Aamir Khan dalam film PK

Setiap agama selalu mengajarkan kebaikan pada umatnya. Bagi umat beragama, menyembah Dewa atau Tuhannya merupakan suatu hal wajib. Tentu akan sangat menarik bila kita menelusuri, apa motivasi orang mau beragama dan menjalani  semua kewajibannya. Terkait motivasi ini, menurut saya ada tiga motivasi. Pertama, ada yang menyembah Tuhannya karena dia menyadari kehadiran dan peran Tuhan dalam hidupnya sehingga mau menyembah dan berelasi dengan Tuhannya.

Kedua, orang menyembah karena tuntutan agama, meskipun hati sebenarnya belum tentu. Sebab, sering terdapat kondisi di mana agama seseorang merupakan dari warisan leluhur, orang tua, atau masyarakat di mana ia lahir dan dibesarkan, sehingga agama yang dianutnya dalam artian tertentu bukan merupakan pilihan pribadinya.

Ketiga, mereka yang menyembah Tuhannya karena adanya ketakutan-ketakutan bahwa jika tidak menyembah Tuhan hidupnya akan dirundung masalah, malapetaka, dsb. Hal ini tentu saja bertolak dari fakta bahwa orang menjalankan ajaran agamanya secara buta. Mereka tidak bisa menjelaskan apa alasan mendasar mengapa ritual atau aturan keagamaan itu harus dilakukan. Yang mereka pahami adalah pokoknya wajib dilakukan. Jika tidak, mereka akan mendapat sial.

Bertolak dari tiga perbedaan orang menyembah dan menghormati Tuhannya, yang ideal tentulah yang pertama. Meski demikian, toh faktanya tidak selalu demikian. Mungkin hanya segelintir orang saja yang menyembah Tuhannya karena menyadari peran Tuhan dalam hidupnya, tentu ini masih bisa diperdebatkan lagi.

Banyak ditemui kondisi sehari-hari di mana orang menyembah Tuhan karena dua alasan di atas. Artinya menyembah Tuhan karena tuntutan agama dan ketakutan-ketakutan dirundung dosa dan malapetaka. Dua alasan inilah hemat saya membuat agama sering disalahgunakan oleh para pemimpinnya. Para pemimpin agama yang tidak arif sering kali berusaha mencari keuntungan diri dan kelompoknya dengan menggunakan legitimasi doktrin, atau aturan moral, untuk mengeruk keuntungan dari pada pemeluknya dari realitas ini. Karena percaya saja, umat ikut saja, tapi berani bertanya, entah karena takut atau memang tidak paham.

Kemungkinan terakhir bisa jadi paling memungkinkan, karena tekanan masyarakat beragama yang selalu menuntut keseragaman dalam sebuah masyarakat. Realitas faktual bahwa agama acap kali dimanfaatkan para pemimpinnya untuk memanipulasi umat inilah yang dikritik dalam film PK. Film ini menghadirkan seorang alien yang kemudian disebut sebagai PK, sebuah akronim orang mabuk. Dalam tulisan ini akan dilihat sejenak, pesan utama film ini, gejala sosial di dalamnya dalam bingkai perspektif sosiologi Agama Emile Durkheim, gejala sosial yang relevan, tanggapan kritis dalam kacamata sosiologi agama menurut Durkheim terkait realitas keagamaan dewasa ini.

Pesan utama film PK

Berdasarkan film tersebut, menurut saya terdapat beberapa pesan utama. Pertama, manusia kadang terlalu mudah jatuh pada ritualisme agama. Dalam film PK, nampak jelas sekali bagaimana umat beriman mudah jatuh pada ritualisme agama tanpa tahu apa makna dari ritual yang dilakukan. Memang membahas ranah atau masalah ini tidaklah mudah karena ini adalah forum internum, sesuatu yang terjadi dalam diri manusia.

