Mungkin tidak asing di telinga kita bahwa Emil Cioran adalah seseorang yang menakutkan dan senang bermain dengan keputusasaan. Gaya hidup nocturnal yang menurutnya memberikan ketenangan untuk melaksanakan tugasnya dengan baik (menulis, merenung, dan berjalan-jalan). Di balik kesunyian malam, Cioran tetap menjaga batas-batas relasi yang berkaitan dengan dirinya, beberapa orang tidak dapat secara langsung menjalin komunikasi dengan Cioran, bahkan hanya sedikit orang yang dipertahankan Cioran untuk tetap berada di sisinya untuk berinteraksi. Dirinya yang semakin jauh dari interaksi sosial semakin diperkuat dengan dirinya yang enggan untuk bepergian ketika dunia masih terang, Cioran lebih menyukai hidupnya di dalam apartemen dengan ukuran yang cukup sempit dan ditemani dengan buku-buku. Jika kita membayangkan pertemanan dengan Cioran, tentu saja kita tidak akan disuguhkan dengan secangkir kopi hangat atau sebungkus rokok yang dapat memantik diskusi, namun kita akan disuguhkan dengan tatapan dingin serta tidak jarang – jika kita dirasa membuat dirinya tidak nyaman- pembicaraan tersebut tidak akan bertahan lama. Untuk mengajak Cioran ngopi di pagi atau siang hari mungkin akan sulit, namun itu bukanlah suatu hal yang mustahil. Sambil kita membayangkan skenario yang hendak kita buat untuk mengajak Cioran ngopi, terlebih dahulu kita akan membahas beberapa kegelisahannya yang berhasil ia tuangkan ke dalam beberapa buku, dan salah satunya yang berjudul On the Heights of Despair.
Angst
Emil Cioran merupakan filsuf yang lahir di Rumania—dalam hal ini kita mengetahui bahwa Rumania sering dianggap memiliki kaitan dengan mitologi drakula yang muncul di dalam karya fiksi Dracula karya Bram Stoker—yang pemikirannya tidak dapat kita lepaskan dari pengaruh geografis negara asalnya karena berada di lintasan perjalanan filosofis antar negara di tengah perkembangan intelektual dunia pada saat itu. Akan tetapi, Rumania bukanlah tempat di mana nama Cioran menjadi besar, Prancis-lah yang membuat Cioran menjadi pemikir yang paling dikenal dan kebanyakan karya Cioran ditulis dalam bahasa Prancis. Kita harus meninggalkan mitologi drakula, Bran Castle, dan Vlad Ţepeş (Vlad III). Dan, terjun bebas ke dalam angst yang membayangi Cioran. Ia pernah berkata bahwa “Each of us is born with a share of purity, predestined to be corrupted by our commerce with mankind, by that sin against solitude.” Penggalan kalimat tersebut memperlihatkan bahwa ada kecurigaan dan rasa pesimis yang diekspresikan Cioran terhadap umat manusia dan kehidupannya. Beberapa kegelisahan Cioran terlihat di dalam beberapa pembahasan yang menyangkut kematian, absurditas dan keterasingan, kecemasan mendasar, dan paradoks kebebasan. Di sini, kita tidak akan membahas kegelisahan Cioran secara menyeluruh; kita mengetahui bahwa akan terlalu panjang untuk membahas kegelisahan Cioran secara mendasar ditambah dengan korelasinya saat ini, namun penulis akan melakukan usaha yang maksimal dengan sependek pengetahuan yang penulis peroleh untuk melakukan analisa terhadap masalah-masalah yang terkandung di dalam pemikiran Cioran.
