakter positivistik modern yang eksploitatif, Muthahhari menjelaskan bahwasanya Islam mendorong manusia untuk bersikap adil dan dipenuhi cinta. Baik bagi sesama manusia maupun alam semesta. Inilah  yang menjadi salah satu landasan manusia sempurna.

Manusia sempurna atau insan kamil menurut Muthahhari ialah manusia yang mampu mengejawantahkan nilai – nilai spiritual dalam dirinya, ialah dengan bersikap adil dan moderat. Dengan demikian, secara eksistensial manusia sempurna ialah sebuah realitas hidup di mana terdapat pemanfaatan potensi baik di dalam diri menuju aktualisasi.

Referensi

Astutik, T. (2011). Modernitas dalam perspektif Seyyed Hossein Nasr. Jurnal Penelitian.

Muthahhari, M. (2015). Manusia Sempurna. Yogyakarta: RausyanFikr Institute.

Muh Abdillah Akbar

Penulis merupakan mahasiswa jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content