Kedua, umat agama perlu kritis. Ini merupakan sebuah ajakan yang disampaikan secara implisit bahwa umat beriman perlu kritis terhadap aturan maupun aturan yang dibuat dalam agama. Begitu banyaknya aturan agama tidak jarang malah membawa umat semakin menjauh dari relasi yang sebenarnya antar umat beragama dan Tuhannya. Memang agama menjadi tempat manusia menemukan makna. Clifford Geertz sendiri mengatakan bahwa agama adalah wadah menetapkan makna.[1] Meskipun demikian, sikap kritis tetaplah perlu agar segala hal tidak disalah tafsirkan demi meraup keuntungan pribadi.

Tanpa bermaksud mengkritik beragamnya aturan agama yang harus dilaksanakan umat Hindu secara khusus dalam film itu, nampak jelas bahwa terkadang aturan-aturan agama membuat umat beriman hidup dalam sebuah ‘penjara’. Saya katakan demikian karena ada banyak hal dibatasi sehingga ruang kebebasan sebagai manusia direduksi dan manusia hanya menjalani aturan agamanya bukan karena kemauan akan relasi mendalam dengan Tuhan, melainkan lebih karena takut, dsb. Makna agama dipermiskin dan dipersempit sesuai keinginan para pemimpin agama.

PK menunjukkan bahwa sebenarnya praktek-praktek yang ‘agak aneh’ tersebut berujung pada yang ia sebut, “wrong number’ atau salah sambung. Tentu saja ni merujuk pada praktek beragama agama di dunia yang memiliki beragama ritual, atau aturan, yang bisa sangat berbeda antara yang satu dengan yang lain. Ada yang boleh pada satu agama, malah ditentang keras oleh agama yang lain. Sebagai alien yang berusaha menjadi manusia sebagaimana orang-orang di sekitarnya, situasi tidaklah mudah.

Bila kita lihat lagi, adanya perbedaan itu kadang berakhir pada perpecahan sosial yang berujung pada kebencian antar agama, bahkan pada pembunuhan yang mengatasnamakan agama. Pertanyaan menariknya adalah Tuhan yang mana yang dia bela? Atau menggunakan pertanyaan PK, “Who is the right One?” Jika terus mencari mana yang paling benar sementara ada banyak agama dan beragam versi ajarannya, konflik tidak akan pernah berakhir.

Bernard Raho mengatakan, apabila orang bisa membaca praktik-praktik keagamaan dalam konteks simbol makan ia akan menemukan bahwa tidak ada agama yang salah. Semua agama adalah benar. Setiap agama pasti memiliki sejumlah unsur yang menyebabkan dia disebut sebagai agama.[2] Di titik ini semua orang diundang untuk kembali kritis berefleksi tentang agamanya sendiri.

Kedua, Tuhan tidak bisa direduksi sesuai ego manusia. Manusia memiliki kecenderungan mencari jawaban-jawaban semua atas ketidakmampuannya menghadapi realitas bahwa dirinya terbatas. Manusia adalah makhluk yang lebih tinggi dari ciptaan lainnya karena diberi akal budi. Meskipun demikian, itu bukan berarti manusia bisa melakukan segalanya sesuka hatinya. Manusia tetaplah makhluk terbatas. Realitas ini membuat manusia selalu berusaha mencari jawaban atas segala misteri atau pertanyaan dalam hidupnya pada Tuhan. Tuhan yang adalah transenden itu dianggap menjadi sumber dan jawaban atas segala persoalan yang dihadapi manusia.

Dalam film ini Allah direduksi. Film tersebut nampak sekali bahwa Allah seolah menjadi pribadi yang menakutkan, penghukum, dan penuh dengan sejumlah tuntutan.  Realitas bahwa manusia sebenarnya menyembah Tuhan bukan karena melihat Tuhan sebagai pencipta yang Mahacinta dan Mahamurah, malah sebagai pribadi yang banyak menuntut dan jika dilawan akan mendatangkan neraka dan dukacita membuat manusia dengan mudah dimanfaatkan oleh para pemimpin agama yang picik dan mau mengambil keuntungan berdasarkan egonya sendiri.

Ini kental sekali dalam pertanyaan PK kepada Tapaswi yang berperan sebagai pemimpin agama. Taspawai bertindak seolah-olah dia adalah Tuhan dan bisa berkomunikasi dengan Tuhan secara langsung. Menurut PK, tuhan Tapaswi itu ciptaannya sendiri. Hal ini nampak dalam perkataan PK bahwa, “You all say that it is only one god. I say, no… There are two gods. One is the one who created us all. The other one is the one created by people like you.”

