fbpx

MEMENTO MORI: Perenungan terhadap Kematian ala Kaum Stoa

Dengan melakukan perenungan terhadap kematian, manusia akan menyadari bahwa mereka memiliki segala keterbatasan

Kematian merupakan hal yang menyeramkan bagi banyak orang. Sementara itu kematian akan pasti terjadi. Beberapa agama menjelaskan bahwa kematian dan kelahiran merupakan sebuah siklus kehidupan; seperti dua sisi koin. Kematian juga bersifat paradoksal, di satu sisi akan dialami oleh semua orang—bahkan peristiwa ini lebih umum ketimbang pubertas ataupun perasaan jatuh cinta, di sisi lain ia dianggap sebagai hal yang menakutkan sehingga banyak orang enggan memikirkannya. Kaum Stoa menyadari bahwa setiap orang akan berjumpa dengan ajalnya suatu saat nanti, semuanya hanyalah masalah waktu, cepat atau lambat. Oleh sebab itulah filsafat Stoa mengajarkan pentingnya merenungkan kematian. Mereka bahkan memiliki semboyan khusus yang berbunyi memento mori,  diambil dari bahasa latin yang artinya “ingatlah kau akan mati”. Semboyan ini merupakan pengingat bahwa hidup di dunia hanya berlangsung sementara dan kita tidak dapat melakukan apapun kecuali menerimanya. Bagi kaum Stoa, dengan menerima kematian yang selalu mengintai, kita akan lebih menghargai waktu yang terbatas dan tidak membuang sisa hidup kita ke dalam sebuah kesia-siaan.

Prioritas dan tujuan hidup

Seorang kaisar Romawi yang sering digadang-gadang sebagai raja filsuf bernama Marcus Aurelius pernah menulis dalam Meditasi:

Kau dapat meninggalkan kehidupan saat ini juga dan biarkan hal itu menentukan apa yang akan kau lakukan, pikirkan atau katakan.

Meditasi 2: 11

Kutipan ini memberikan pesan bahwa dengan menyadari kematian yang datang kapan saja, kita akan lebih fokus untuk menentukan prioritas dan tujuan hidup, karena kita tahu bahwa kehidupan yang sementara ini terlalu berharga untuk disia-siakan. Dengan itu pula orang yang merenungkan kematian akan lebih fokus untuk mengejar tujuan hidupnya dibanding dengan mereka yang lalai dengan menikmati distraksi di dunia.

Kematian adalah hal yang biasa saja

Seneca, seorang filsuf Stoa sekaligus politikus Romawi Kuno yang telah menjadi bawahan dua orang kaisar paling biadab sepanjang sejarah peradaban dunia, yaitu Caligula dan Nero, telah Menyaksikan hukuman mati dan juga kematian akibat bunuh diri para budak yang tidak kuat menahan kebrutalan peradaban Romawi pada masa itu. Ia menuliskannya dalam esainya On Tranquility (Ketenangan pikiran). Dalam esai itu ia mengatakan:

“Julius Canus, sosok yang luar biasa mengagumkan terlibat dalam perseteruan panjang dengan Caligula. Saat ia meninggalkan ruangan, Caligula berkata : “Supaya kau tidak terbuai oleh angan-angan konyol, Aku perintahkan kau dieksekusi.” Canus membalas: “Terimakasih penguasa terbaik”. Aku tidak yakin dengan apa yang sedang dia rasakan, aku hanya bisa membayangkan beberapa kemungkinan. Apa canus sedang menghina Caligula dengan memperlihatkan betapa agung kekuasaanya sehingga kematian pun bagaikan anugerah?  Atau dia sebenarnya sedang menghina kegilaan kaisar? Ataukah ia dengan senang hati menerima hukuman itu sebagai sebuah kebebasan? Yang jelas canus sedang menunjukan kejernihan berpikirnya. Suatu ketika ia sedang bermain dam (Semacam permainan papan mirip catur) ketika prajurit yang bertugas mengumpulkan orang-orang yang hendak dihukum mati menyuruhnya bersiap menuju tempat eksekusi. Tatkala mendengar perintah sang perwira, Canus menghitung bidak yang ia kumpulkan dan berpesan pada kawanya: “Semoga kau tidak curang dan mengaku menang setelah aku mati.” Kemudian ia berpaling pada perwira dan berkata, “Kau yang jadi saksinya; aku unggul satu angka.”

