fbpx

Mencintai Diri dengan Berfilsafat

Ketika kita mampu untuk menghindari spekulasi komoditas dan melepaskan diri dari keterikatan psikologi hedonisme, maka kita secara tidak langsung akan menyadari kebutuhan yang paling mendasar bagi diri kita sendiri dan berupaya untuk memenuhinya dengan dorongan objektif.
Slap the Whip karya Winslow Homer
Slap the Whip karya Winslow Homer

Sebagian orang menganggap bahwa berfilsafat merupakan hal yang rumit dan tidak jarang dianggap sia-sia. Berpikir, merenung, berargumen dalam berfilsafat dianggap sebagai hal yang tidak memberikan manfaat yang cukup besar bagi kehidupan berpikir konsep yang abstrak atau samar, mungkin itu anggapan bagi sebagian orang  yang hanya melihat filsafat dari luar tanpa melakukan verifikasi terlebih dahulu. Melalui tulisan ini, penulis berniat untuk sedikit meluruskan, bahwa berfilsafat bukanlah suatu tindakan yang sia-sia. Walaupun penulis melegitimasi bahwa berfilsafat adalah tindakan berpikir tentang sesuatu yang mungkin tidak dipikirkan oleh orang lain, dengan begitu secara tidak langsung seseorang yang berfilsafat mencoba mendobrak batasan-batasan pemikiran manusia yang hanya memikirkan aktivitas sirkularnya dibandingkan aspek-aspek di luar dari kegiatannya sehari-hari. Akan tetapi, seseorang yang mencoba menyangkal urgensi filsafat dan pentingnya manfaat yang diberikan oleh filsafat; dalam kehidupannya sehari-hari, sedikit-banyak telah berfilsafat pada dirinya sendiri. Salah satu ciri atau yang menjadi dasar bagi seseorang untuk berfilsafat, adalah rasa penasaran atau keheranan. Ketika kita melihat sesuatu yang menarik perhatian dan secara tidak langsung objek yang kita lihat tersebut memberikan stimulus untuk melakukan identifikasi, bahkan verifikasi terhadap kuantitas atau kualitas yang dimiliki (objek) tersebut.

Misalnya, saat ini kita mungkin tidak asing lagi dengan permainan lato-lato yang sedang mencapai puncak popularitasnya di kalangan anak-anak, bahkan orang dewasa. Permainan lato-lato tersebut memicu rasa penasaran yang kita miliki untuk menelusuri sejarah; mengingat permainan serupa di masa lalu atau memperhatikan bagaimana seseorang dapat memainkannya dengan baik. Rasa keheranan yang timbul setelah kita melakukan pengamatan atau penelusuran parsial atas fenomena tersebut membawa kita pada kerangka struktural pemikiran. Kerangka ini kemudian dapat kita gunakan untuk menentukan respon yang akan kita perlihatkan ketika melihat seseorang yang memainkan lato-lato. Mungkin, proses yang di atas dianggap biasa karena proses penelusuran atau identifikasi biasa dilakukan. Hal ini yang luput dari perhatian kita, bahwa dalam berfilsafat yang salah satunya mencoba untuk mendapatkan pengetahuan tentang kualitas dan kuantitas suatu fenomena, adalah bagian yang tidak dapat kita lepaskan dari kegiatan berfilsafat. Ketika kita hendak memperoleh suatu pengetahuan tentang fenomena “lato-lato”, maka kita akan mencari dan mengukur apa saja atribut yang melekat di dalam “lato-lato” hingga menjadi suatu aktivitas yang digandrungi oleh masyarakat dalam kurun waktu tertentu. Mungkin, setelah kita melakukan identifikasi atas fenomena “lato-lato” tersebut, maka kita akan menuju atau menghasilkan suatu kesimpulan. Yang banyak tidak disadari oleh sebagian orang adalah, bahwa kita telah melakukan suatu proses yang sering diimplementasikan di dalam filsafat ketika mengkaji atau membantah suatu fenomena. Dorongan dari rasa keheranan yang dimiliki oleh seseorang ketika berhadapan dengan fenomena tertentu, akan membawa dirinya pada aktivitas berfilsafat, terima atau tidak diterima, keadaan tersebut merupakan ciri khas dari perilaku berfilsafat. 

Setelah kita mencoba untuk memberikan sedikit pengenalan, tentang bagaimana filsafat bekerja dan implikasinya pada kehidupan. Selanjutnya, kita akan mencoba untuk memberikan bagaimana kita dapat mencintai diri kita dengan berfilsafat.