Kematian
Semua yang hidup pasti mati, kalimat tersebut merupakan proposisi universal positif yang secara nyata menggambarkan realita yang akan dihadapi oleh makhluk di alam semesta—di multiverse mungkin memiliki probabilitas yang cukup besar terkait makhluk yang dapat hidup abadi, namun semua itu masih diperdebatkan bahkan belum ada bukti nyata atas hal tersebut—dan kematian merupakan sumber kecemasan utama yang membuat kita menjadi takut, bahkan tidak pernah siap untuk mati. Kita menyadari bahwa kita akan mati dan beranjak dari pernyataan tersebut secara alami pikiran manusia akan memberikan respon berupa rasa takut, dan menjadi simbolisasi terhadap kesementaraan kehidupan. Kita melihat bahwa eksistensialisme yang sering kali menjadi gerakan pemberian makna bagi kehidupan sebagai lawan dari nihilisme, secara langsung akan dinegasi dalam tingkat yang paling tinggi dan absolut, bahwa kematian adalah akhir dari upaya manusia untuk eksis atau memberikan “meaning” atas hidupnya. Terlihat bahwa Cioran mengalami “kelelahan eksistensial” yang parah di masa tuanya dibandingkan dengan kelelahan fisik, yang menjadi penanda bahwa seorang Cioran secara sadar dan yakin bahwa kecemasan eksistensial tertinggi sedang menimpa dirinya sendiri. Kita selayaknya merefleksikan apa yang menjadi nilai dasar dari kehidupan yang glamour, hedon, hingga superioritas. Apabila pada akhirnya kita akan meninggalkan semua itu? Jika ada orang yang mengatakan bahwa, “Saya melakukan hal tersebut.” (hedon, merasa paling berkuasa, rasis, suka fleing, atau tukang gosip) Mereka mungkin lupa bahwa pada akhirnya tindakan mereka akan menjadi paradoks setelah mereka mati. Bayangkan, ketika seorang manusia semasa hidupnya sering bergosip, bukankah setelah kematian dirinya juga akan menjadi pembahasan gosip, misalnya keburukannya akan dicibir, makanan di acara kematiannya yang kurang enak, atau bahkan hutang-hutang yang masih belum lunas akan menjadi topik hangat di sela-sela suasana duka. Setelahnya, jika ada seseorang yang merasa paling berkuasa ketika masih hidup, bukankah setelah kematiannya ia tidak lagi menjadi penguasa, bahwa dirinya sendiri tidak mampu memerintahkan cacing atau mikroorganisme lainnya yang ada di dalam tanah untuk tidak memakan dirinya, atau bagi orang yang ingin dikremasi setelah kematiannya bahkan tidak mampu menahan suhu panas dari api yang membakar dirinya.
Saat ini kita menyadari bahwa manusia sedang mengalami krisis eksistensial, namun untuk lebih membuatnya lebih bersahaja, kita akan menggunakan term “krisis pengakuan” sebagai istilah yang lebih cocok untuk merujuk ke beberapa kondisi yang terjadi saat ini. Krisis pengakuan adalah wujud nyata dari kekhawatiran atas kematian yang cepat atau lambat, dan mendadak atau terukur akan menghampiri dirinya. Misalnya, seorang politikus berusaha untuk menjadi baik atau menciptakan image baik agar dikenang sebagai pahlawan di dalam masyarakatnya atau seorang penulis berusaha menciptakan karya monumental atau sebanyak-banyaknya untuk dikenang melalui buku-bukunya.
Pramoedya Ananta Toer pernah menyatakan bahwa, menulislah, karena tanpa menulis engkau akan hilang dari pusaran sejarah. Tidak ada yang salah dari pernyataan tersebut, dan jika kita tarik ke kondisi saat ini dengan minat baca masyarakat yang semakin menurun, khususnya di Indonesia, menulis bukanlah cara yang terbaik untuk tetap berada di pusaran sejarah Indonesia. Analisa Cioran terhadap kematian menjadikan apa yang kita lakukan pada akhirnya tidak cukup maksimal karena keterbatasan waktu hingga kemisteriusan hidup yang tak terduga. Realitas tertinggi yang harus kita akui adalah kematian yang kemudian menimbulkan pertanyaan “untuk apa kita semua melakukan ini?”. Fungsi dari kematian adalah pengingat bagi kehampaan esensial dan kesia-siaan eksistensial. Jika seseorang bersikeras untuk menjadi superior—dalam konteks tertentu atau yang lebih positif mungkin dapat dipertimbangkan daripada superioritas dalam konteks negatif—dengan menguasai atau menjadi penindas seperti kebanyakan kapitalis. Maka, pada akhirnya orang-orang tersebut (penindas) berakhir di kubangan sejarah manusia. Dengan pengetahuan kita tentang kehidupan yang pada dasarnya tidak bermakna atau sia-sia, bukan berarti kita dapat melakukan segala sesuatu secara bebas atau semaunya.