On Tranquillity 14: 4-7

Kutipan percakapan di atas menunjukan bahwa filsuf Stoa menganggap kematian sebagai hal yang biasa saja. Bagi kaum Stoa kematian bukanlah hal buruk yang perlu dibesar-besarkan. Ia pasti terjadi sehingga tidak ada gunanya menjadi paranoid terhadap sesuatu yang tidak dapat dihindari.

Kematian membuat hidup lebih berharga

Ajaran Stoa menganggap bahwa dengan terbatasnya waktu hidup akan lebih menghargai setiap momen yang dialami, karena momen-momen dalam kehidupan tidak akan terulang. Apabila diibaratkan, anggaplah waktu hidup layaknya sebuah sepatu. Tentu saja sepatu yang limited edition lebih berharga ketimbang sepatu yang diproduksi terus-menerus. Bagi kaum Stoa yang membuat hidup berharga bukanlah berapa lama waktu hidup tetapi apa yang dialami selama masih hidup. Seperti yang dikatakan Seneca dalam esainya yang berjudul On The Shortness of life

“Hidup ini cukup panjang bila kita tau cara menggunakanya. Kita tidak diberikan hidup yang pendek tetapi kitalah yang menjadikan ia pendek dengan dan membuangnya untuk hal yang sia-sia.”

On the Shortness of Life

Banyak hal sia-sia yang membuat hidup tidak berharga jika seseorang melupakan bahwa suatu saat ia akan mati. Seperti terus mengejar kenikmatan hedonistik yang tak ada habisnya. Memuja harta terlalu berlebihan sampai menghabiskan waktu hidupnya hanya untuk merasa takut akan kehilangan harta yang dimiliki, sedangkan ia lupa bahwa waktu hidupnya terbatas dan tidak akan dapat dikembalikan dengan harta sebanyak apapun yang cukup ia puja sampai merasa paranoid akan kehilangan harta.

Tidak ada yang abadi di dunia Ini

Ajaran Stoa menegaskan bahwa segala sesuatu pasti akan menemui akhir. Begitu juga dengan kehidupan setiap manusia. Bagi kaum stoa kehidupan layaknya sebuah debu di hamparan alam semesta. Mereka percaya bahwa dengan mengingat kematian, manusia tidak akan menjadi terlalu self-centered atau menganggap bahwa dirinya adalah pusat alam semesta. Kematian merupakan proses alam dan manusia tidak memiliki kuasa untuk menjadi pusat di dalamnya. Perenungan ini membuat manusia menjadi lebih sadar diri akan posisinya di alam semesta. Seperti kutipan dari raja filsuf Marcus Aurelius dalam Meditasi berikut:

“Berapa banyak yang dulunya terkenal kini terlupakan, dan berapa banyak yang menyanjung mereka, kini sudah lama tiada.”

Meditasi, 7: 6

Dengan demikian, bagi kaum stoa, merenungkan tentang kematian akan membuat orang sadar bahwa sebenarnya segala kejayaan pasti akan sirna, begitu saja dihadapan kehidupan.

Dengan melakukan perenungan terhadap kematian, manusia akan menyadari bahwa mereka memiliki segala keterbatasan. Apapun yang dilakukan, kematian tetap akan menjemput. Kaum Stoa menekankan bahwa dengan menyadari dan menerima bahwa suatu saat siapapun akan mati, maka manusia akan menghargai waktu hidupnya. Ia akan lebih tenang menghadapi persoalan kematian dan lebih mawas diri, bahwa sebenarnya manusia hanyalah sebuah debu, bukan pusat dari alam semesta.

Referensi

Aurelius, Marcus. 2020. Meditasi. Yogyakarta: BASABASI.

Manampiring, Henry. 2018. Filosofi teras: Filsafat Yunani-Romawi Kuno untuk Mental Tangguh Masa Kini.  Jakarta: Kompas Media Nusantara.

Seneca. 2019. How to Die: An Ancient Guide to the End of Life. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Fikri Asrofi

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content