Manusia dalam gelanggang kebimbangan
Gagasan yang umum diterima oleh umat beragama dalam melebur keyakinan pada Sang Ilahi adalah bahwa, Sang Ilahi dapat memberi jawaban bahkan dapat menolong hidup yang sesak. Gambaran mengenai Tuhan yang “Maha Penolong”, “Maha Pembebas”, “Maha Penyelamat”, dan ‘maha-maha’ yang lain sering kali menjadi dasar utama kehidupan umat beragama (khususnya agama dengan sektor akar Abrahamik) untuk berteguh iman. Hal ini tentu tidak salah, sebab kebanyakan kitab suci mengajarkan sedemikian rupa. Semuanya tercatat dan mendapat tempat. Namun yang menjadi masalah adalah ketika jawaban-jawaban atas peranan dan unsur keilahian Allah sering kali berakhir dengan sunyi. Hal ini dapat dilihat dalam peristiwa-peristiwa yang membentuk peradaban manusia di mana kejahatan mengambil tempat tertinggi dalam hukum kausalitas umat manusia. Selanjutnya, lahir sebuah pertanyaan, “Quo vadis Domine?” atau “Di manakah Tuhan?” Bagaimana jika Tuhan tetap tidak bergeming melihat penderitaan manusia?
Ateisme selanjutnya menjadi tempat penjagalan terbuka bagi pertanyaan tentang eksistensi Tuhan dan iman. Ia menjadi ruang kosong penuh pertanyaan, terutama dalam penalaran positif. Berlainan dengan suatu upaya pembunuhan Tuhan yang dilakukan oleh para pemikir ateis, akan baik bila kita berupaya mengenal gagasan teopoetika (theopoetics). Gagasan ini merupakan upaya untuk membangun (berasal dari kata poiesis, yang artinya menciptakan) gambaran Ilahi yang lebih relevan, terutama dalam menjawab kegelisahan manusia masa kini. Gagasan khususnya gagasan teopoetika yang dikembangkan oleh Abraham Joshua Heschel.
Membongkar Diamnya Allah: Wacana Pathos Ilahi
Sebagai seorang filsuf dengan latar belakang tradisi Yudaisme yang hidup dalam periode chaos (kecamuk masa Perang Dunia I dan II), Heschel telah berhasil mengembangkan berbagai gagasan mengenai eksistensi Allah di tengah masa-masa penderitaan. Di saat yang sama, banyak filsuf berlatar belakang Yahudi yang mengembangkan penekanan renungan atas kuasa kejahatan dalam peperangan.
Berdasarkan latar belakangnya, Heschel menawarkan gagasan teopoetika yakni cara untuk mengenali kondisi di mana para nabi-nabi dalam Yahudi – mereka dianggap tidak punya teori tentang Tuhan atau ide tentang Tuhan (ananke), atau merumuskan Tuhan dalam suatu gagasan teologis yang baku– memahami pengalaman intim dengan Tuhan dengan melibatkan perasaan antara manusia sebagai ciptaan dan Tuhan sebagai Sang Pencipta. Para nabi, melakukan pencarian idea tentang Allah dengan sangat berbeda jika dibandingkan cara mereka memahami akan perasaan (pathos) Tuhan. Kata perasaan atau pathos di sini menjadi penting dalam menyelami gagasan teopoetika yang dikembangkan oleh Heschel.
Teopoetika “Tuhan sebagai Yang Pathos” menurut Heschel menghadirkan sebuah pemahaman secara apofatik, yang menggambarkan Tuhan dalam ruang via negativa. Sehingga, bukan hanya teologi (theos dan logos) yang mencoba mengungkap eksistensi Tuhan, melainkan juga teopoetika (theos dan pathos) yang dapat mengungkap pengalaman intim dan perasaan Sang Ilahi (dengan upaya manusia untuk menggambarkan-Nya sebagai pribadi). Tuhan dapat dikenali oleh manusia sebagai entitas yang berperasaan seperti halnya pribadi manusia. Hal ini didasarkan oleh Heschel menurut kisah nabi-nabi Yudaisme dalam memahami Tuhan melalui pengalaman atau perjumpaan mereka dengan Tuhan. Pengalaman itu tidak selalu baik, terkadang beberapa nabi diperingatkan atau diuji oleh Tuhan dalam kesesakan.