Mencintai Diri dengan Stoisisme

Stoisisme merupakan aliran filsafat Yunani kuno yang didirikan sekitar tahun 108 SM di Athena oleh Zeno dari Citium, yang kemudian berhasil menyebar hingga ke Romawi. Stoisisme berasal dari kata dalam bahasa Yunani, stōïkos yang berarti dari stoa (serambi, halaman, atau beranda) yang merujuk pada lokasi di Athena tempat pertama kali mazhab ini ditemukan. Stoisisme juga berkembang ke dalam beberapa bentuk ajaran, meliputi logika, fisika, dan etika. Salah satu ajaran atau istilah yang menarik yang digunakan oleh aliran ini adalah apathia atau kepasrahan yang mendorong seseorang untuk menerima keadaannya di dunia, dan melihat hal tersebut sebagai refleksi dari akal tertinggi dari segala hal. Selain itu, stoisisme juga mengenalkan kita pada konsep dikotomi kendali yang saat ini atau di tahun-tahun sebelumnya cukup populer di kalangan masyarakat. Dikotomi kendali ini menjadi penting sebagai cara bagi seseorang agar dapat mencintai diri sendiri. Kita akan menemukan demarkasi di dalam dikotomi kendali, antara hal yang dapat kita kendalikan dan hal yang tidak dapat kita kendalikan. Dua hal ini menjadi aspek penting bagi seseorang untuk menentukan atau mengalihkan perhatiannya ketika berhadapan dengan suatu permasalahan. Dikotomi kendali —sebagai seseorang yang hidup di dalam dinamika sosial yang dinamis— adalah upaya untuk menyadarkan kita, bahwa tidak semua hal dapat dikendalikan oleh kita. Artinya terdapat beberapa hal yang bekerja di luar dari kemampuan atau kemauan diri kita. Hal-hal ini bersifat eksternal dan tentu saja akan mempengaruhi aktivitas kita.

Ketika kita korelasikan dikotomi kendali dan upaya mencintai diri sendiri. Dua hal ini saling berkaitan untuk membentuk kepribadian yang lebih leluasa menerima dan menyadari bahwa “diri” atau “aku” adalah sosok material yang perlu diperhatikan dan berorientasi pada diri sendiri. terdengar egoistik, namun hal ini adalah kekuatan yang kita miliki untuk tidak memikirkan bagaimana suatu opini, tindakan, atau reputasi yang berasal dari luar diri kita. Kita memiliki kebebasan dan kemerdekaan untuk menentukan bagaimana perilaku dan pikiran kita untuk diekspresikan dan bagaimana peran penting diri kita untuk menimbulkan rasa cinta diri yang begitu penting. Kita tidak perlu merasa khawatir apabila seseorang atau lingkungan di luar dari diri kita memiliki perbedaan yang cukup kontras dengan apa yang kita miliki, kita tidak perlu khawatir untuk ketinggalan suatu tren yang tidak ingin kita ikuti. Misalnya, saat ini penggunaan iPhone merupakan suatu hal yang dianggap wajib oleh sebagian orang untuk meningkatkan gengsi. Akan tetapi, ketika kita memikirkan dan memerdekakan kemampuan kita dalam dikotomi kendali, kita tidak perlu merasa khawatir dengan apa yang kita miliki. Kita tidak membutuhkan iPhone untuk membahagiakan diri kita, pada dasarnya kita telah mencintai apa yang menjadi kenyamanan di dalam diri dan menolak untuk terpengaruhi oleh suatu tren yang tidak logis.

Mencintai Diri dengan Materialisme Ekonomis

Materialisme Ekonomis—terdengar asing bagi sebagian orang. Materialisme Ekonomis dapat kita definisikan sebagai aktivitas ekonomis yang mengabaikan aspek-aspek abstrak atau spekulatif. Materialisme merupakan aliran di dalam filsafat yang menyatakan bahwa tidak ada sesuatu yang dapat dianggap nyata selain dari materi. Ekonomis berarti tindakan yang berhati-hati dalam berbelanja atau tindakan menghemat uang dengan kebijaksanaan. Jika kita melihat arti dari Materialisme saat ini, sebagian orang menyatakan bahwa kesenangan hanya dapat diperoleh melalui kepuasan atas materi-materi. Pengertian tersebut mungkin cukup melekat di dalam aliran Materialisme. Akan tetapi, kita perlu menyadari bahwa di balik Materialisme yang menekankan pada aspek material, terdapat suatu kunci yang luput dari perhatian sebagian orang. Materialisme pada dasarnya dapat pula menolak konsep-konsep yang imajinatif, abstrak, atau spekulatif psikologis untuk menemukan kebahagiaan atau mencintai diri. Di era kapitalisme, tidak jarang seseorang memiliki perilaku hedonistik yang radikal. Melakukan konsumsi secara berlebihan dan membeli barang-barang dengan harga yang mahal untuk memperoleh ketenaran atau pengakuan publik. Perlu kita sadari bahwa di dalam Materialisme Ekonomis, hal tersebut dibantah menggunakan metode penghapusan spekulasi atau negasi stimulasi komoditas yang dapat kita rasakan di berbagai media dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mencintai diri sendiri, kita tidak hanya memperoleh perasaan bahagia melalui konsumsi, namun kita juga dapat mencintai diri sendiri dan mendapatkan kebahagiaan darinya melalui kesederhanaan dan kesadaran kritis atas destruksi psikologis komoditi di era kapitalisme. 