Terdapat tanggung jawab sosial yang harus diperhatikan oleh setiap orang, bahkan untuk menangani orang yang sudah mati atau jenazah pun ada tanggung jawab sosial yang secara spesifik ada dan berkembang di dalam masyarakat. Bahwa dengan adanya krisis pengakuan atau eksistensial tertinggi karena seseorang mengetahui bahwa dirinya akan mati tidak dapat menjadi dasar bagi tindakan “bebas” atau “liar”. Dengan tanggung jawab sosial yang akan berimplikasi langsung dengan masyarakat, kita sebagai manusia memiliki peluang untuk melepaskan diri dari penderitaan sebelum akhirnya terbebas secara penuh setelah kematian. Melalui tanggung jawab sosial yang kita lakukan, setidaknya kita menjaga diri kita dari sinisme sosial yang semakin parah dan beralih pada “kepura-puraan” pemaknaan kehidupan.
Alienasi
Cioran juga dikenal dengan pembahasannya yang berkaitan dengan alienasi, hal ini diperkuat dengan pendapat Ilinca Zarifopol-Johnston yang tertulis di dalam kata pengantar buku On the Heights of Despair, bahwa “The themes of Cioran’s work are the themes of modern and post-modern Western civilization: despair and decay, absurdity and alienation, futility and the irrationality of existence, the need for total lucidity and self-awareness, and consciousness as agony.” Gagasan yang dikenal dari Cioran yang berkorelasi dengan alienasi adalah metaphysical exile. Ia menuliskan pendapatnya tentang metaphysical exile di dalam bukunya yang berjudul The Trouble with Being Born, bahwa “All my life, I have lived with feeling that I have been kept from my true place. If the expression “metaphysical exile” had no meaning, my existence alone would afford it one.” Gagasan ini merujuk pada kondisi keberadaan atau eksistensi manusia sebagai pengasingan itu sendiri atau alienasi dari suatu keadaan ideal atau dunia ideal. Keberadaan seorang manusia akan dilekatkan dengan suatu identitas tertentu, pada titik tertentu, untuk menemukan makna yang sesungguhnya tidak selalu bersifat pasti di tengah keadaan dunia yang tidak memiliki makna; terjadi pertarungan hebat di dalam diri manusia yang mengasingkan dirinya dari identitas sejati manusia yang dibayangi oleh ambisi dan kepuasan yang tidak terpuaskan.
Keadaan tersebut diperparah dengan kondisi keterasingan sosial yang dapat dianggap sebagai bentuk konvensi kolektif yang pada akhirnya akan menekan kebebasan setiap orang yang terlibat di dalamnya. Harapan dan tekanan yang menjadi pemicu interaksi sosial akan mereduksi kemampuan manusia untuk merealisasikan keinginan sejatinya (pure desire). Kondisi tersebut akan memutus hubungan seseorang dengan keyakinan yang ia miliki dan pure desire—kita dapat memahami bahwa pengkondisian manusia melalui konvensi atau norma sosial memiliki tujuan yang baik bagi kepentingan bersama, namun Cioran memandangnya sebagai salah satu metode yang cukup efisien untuk mengurung manusia di tengah sirkulasi interaksi sosial. Keterasingan tidak dapat dipisahkan dari diri seseorang yang merupakan realitas terdekat yang sering dirasakan. Kondisi ini dapat disebabkan oleh rasa kecewa, ditinggalkan, atau ketidakpuasan diri seseorang terhadap beberapa aspek kehidupannya. Jika kita berkaca pada kondisi kontemporer keterasingan manusia, kondisi ini semakin diperparah dengan kondisi fetisisme komoditas yang kemudian melibatkan simbol atau tanda yang mempengaruhi kondisi psikologis seseorang untuk menjadi percaya atau berminat terhadap suatu tren di dalam masyarakat. Marx melihat bahwa fetisisme melekatkan dirinya pada produk tenaga kerja, ketika mereka telah dikonversi menjadi komoditas dan menyebabkan tidak terpisahnya fetisisme dengan produksi barang dagang (Karl Marx, 1954).
