Memahami “Seni Memahami” bersama Schleiermacher

"Pemahaman" atau "memahami" dalam diri manusia mengandaikan adanya suatu keterlibatan pribadi untuk menangkap makna yang ada di balik data.
Friedrich Schleiermacher
Friedrich Schleiermacher

Salah satu keunikan manusia terletak pada kemampuannya untuk bisa memahami sesuatu. Hal mana tidak ditemukan pada makhluk lain. Dalam diri hewan, misalnya, seekor anjing ‘kelihatannya’ bisa memahami perintah dan kehendak majikannya. Apa yang disebut sebagai ‘pemahaman’ dalam diri anjing dan dalam diri manusia adalah sesuatu yang sangat berbeda. Pada anjing apa yang disebut sebagai ‘pemahaman’ itu tidak lain merupakan tindakan alamiah yang timbul dari insting hewaninya. Sedangkan ‘pemahaman’ atau ‘memahami’ dalam diri manusia mengandaikan adanya suatu keterlibatan pribadi untuk menangkap makna yang ada dibalik data (Hardiman, 2022: 9).

Memahami sebagai sebuah kegiatan atau usaha, inilah yang lazim dikenal dengan istilah ‘hermeneutik’. Palmer mengemukakan setidaknya ada enam dimensi dari hermeneutik (Palmer, 1969: 33). Namun dalam tulisan ini cukuplah jika hermeneutik diartikan sebagai upaya untuk memahami atau menyingkap makna suatu teks dan teks tersebut tidaklah hanya dibatasi pada tulisan belaka melainkan mencakup seluruh jejaring makna atau seluruh struktur simbol yang ada (Hardiman, 2022: 12).

Adalah seorang teolog Protestan yang bernama F.D.E. Schleiermacher (1768-1834) yang digadang-gadang sebagai bapak dari hermeneutika modern (Huang, 1996: 251). Gelar ‘bapak dari hermeneutik modern’ bukan berarti bahwa Schleiermacher-lah yang pertama kali mencetuskan ide tentang hermeneutik, melainkan Schleiermacher-lah yang mengawali pemahaman menyeluruh tentang apa itu hermeneutika (Ricoeur, 1977: 181). Nantinya, pemikiran Schleiermacher mewarnai pula perkembangan hermeneutik dalam pemikiran tokoh-tokoh berikutnya antara lain: Dilthey, Heidegger, hingga Ricoeur. Dalam tulisan ini akan diulas beberapa aspek pemikiran Schleiermacher tentang hermeneutik. Ada tiga pokok bahasan mengenai hermeneutik Schleiermacher dan ketiganya akan diuraikan di bawah ini.

Schleiermacher dan Usaha Membebaskan Hermeneutik

Sebelum Schleiermacher, hermeneutik umumnya hanya dikenal dan dipraktikan terbatas dalam bidang-bidang tertentu saja. Misalnya, dalam seluruh tradisi Kekristenan, hermeneutik dilakukan untuk memahami makna teks-teks Alkitab. Hal yang sama pun dilakukan dalam bidang lain seperti dalam bidang hukum untuk memahami teks peraturan perundang-undangan. Hermeneutik yang dibatasi hanya pada bidang-bidang tertentu inilah yang disebut oleh Palmer sebagai hermeneutik khusus ‘special hermeneutics’ (Palmer, 1969: 84).

Kendati lebih dikenal sebagai seorang pengkhotbah daripada seorang filsuf, Schleiermacher mencoba menembus batas-batas hermeneutik yang dibatasi hanya pada bidang yang digelutinya saja, yakni bidang teologi. Bagi Schleiermacher, teks dalam berbagai disiplin mempunyai dan disatukan oleh hakikat yang sama. Sebagai contoh, masing-masing teks ditulis dengan menggunakan kosa kata dan dalam tata bahasa (grammar) tertentu. Keterkaitan antara tata bahasa dan makna dari teks itu mempunyai sifat universal bagi semua teks dan tidak terbatas hanya pada disiplin tertentu saja. Apa yang dilakukan Schleiermacher adalah membebaskan hermeneutik dari sekadar memahami teks-teks otoritatif dari disiplin tertentu, menjadi upaya komprehensif untuk memahami segala sesuatu yang diungkapkan lewat medium bahasa, baik secara lisan maupun tertulis (Hardiman, 2022: 38).

Seni Memahami: Tidak Terbatas pada Aspek Gramatika Belaka

Dalam berbagai uraian tentang hermeneutika Schleiermacher, umumnya dibedakan antara dua jenis penafsiran atau interpretasi: interpretasi gramatikal dan interpretasi psikologis. Istilah lain, misalnya sebagaimana digunakan oleh Ricoeur (1977) adalah penafsiran gramatikal dan penafsiran teknikal (p. 184). Para peneliti Schleiermacher yang awal sekali umumnya mengemukakan bahwa hermeneutik Schleiermacher semata-mata dilakukan berdasarkan penafsiran psikologis semata. Sekarang ini, umumnya disepakati bahwa hermeneutika Schleiermacher mencakup penafsiran gramatikal dan juga penafsiran psikologis. Meminjam terminologi Huang (1996), hermeneutika Schleiermacher merupakan sebuah pergerakan yang berseni (artful movement) antara penafsiran gramatikal dan penafsiran psikologis (p. 251).