Ketiga, relasi dengan Tuhan itu perlu berbuah pada aksi nyata, kepedulian terhadap sesama.  Dalam film PK nampak sekali bagaimana PK mengkritik dan mempertanyakan ritual sebuah agama yang menuangkan susu pada sebuah patung sementara di sekitarnya banyak orang yang membutuhkan makan. Pemberian susu pada dewa sama sekali tidak masuk akal, karena yang membutuhkan itu manusia, bukan Tuhan yang adalah sang Maha segalanya.

Yang dipertanyakan PK terkait pemberian susu yang sia-sia itu mengangkat sebuah persoalan serius para pemimpin agama terlalu sibuk pada ritualisme yang tidak berguna karena mencoba menutup mata terhadap kemiskinan di sekitarnya. Mereka hidup dalam kemewahan, disembah, diberi fasilitas mewah, dsb bebas menuntut ini  dan itu, tetapi tidak peka pada yang sebenarnya esensial dalam kehidupan bersama, yakni kehidupan. Mereka lupa akan kehidupan yang perlu dirawat, diberi harapan, dan perhatian, khususnya mereka yang membutuhkan makanan, perlindungan dsb.

Tegas digambarkan bahwa ntara perkataan, ajaran yang benar dan realitanya berbeda seratus delapan puluh derajat. Ini tentu sangat miris, apalagi di negara-negara dunia ketiga yang terkesan sangat agamis, sekaligus miskin. Bisa saja, orang bertanya, jangan-jangan agama punya peran entah besar atau kecil terhadap kemiskinan dan kemelaratan masyarakat di belahan dunia timur.

Gejala sosial PK dalam Bingkai Sosiologi Durkheim

  1. Gejala Sosial

Pertama, Tuhan menjadi pribadi transenden tempat manusia mencari jawaban atas persoalan hidupnya yang secara manusiawi tidak bisa diselesaikan manusia. Ini menegaskan kembali realitas bahwa manusia itu terbatas. Inilah realitas sekaligu gejala sosial real di masyarakat.  Dalam mencari jawaban itu, ketika sudah mencapai titik jenuh karena manusia terbatas, Tuhan menjadi sebagai sumber jawaban atas segala persoalan. PK yang kehilangan remote controlnya untuk bisa kembali ke pesawatnya diminta untuk bertanya dan minta pada Tuhan agar bisa mendapatkan kembali remotenya. Sebagai alien, PK ikut saja. Ia melakukan semua ritual keagamaan dengan maksud pada akhirnya remote itu akan kembali.

Kedua, jika tidak hati-hati akan menjadi ladang bisnis menggiurkan. Para pemimpin agama yang berperan dalam memimpin agama jika tidak hati-hati malah menjadikan agama bisnis. Serumpun syarat dan aturan yang diwajibkan agar doa dikabulkan, dsb dengan iuran, derma, dsb membuat Tuhan seolah pribadi yang mata duitan. Bayar dulu baru doamu dikabulkan, didengarkan, dsb.

Hal inilah yang secara tidak langsung dikritik oleh PK dengan melihat bahwa banyak orang datang ke Pura untuk berdua dengan memberikan uang derma, susu yang dituangkan ke patung dewa, dsb yang sebenarnya tidak masuk akal. Sementara pada saat yang sama ada banyak umat atau masyarakat yang menderita yang jauh lebih membutuhkan uang atau susu itu untuk bisa hidup.

  1. Konsep Sosiologis Pembaca Gejala Sosial

Di sini saya memakai dua konsep inti dari Durkheim untuk menjelaskan gejala sosial pada film tersebut. Pertama, kesadaran kolektif atau collective conscience. Artinya kesadaran yang tumbuh dan berkembang bersama-sama berlandaskan nilai dan kepercayaan moral bersama. Agama memperkuat kesadaran kolektif ini. Agama menjadi basis moral dan kepercayaan ditujukan kepada yang sakral.