Jika kita mengandaikan suatu kondisi yang “benar” tentang pernyataan Marx dan kondisi masyarakat kontemporer, maka fetisisme merupakan ancaman nyata bagi keterasingan manusia dari kontrol atas pure desire dan fetisisme secara tidak sadar sulit untuk dihindari dalam masyarakat kapitalis. Kita menyadari bahwa komoditi merupakan produk dari hasil interaksi manusia yang dibayangi oleh sejarah dan perkembangan sosial. Konsep kelangkaan merupakan hal lumrah yang menyebabkan manusia terjebak di dalam pola pikir “harus membeli”. Keharusan ini dituntut oleh ketidakmampuan manusia untuk menentukan dan mengungkapkan keinginan sesungguhnya karena telah dibayangi dan dibatasi oleh society melalui konvensi tertentu. Misalnya, ketika kita pergi berbelanja dengan seorang teman di sebuah pusat perbelanjaan, dan pada saat itu kita melihat bahwa banyak barang diskon yang sedang dijual. Jika kita perhatikan terdapat pengaruh simbol atau tanda yang menarik perhatian setiap orang untuk mendekat ke setiap stand untuk memperhatikan lebih langsung; kualitas dan kuantitas yang hendak mereka beli dari suatu komoditi. Diskon—sekali lagi penulis menyinggung permasalah diskon yang memanfaatkan konsep kelangkaan (scarcity) untuk memancing dan membakar psikologis seseorang agar segera melakukan pembelian karena diskon tersebut hanya berlaku pada waktu tertentu. Kondisi ini diperparah dengan konvensi sosial atau tekanan-tekanan dari lingkar pertemanan yang kemudian menjadi pemicu keterasingan sosial hingga menjauhkan manusia dari prinsip ideal dan pure desire yang mereka miliki.
Masih dengan ilustrasi di atas, bahwa ketika kita berbelanja dengan seorang teman. Tidak jarang kita akan dipengaruhi oleh tuntutan tidak langsung dari teman kita untuk ikut serta berbelanja barang-barang yang sebenarnya tidak terlalu “fungsional” atau “dibutuhkan” untuk mendukung kehidupan kita—kebutuhan pada dasarnya bentuk keinginan yang lebih substansial daripada keinginan yang didasarkan pada hasrat kepuasan sementara, sehingga penulis merasa tidak lagi relevan untuk membuat dikotomi antara keinginan dan kebutuhan—teman kita akan mempengaruhi kita untuk melakukan transaksi dengan menempelkan fetisisme komoditi dirinya kepada diri kita. Misalnya sepatu dengan merk A dianggap sebagai sepatu yang memiliki nilai sosial atau gengsi yang lebih tinggi dibandingkan dengan sepatu merk B. Akibatnya, dengan adanya diskon sepatu dengan merk A, banyak orang berbondong-bondong untuk membelinya demi meningkatkan status sosial atau sekedar untuk melakukan flexing. Hal ini dapat terjadi pada setiap hal, misalnya ketika kita hendak nongkrong atau bersantai dengan kerabat di café, tidak jarang kita akan memilih café yang dianggap memiliki gengsi tinggi atau menolak untuk bersantai di café yang sederhana, akibatnya tidak jarang kita memaksakan kondisi finansial kita untuk sesuai dengan budget yang harus dikeluarkan untuk bersantai di café—hal ini memang tidak menjadi masalah selama kita mampu, namun apa yang telah kita pamerkan (flexing) di media sosial, secara tidak langsung akan berdampak pada diri. Seseorang yang mengasingkan dirinya dari suatu prioritas yang sedang ia kerjakan.