Materialisme Ekonomis akan memberikan kita suatu metode berpikir tentang proses yang lebih selektif dalam berbelanja atau konsumsi. Misalnya, dua buah tas dengan fungsi yang sama dijual dengan harga yang berbeda-beda. Tas A, dijual dengan harga Rp. 150.000 dan diproduksi oleh perusahaan yang tidak terkenal. Sedangkan, tas B dijual dengan harga Rp. 1.500.000 dan diproduksi oleh perusahaan yang terkenal dan sering digunakan oleh para selebriti. Seseorang dengan motif konsumsi hedonistik radikal, sudah tentu akan membeli tas B, tetapi perlu kita sadari, bahwa tas B dan tas A tidak memiliki perbedaan fungsional. Yang membedakan adalah nilai gengsi yang terkandung di dalam tas B ketika digunakan. Ketika seseorang mengejar gengsi atau pengakuan publik secara terus-menerus, tentu saja ia tidak mencintai dirinya sendiri dan menolak untuk menjadi dirinya sendiri. Ia tidak bahagia dan cenderung menghancurkan otentisitas dirinya. Materialisme Ekonomis dengan metode negasi atau penghapusannya menawarkan kita untuk lebih kritis dan menerima otentisitas kita sesuai dengan fungsi nyata yang akan diperoleh dari suatu produk. Kedua tes tersebut tidak memiliki perbedaan fungsi, keduanya dapat menyimpan barang dengan baik, maka dari itu tas A adalah pilihan terbaik dan dengan keputusan yang mengedepankan nalar kritis. Kita dapat menolak dorongan konsumtif kapitalisme dan membentuk kebahagiaan dan kecintaan atas diri sendiri dengan mendobrak kebiasaan buruk Society

Ketika kita mampu untuk menghindari spekulasi komoditas dan melepaskan diri dari keterikatan psikologi hedonisme, maka kita secara tidak langsung akan menyadari kebutuhan yang paling mendasar bagi diri kita sendiri dan berupaya untuk memenuhinya dengan dorongan objektif. Dengan demikian, mencintai diri a la Materialisme tidak hanya mengikat diri pada materi, namun juga melepaskan beberapa materi yang tidak substansial untuk dimiliki seseorang agar mencapai puncak kecintaan pada diri sendiri.

Dua pendekatan atau aliran dalam filsafat tersebut dapat digunakan oleh seseorang untuk mencintai diri sendiri. Stoisisme yang mengenalkan dikotomi kendali yang mementingkan pengendalian atas sesuatu yang dapat dikendalikan. Materialisme Ekonomis yang menawarkan negasi atas aspek spekulatif atau abstrak dalam perekonomian. Pembentukan kepribadian yang mencintai diri sendiri, tidak dapat terlepas dari keadaan atau aspek fundamental lingkungan sosial. Dengan demikian, Stoisisme dan Materialisme Ekonomi membawa seseorang untuk menyadari bahwa aspek kesadaran dan pengendalian, atau ekonomi akan berdampak besar bagi perilaku mencintai diri sendiri. 

Referensi

Bertens, K. Filsafat Barat Kontemporer Jilid II. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2019.

Bertens, K, Johanis Ohoitimur, dan Mikhael Dua. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 2018.

Hamid, Edy Suandi. Perekonomian Indonesia. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka, 2020.

Lorens , Bagus. “Kamus Filsafat.” Dalam Kamus Filsafat, oleh Lorens Bagus, 593-606. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005.

Marx, Karl. Buku III: Proses Produksi Kapitalis secara Menyeluruh. Jakarta: Ultimus, 2007.

Marx, Karl, dan Friedrich Engels. “Keluarga Suci.” Dalam Keluarga Suci, oleh Karl Marx dan Friedrich Engels, 135. Moscow: Foreign Languages Publishing House, 2007.

Pratama, Angga. Flexing dan Penyakit Borjuis. 15 Agustus 2022. https://omong-omong.com/flexing-dan-penyakit-borjuis/ (diakses Desember 24, 2022).

Pratama, Angga. Marx, Cioran, Penderitaan, dan Revolusi. 10 Oktober 2022. https://omong-omong.com/marx-cioran-penderitaan-dan-revolusi/.

Russel, Bertrand. Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.Sueb, H Memed, dan Amalia Kusuma Wardini. Teori Akuntansi. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka, 2022.

Angga Pratama

Seorang Materialis dan mengidolakan Friedrich Engels. Kucing adalah hewan peliharaan yang paling disukai, batagor dan siomay menjadi makanan favorit. Belum berpikir mencintai seseorang untuk hari ini, mungkin akan mencintai di hari jumat atau senin.

One Response

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content