Melalui gambaran persekutuan para nabi Yahudi dengan/terhadap perasaan Tuhan – a sympathy with the divine pathos – maka para nabi Yahudi dapat memahami perhatian Tuhan yang begitu dalam kepada ciptaan-Nya. Tetapi, adanya persekutuan antara nabi dan Allah ini tidak membuat nabi terserap dalam Yang Ilahi (lih. manunggaling kawula gusti dalam kebudayaan Jawa). Dalam beberapa kisah, para nabi Yahudi bahkan kerap berdebat dengan Tuhan sehingga emosi mereka tergambar dalam proses penyampaian pesan Tuhan.
Penekanan adanya suatu upaya intuitif yang mendalam dalam memahami pathos Allah ini menjadikan teopoetika terbuka bagi berbagai makna terselubung yang ada dalam kisah-kisah perjalanan umat Tuhan. Tuhan dalam mata para nabi adalah nyata dan bukan abstrak. Ia bersifat personal, intim dan perhatian kepada manusia. Ia bukanlah sekedar “Sang Perintah” atau “Sang Penghukum” melainkan Tuhan juga dapat merasakan marah, sedih, dan bahagia bersama ciptaan-Nya. Bahkan, bagi beberapa kepercayaan Tuhan juga dapat tergugah dengan persoalan dunia hingga bertindak sesuai dengan karsa-Nya. Tuhan dapat berkaca melihat kehidupan umat manusia. Wacana pathos ilahi ini bukan berarti dapat dimaknai bahwa Yang Ilahi dapat dilihat sebagai “Tuhan yang Maha Sesuka Hati” melainkan “Tuhan yang bersifat dinamis” karena pathos adalah persoalan perasaan yang dapat berubah.
Relevansi dalam hidup beriman masa kini: misi menciptakan Tuhan
Dalam dunia masa kini, probabilitas kejahatan semakin meningkat. Manusia sering kali mendapati dirinya kehilangan jejak dalam pencarian akan kehadiran Tuhan. Perkembangan teknologi dan pascamodernitas juga membawa alam pikiran manusia pada pemahaman yang begitu rancu. Tantangan hidup beriman dalam masa kini tentu begitu menggerus keyakinan. Pandangan teopoetika, boleh jadi tidak serta merta dapat langsung diterima oleh beberapa kalangan konservatif, dengan konstruksi teologi dogmatis yang masih langgeng dan digenggam erat. Namun, gagasan teopoetika memungkinkan umat beragama untuk melihat sudut pandang via negativa dari Tuhan sehingga dapat menjadi suatu alternatif dalam arena kebimbangan masa kini.
Sisi reflektif yang ditekankan oleh Heschel di sini adalah bahwa Tuhan dapat berkaca dalam perangai kehidupan umat manusia-Nya. Sering kali Tuhan dapat marah dan dapat memberi pengampunan sesuai dengan pathos-Nya. Oleh karena itu, sudah suatu kewajiban bagi manusia bertuhan untuk dapat mewujudkan kehidupan yang baik adanya, sebab pathos Tuhan menyatu dalam kehidupan ciptaan-Nya. Dan apabila manusia dalam kesesakannya merasa bahwa Tuhan tidak bertindak adil dalam kehidupan, manusia dapat mengingat bahwa perasaan manusia dan Tuhan adalah terhubung. Tuhan hadir merasakan kesesakan manusia. Namun tetaplah prerogatif Tuhan dengan pathos-Nya untuk bertindak ataupun tak bergeming. Jawabannya bukan terletak pada kuasa ajaib Tuhan yang tiba-tiba, melainkan menyatunya perasaan manusia dengan perasaan Tuhan yang senantiasa. Teringat akan novel karya Leo Tolstoy, yang berjudul “God Sees The Truth, But Waits” hendak memberikan suatu pukulan kesadaran bagi manusia bahwa Tuhan boleh jadi ‘eksis’, namun Ia adalah entitas yang berperasaan dan bebas dalam mengambil keputusan yang terbaik menurut matematika-Nya sendiri. Sungguh suatu jalan lain dalam menyikapi keraguan akan eksistensi Tuhan.
satu Respon