Dalam film PK ditunjukkan bahwa umat Hindu secara khusus memiliki kesadaran moral bersama bahwa memberi derma di rumah ibadat dan menuangkan susu pada patung-patung dewa adalah sebuah kewajiban-sakral. Hal ini diikat oleh yang namanya fakta sosial. Menurut Durkheim, fakta sosial adalah aturan sosial (agama) yang mengorganisasikan perilaku individu dan kelompok dalam masyarakat.[3]

Sejumlah ritual agama yang coba dipertanyakan kembali oleh PK yang kemudian membuatnya ditentang ketika di tempat Ibadah umat Hindu adalah sebuah contoh bahwa fakta sosial itu mengikat dan merupakan kewajiban yang tidak lain adalah buah dari kesadaran kolektif umat Hindu. Ketika dilawan, tentu akan ditentang oleh kelompok agama yang menghidupi dan meyakininya.

Sebagaimana gejala sosial yang nampak dalam film itu bahwa umat selalu mencari jawaban atas segala persoalan hidupnya itu pada Tuhan menunjukkan adanya kesadaran kolektif umat, bahwa dalam agama-Allah itu sumber makna dan jawaban atas segala yang di luar kemampuan manusia. Itulah mengapa PK direkomendasikan untuk mencari Tuhan agar bisa menemukan remote controlnya yang sudah dicuri.

Kedua, religious effervescence.  Secara sederhana ini dapat diartikan sebagai sebuah momen sakral dalam sebuah agama yang menimbulkan adanya atmosfer keagamaan. Kebersamaan seluruh umat beragama dalam melakukan ritual-ritualnya membuat atmosfer keagamaan ini semakin kental. Selain itu perlu diakui bahwa adanya kebersamaan dalam momen sakral yang meningkatkan atmosfer keagamaan dan pada akhirnya meningkatkan kesadaran kolektif.

Yang menjadi pokok penting dari konsep ini bukanlah sebuah perjumpaan fisik melainkan lebih pada aspek kesadarannya bahwa momen sakral itu membawa umat secara bersama-sama dalam kedekatannya dengan yang transenden. Bagi Durkheim, jenis-jenis pengalaman kolektif yang dramatis (atmosfer) ini merupakan dasar bagi ide tentang yang suci itu.[4]

Berkumpulnya umat Hindu, Kristen, dsb yang semuanya dilalui oleh PK adalah cara umat beragama menjalankan ritual sama-sama membawa umat pada momen sakral (atmosfer) itu. Meskipun PK sendiri masih bergulat dengan apa yang seharusnya, toh PK bisa melihat bagaimana umat setiap agama yang ritualnya ia ikuti guna menemukan Allah agar bisa menemukan remote controlnya, sungguh menjalani setiap ritualnya dengan khusyuk. Itu menunjukkan bahwa momen-momen sakral itu penting bagi sebuah agama karena di sanalah umat dihantar untuk dekat dan merasakan adanya sesuatu yang lain ‘transenden’.

Meskipun tidak menemukan remotenya di tempat ibadah, melalui adanya religious effervescence, melalui ritual agama yang menghadirkan momen sakral (atmosfer) PK diantar pada pemahaman yang lebih dalam pada siapa Allah yang sebenarnya. Sebuah gambaran tentang Tuhan yang menciptakan segala, dan bukan diciptakan yang suka menuntut ini dan itu. Dari situlah pada akhirnya PK bisa melihat gejala sosial kedua bagaimana agama dibisniskan di balik kesalehan semu para pemimpin agama itu dibongkar. PK mengatakan Allah yang dijelaskan para pemimpin agama itu adalah Allah ciptaan sendiri yang suka menuntut ini dan itu yang ditafsirkan seenaknya saja sesuai motivasi mereka yang hanya mau mencari keuntungan. Allah yang sesungguhnya bukan seperti itu.