Tidak jarang hal ini dipengaruhi oleh kondisi FOMO atau Fear of Missing Out yang kemudian memicu seseorang bertindak sebagaimana sosok panutan lakukan. Keterasingan semacam ini tidak hanya bersifat filosofis seperti yang dikatakan oleh Cioran, namun juga bersifat ekonomis karena melibatkan pertimbangan yang bias atau sengaja disamarkan oleh agen-agen kapitalis (dalam konteks negatif) untuk mendapatkan keuntungan dan memaksakan komoditas laku terjual. Untuk memahaminya lebih lanjut, maka kita akan menggunakan satu ilustrasi lagi. Misalnya, ketika kita sedang bersantai di café sendirian, dan ditemani oleh segelas minuman yang telah kita pesan. Ketika kita mengamati lingkungan sekitar (orang-orang yang berkunjung), tidak jarang kita merasa tidak nyaman dengan kondisi hanya memesan satu jenis sajian yang ada, yaitu air minum. Adanya tekanan tidak langsung dari lingkungan sekitar—padahal lingkungan tersebut tidak memberikan tekanan berarti; kita sering terpengaruh akibat lingkar pertemanan yang selalu menuntut untuk melakukan konsumsi secara terus-menerus—yang kemudian membuat kita secara bertahap mulai memesan menu makanan lainnya, padahal kita tidak membutuhkan itu karena kita hanya sekedar ingin bersantai dengan sajian ringan; kita kembali memesan kentang goreng, sosis bakar, atau nasi goreng. Kondisi ini merupakan contoh keterasingan yang disampaikan oleh Cioran, bahwa kita terlempar dari kondisi ideal kita yang sangat jauh dari pure desire yang lebih berorientasi pada diri sendiri akibat adanya konvensi dari lingkar pertemanan atau lingkungan sosial.
Saatnya Ngopi bersama Cioran
Mungkin pada saat ini kita membutuhkan dua gelas kopi yang layak kita sajikan ketika berbincang dengan Cioran di dunia sembarang. Kita dapat menafsirkan bahwa Cioran pada dasarnya juga tidak terlalu peduli dengan keadaan di sekitarnya, karena menurutnya semua itu adalah hal yang sia-sia. Mungkin kita akan bertanya kepada Cioran, mengapa dirinya melakukan analisa tersebut meski pada akhirnya semua akan berakhir sia-sia? Tentu saja, ia tidak menyajikan hal tersebut sebagai upaya untuk restrukturisasi kolektif atau komprehensif. Analisis yang dilakukan oleh Cioran melalui pemikiran filosofisnya berorientasi subjektif atau hanya berlaku untuk “aku” sendiri; “aku” yang beraktivitas; “aku” yang berinteraksi; “aku” yang menegasi. Dengan demikian, dua kegelisahan Cioran ditujukan untuk sisi subjektif manusia sebagai cara untuk menghadapi dan merangkul pemahaman seseorang tentang keterasingan, ia percaya bahwa dengan kondisi itu, manusia akan lebih dalam memahami dirinya sendiri dan sifat dari eksistensinya.
Referensi
Weiss, J., & Cioran, E. M. (1986). An Interview with Cioran. Grand Street, 5(3), 105–140. https://doi.org/10.2307/25006875;
Ripstein, A. (1987). Commodity Fetishism. Canadian Journal of Philosophy, 17(4), 733–748. http://www.jstor.org/stable/40231565;
Petrović, G. (1963). Marx’s Theory of Alienation. Philosophy and Phenomenological Research, 23(3), 419–426. https://doi.org/10.2307/2105083;
Cioran E. M. (1992). On the heights of despair. University of Chicago Press;
Cioran E. M. & Howard R. (2018). A short history of decay. Penguin Books.
Marx. K. (2012). Das kapital: a critique of political economy. Regnery Publishing
Angga Pratama
Seorang Materialis dan mengidolakan Friedrich Engels. Kucing adalah hewan peliharaan yang paling disukai, batagor dan siomay menjadi makanan favorit. Belum berpikir mencintai seseorang untuk hari ini, mungkin akan mencintai di hari jumat atau senin.