Penafsiran gramatikal berarti upaya memahami makna di balik teks berdasarkan kaidah kebahasaan yang digunakannya. Dalam hal ini, tata bahasa atau ‘grammar’ menjadi medium penyaluran makna dari penulis kepada pembaca (Ricoeur, 1977: 1985). Mari kita gunakan teks Proklamasi sebagai contoh. Bagian awal teks Proklamasi berbunyi:

“Kami, Bangsa Indonesia, dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia”

Terdapat beberapa cara untuk menafsirkan teks tersebut secara gramatikal. Misalnya, kata ‘Kami’ yang digunakan merujuk pada orang pertama jamak.

Kata ‘kami’ diikuti dengan frasa ‘Bangsa Indonesia’. Dalam hal ini digunakan majas yang dikenal dengan istilah ‘Sinekdoke Pars Pro Toto’, artinya menggunakan sebagian untuk merujuk pada keseluruhan. Kata ‘Kami’ di sana dalam arti sempit hanya merujuk pada Sukarno, Hatta, dan Ahmad Soebardjo sebagai perumus teks Proklamasi. Dalam arti luas mencakup semua orang yang hadir di Rumah Laksamana Maeda beberapa jam sebelum pembacaan teks Proklamasi 17 Agustus 1945. Baik dalam arti sempit maupun luas, kata ‘Kami’ dipakai untuk merujuk pada Bangsa Indonesia secara keseluruhan. Dalam hal ini digunakan penafsiran gramatikal terhadap suatu teks.

Menurut Ricoeur (1977), penafsiran psikologis mengacu pada proses di mana penafsir berupaya mencapai dimensi subjektif dari penulis (p. 186). Dalam hal ini bahasa tidak berfungsi sebagai medium utama, melainkan sebagai medium untuk mengetahui dimensi subjektif penulis. Dengan penafsiran psikologis, penafsir mencoba menggali pikiran-pikiran penulis dibalik teks yang dituliskannya dan tidak hanya sekadar menggali perasaan penulis (Hardiman, 2022: 41).

Mari kita kembali pada contoh Teks Proklamasi di atas. Jika penafsiran psikologis hanya dibatasi pada perasaan, maka jelaslah dibalik kalimat tersebut tersembul perasaan lelah karena Sukarno dan Hatta baru saja kembali dari Rengasdengklok dan baru saja menghadap pimpinan tertinggi Jepang. Tersembul pula, barangkali, perasaan takut. Betapa tidak, pembacaan Proklamasi yang segera akan dilakukan akan melawan secara terang-terangan perintah pimpinan tertinggi militer Jepang. Namun, sebagaimana telah dikemukakan, penafsiran psikologis melampaui pencarian akan perasaan semata.

Penafsiran psikologis mencoba memahami pikiran para perumus teks Proklamasi dibalik penggunaan kata ‘Indonesia’, misalnya. Pada saat itu, rasanya belum ada konsensus baku mengenai apa yang dimaksud dengan ‘Indonesia’. Apakah ‘Indonesia’ mengacu pada seluruh wilayah yang pernah diduduki oleh Belanda dan kemudian diserahkan kepada Jepang? Apakah ‘Indonesia’ mengacu pada seluruh wilayah yang perwakilannya hadir dan ikut merumuskan Sumpah Pemuda tahun 1928? Atau apakah ‘Indonesia’ mengacu pada wilayah di mana seluruh penduduknya menjadi penutur Bahasa Melayu? Pertanyaan inilah yang coba digali oleh penafsir dengan menggunakan penafsiran psikologis.

Singkatnya, bagi Schleiermacher, penafsiran gramatikal bukannya tidak penting sama sekali. Penafsiran gramatikal tidaklah cukup. Pencarian makna di balik teks harus pula dibarengi dengan penafsiran psikologis. Meminjam istilah yang dikemukakan oleh Hardiman (2022), penafsir harus mampu masuk ke dalam kulit penulis teks (p. 41). Penafsiran gramatikal meliputi dimensi objektif, sedangkan penafsiran psikologis mencakup dimensi subjektif dari penulis.

Divinasi sebagai Proses Memahami

Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana caranya melakukan penafsiran atau hermeneutika yang paripurna itu? Dalam hal ini, Schleiermacher menggunakan istilah yang disebutnya sebagai ‘Divinasi’. Divinasi mengacu pada empati psikologis penafsir terhadap penulis yang melaluinya penafsir membayangkan dirinya seolah-olah sebagai penulis untuk dapat memahami maksud asli penulis (Hardiman, 2022: 62). Sebuah teks tidaklah hadir di ruang hampa. Sebuah teks dibentuk dan dipengaruhi oleh lingkungan, pikiran, dan perasaan penulisnya.

Usaha untuk memahami makna sebuah teks tidaklah mungkin dilakukan hanya dengan menggunakan ‘kepala’ saja melainkan juga harus melibatkan ‘hatinya’ (Hardiman, 2022: 61). Hermeneutik yang integral inilah yang memungkinkan pencarian makna secara paripurna. Artinya, pencarian makna yang tidak hanya berfokus pada aspek literal belaka, melainkan juga dengan mempertimbangkan konteks di baliknya.

Referensi

Hardiman, F. Budi. Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida. Sleman: PT Kanisius, 2022.

Huang, Yong. “The Father of Modern Hermeneutics in a Postmodern Age: A Reinterpretation of Schleiermacher’s Hermeneutics.” Philosophy Today 40, no. 2 (Summer 1996): 251.

Palmer, Richard E. Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer. Evanston: Northwestern University Press, 1969.

Ricoeur, Paul, Jr. “Schleiermacher’s Hermeneutics.” The Monist 60, no. 2 (1 April 1977): 181–97. https://doi.org/10.5840/monist19776025.

Michael Nicola Prayoga

Mahasiswa hukum yang karena filsafat memutuskan menjadi pembelajar sepanjang hayat

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Skip to content