Gejala sosial dalam film PK ini yang relevan dan aktual saat ini

Salah satu hal penting yang patut digarisbawahi dari gejala sosial yang ada dalam film tersebut adalah sekularisasi. Meminjam istilah Teolog Belanda, C.A. Van Peursen, sebagaimana dikutip Harvey Cox, sekularisasi dipahami sebagai “pembebasan manusia pertama dari agama dan kemudian dari kontrol metafisik budi dan bahasanya, lenyapnya dunia dari pemahaman religius dan quasi-religius, pengingkaran semua padangan dunia tertutup, pemutusan semua mitos supranatural dan simbol sakral.[5] Sederhananya dapat dikatakan sebagai pembebasan manusia dari cengkraman pengaruh agama.

Meskipun PK pada akhirnya mengakui adanya Tuhan, sebagai yang menciptakan segala, film ini juga memiliki sebuah peringatan bahwa sekularisme selalu membuntuti umat beragama mana kala agama sebagai institusi religius di tangah masyarakat tidak bisa menjadi oase yang menyegarkan. Jika agama disalahgunakan oleh para pemimpinnya bukan tidak mungkin pamor agama akan rusak dan pengikutnya akan berkurang bukan karena tidak relevan lagi melainkan karena adanya krisis teladan hidup dalam institusi religius itu sendiri.

Selain itu, bisa saja, orang tentu akan tetap beriman pada Allah, tetapi apakah harus melalui institusi religius? Jawabannya akan cenderung tidak karena institusi religius gagal menjadi contoh atas apa yang diwartakannya sendiri. 

Hal lain yang bisa meningkatkan sekularisasi adalah agama yang seolah tutup mata pada penderitaan manusia di sekitarnya. Rakyat susah makan sementara patung dewa diberi susu, tempat ibadah megah, harus beri banyak derma agar banyak yang dikabulkan sungguh memiskinkan makna agama dan perannya dalam masyarakat sebagaimana diklaim Durkheim. Hemat saya ini adalah salah satu gejala sosial yang terus ada hingga kini, sadar atau tidak dan mungkin terjadi pada hampir semua agama.

Semangat membangun gereja, masjid, dsb dengan arsitektur yang bagus dan biaya yang besar sementara warga atau umatnya hidup miskin dan susah adalah sebuah situasi yang agaknya miris. Tentu saja perlu saya katakan bahwa yang dikritik bukanlah alasan teologis yang melatarbelakangi semua pemberian uang derma, pembangunan rumah ibadah, dsb melainkan lebih pada signifikansinya bagi umat yang ada di sekitar. Mungkin baik untuk bertanya, apakah benar Tuhan butuh rumah ibadah megah, uang derma yang banyak, dsb sementara umat yang katanya dicintainya hidup miskin dan menderita? Bukang tidak mungkin inilah salah satu kecemasan abada ini, umat jatuh dalam sekularisasi tanpa memiliki pegangan berarti karena kehilangan sesuatu yang bisa memberi kedamaian hati.

Tanggapan Kritis: Perspektif Sosiologi Agama

Menurut Durkheim, agama memiliki fungsi mengintegrasikan masyarakat dalam suatu tatanan moral. Anggota masyarakat masing-masing mempunyai peran dalam menyusun tatanan moral tersebut melalui aktivitas ritual suci sebagai tindakan kolektif yang mencerminkan solidaritas kelompok.[6] Aturan-aturan moral  bertujuan memandu bagaimana umat harus bertindak dan menjaga keharmonisan agama.

Dalam film PK bisa dilihat bahwa ritual-ritual suci juga bisa disalahgunakan oleh pemegang otoritas agama. Pemberian derma di tempat ibadah yang adalah juga adalah bagian dari aturan yang dibuat menimbulkan persoalan. PK secara cermat mengkritisi hal tersebut. Kritik PK terhadap praktik tersebut menyulut kemarahan umat beriman dan pemuka agamanya. Sebab, aksi PK tersebut menentang apa yang sudah ditetapkan, diyakini dan dijalankan.  

Di situ nampak bahwa solidaritas kelompok tidak sepenuhnya baik bila ketika ada penyimpangan semua anggotanya diam hanya karena adanya tuntutan agama. Ini tentu sangat berbahaya karena bisa mengerdilkan nalar umat dan membiarkan penyimpangan berjalan terus. Realitas ini setidaknya menunjukkan bahwa tatanan moral dalam agama perlu terus dikritik dalam ranah praktik bila ada penyimpangan. 

Selain itu perlu disadari juga bahwa ajaran dari tiap agama kalau diterima begitu saja tanpa dikritisi bisa mencederai kemanusiaan.  Hal itu sedikit dimunculkan dalam film ini ketika sahabat PK mati di stasiun kereta akibat aksi para teroris. Tentu saja ini erat kaitannya dengan suatu fenomena yang oleh Peter Tan dikatakan skandal agama hari-hari ini, terutama di Indonesia sebagai yang “diprovokasi oleh lenyapnya dialektika nalar dan agama, akal budi dan iman.”[7] Orang bisa membunuh dengan dalil agama dan keyakinannya.

Di sini jelas ada kontradiksi dalam agama. Memang agama dapat mengintegrasikan, tetapi sekaligus juga bisa menjadi sumbu konflik bila ajaran dan aturan-aturan di dalamnya tidak dipahami dan dipraktekkan dengan baik. Sebagaimana kita lihat, terorisme yang melanda dunia saat ini melegitimasi kehadirannya melalui agama. Jika dibiarkan terus maka agama yang oleh Durkheim sebenarnya mengendalikan perilaku menyimpang pada satu sisi dan pada sisi lain meningkatkan harmoni dan solidaritas sosial malah menjadi sumber malapetaka kemanusiaan.

Pada akhirnya terlepas dari peran dan adanya kontradiski di dalamnya, semua agama terkhusus para pemimpin dan umatnya perlu sama-sama kritis bertanya terhadap motivasinya beragama, segala aturan, ajaran, atau tafsiran, dalam agamanya agar agama sungguh menjadi oase atau sumber keharmonisan sebagaimana yang diharapkan Durkheim, bukan menjadi tempat mencari keuntungan priabdi yang merugikan orang lain dan sumber sumbu api kebencian dinyalakan.

Referensi

Raho, Bernard. 2012. Agama Dalam Perspektif Sosiologi. Obor: Jakarta, 

Haralambos & Holborn. 2008. Sociology Themes and Perspectives, Seventh Edition. London: Harper Collins Publishers.

Kurniawan, Kevin Nobel. 2020. Kisah Sosiologi. Obor: Jakarta,

Johnson, Doyle Paul. Penerj. Robert. M. Z. LAwang. 1986. Teori-Teori Klasik dan Moderen. Gramedia: Jakarta.

Cox, Harvey .2013.  The Secular City. Secularization and Urbanization In Theological Perspective. USA: Princeton University Press.

Haryanto, Sindung. 2015. Sosiologi Agama. Ar-Ruzz Media: Yogyakarta. 

Tan, Peter. 2020. Prolog oleh Dr. John Mansford Prior dalam Agama Minus Nalar. Ledalero: Maumere. 


[1]Bernard Raho. Agama Dalam Perspektif Sosiologi. Obor: Jakarta, 2012. Hal. 79.

[2] Bernard Raho. Agama Dalam Perspektif Sosiologi. Obor: Jakarta, 2012. Hal.39.

[3] Kevin Nobel Kurniawan. Kisah Sosiologi. Obor: Jakarta, 2020, Hal. 18.

[4]Doyle Paul Johnson. Penerj. Robert. M. Z. LAwang. Teori-Teori Klasik dan Moderen. Gramedia: Jakarta, 1986. Hal. 201.

[5]Harvey Cox. The Secular City. Secularization and Urbanization InTheological Perspective. USA: Princeton University Press, 2013. Hal. 66.

[6]Dr. Sindung Haryanto. Sosiologi Agama. Ar-Ruzz Media: Yogyakarta, 2015. Hal. 58

[7]Peter Tan, SVD. Prolog oleh Dr. John Mansford Prior dalam Agama Minus Nalar. Ledalero: Maumere, 2020. Hal. iv.

Viktor D. Engelbert

Pecinta Filsafat dan Ilmu Sosial. Suka membaca, mengamati, merenung, dan bersahabat dengan masalah.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.