Runtuhnya Modernitas: Telaah Atas Lahirnya Postmodernisme

Modernisme dalam konteks filsafat hadir sebagai suatu respon intelektual terhadap iklim berpikir pada periode sebelumnya, yakni pada Abad Pertengahan. Sederhananya, modernisme merujuk pada suatu masyarakat pada periode tertentu yang mulai menyadari kediriannya serta dengan itu menyadari pula bahwa dirinya dapat melakukan perubahan yang relatif baru. Hal tersebut merupakan suatu bentuk perlawanan terhadap narasi-narasi Abad Pertengahan yang bersifat teosentris (yang menurut para modernis sebagai suatu bentuk kemandegan berpikir dan karenanya mengakibatkan kemajuan sulit untuk dicapai).

Modernitas ditandai setidaknya dengan tiga aspek fundamental yang mendasarinya yakni: kritik, subjektivitas, dan kemajuan. Manusia mulai menyadari bahwa dirinya sekarang adalah subjek yang memiliki kekuatan rasionya sendiri dan tak perlu menunggu ilham untuk melaksanakan perubahan-perubahan. Subjektivitas tersebut mengandung suatu semangat untuk senantiasa melancarkan kritikan-kritikan terhadap gaya berpikir Abad Pertengahan dan dengannya berusaha untuk mencapai suatu bentuk kemajuan.

Kritikan-kritikan tersebut setidaknya berhasil menggantikan karakteristik Abad Pertengahan yang bernuansa teosentris menjadi antroposentris. Narasi-narasi besar yang sebelumnya tak akrab di telinga mulai digaungkan di mana-mana: kebebasan, kemanusiaan, kesetaraan, moralitas, pencerahan, dan lain sebagainya. Kemajuan pun mulai mendapat bentuknya pada ilmu pengetahuan dengan metode ilmiahnya serta sistem ekonomi kapitalistik yang merajalela di berbagai negara-bangsa baru. Abad Pertengahan pun mulai berganti menjadi Abad Modern.

Namun seiring berjalannya waktu, modernisme pun seakan-akan menggali kuburannya sendiri. Ibarat dua sisi mata koin, program kemajuan yang dicetuskan oleh para intelektual pada zaman modern pun mulai menampakkan sisi koin lainnya.

Runtuhnya Modernitas

Dalam perkembangan lebih lanjut, subjektivisme dicetuskan pada Abad Modern terutama yang terlihat dalam Cartesianisme dengan semboyannya cogito ergo sum. Semboyan ini telah membawa malapetaka bagi ekosistem dunia. Manusia memanfaatkan rasio dan pengetahuan sebagai alat untuk menguasai alam. Hal yang menyebabkan alam dipandang sebagai suatu objek belaka dan manusia berkuasa atasnya. Pengandaian di atas telah menjadi dalih yang dapat menjustifikasi kapitalisme untuk menggerus alam demi kepentingan ekonomi. Hari makin hari ekologi kian tergantikan dengan kepentingan ekonomi, krisis iklim pun melanda bumi kita yang kini tengah rapuh.

Kemajuan yang mendapatkan bentuknya dalam ilmu pengetahuan dan teknologi tak luput dari sisi koin yang lainnya. Harus kita akui bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi memang memudahkan setiap urusan yang mesti diselesaikan manusia, namun di sisi lain tak bisa dipungkiri bahwa ia pun membawa malapetaka bagi manusia itu sendiri. Meletusnya Perang Dunia I dan II adalah bukti nyata bagaimana pengetahuan dan teknologi dapat menjadi suatu ancaman yang berbahaya jika tidak dipakai dengan bijak. Kemajuan yang tadinya diandaikan dapat membuat kehidupan manusia yang lebih bahagia dan setara telah menjadi suatu yang malah membuat kemanusiaan itu terancam.

Jika dikontekstualisasikan dengan keadaan Indonesia, maka mudah sekali untuk membaca arah teknologi menuntun manusia pada perpecahan. Polarisasi politik terjadi begitu ekstrim pada pemilihan presiden di tahun 2019, saat itu Indonesia seakan-akan terbagi menjadi dua kubu antara kadrun dan kampret. Dalam asumsi penulis, ada dorongan dari teknologi khususnya media sosial yang menyebabkan hal itu bisa terjadi.

Sederhananya, perusahaan teknologi merancang media sosial adiktif yang merangsang kita agar selalu terpaku pada layar. Dengan begitu pengiklan dapat menampilkan iklannya dengan sporadis kepada pengguna media tersebut. Salah satu strategi perusahaan teknologi untuk memaksa kita terpaku dengan internet adalah senantiasa menampilkan apa yang kita sukai.

Hal semacam ini menjadi salah satu faktor di mana polarisasi terjadi begitu sangat ekstrim. Bayangkan saja ketika kita dalam setiap detiknya disajikan informasi yang sama secara terus-menerus. Implikasinya adalah informasi-informasi tersebut akan dipercayai sebagai suatu kebenaran. Tidak ada lagi ruang untuk mempertimbangkan baik dan buruk; mempertimbangkan narasi yang berbeda dan membuka ruang dialog terhadap pluralitas wacana.

Di lain sisi, asumsi para filsuf ekonomi dan kesejahteraan manusia pun menjadi sorotan dan mendapatkan kritik. Kita bisa lihat bagaimana optimisme Adam Smith terkait pasar bebas yang diatur oleh invisible hand dalam perkembangannya dapat membuat manusia menjadi sejahtera, tetapi alih-alih menghadirkan kesejahteraan sistem ekonomi tersebut membuat jurang pemisah kelas-kelas sosial di dalam masyarakat. Pandangan tersebut selanjutnya dikritik oleh salah satu ekonom dan filsuf termasyhur saat itu, yakni Karl Marx.

Menurut Marx, sistem ekonomi seperti itu bisa disebut sebagai sistem kapitalisme, di mana di dalamnya terjadi suatu pertentangan kelas antara para pemilik modal dengan pekerja, atau dalam ungkapannya dikenal sebagai pertentangan antara kaum borjuis dengan proletar. Marx mengatakan bahwa keuntungan dan kekayaan di dalam sistem ekonomi itu didapatkan dari pencurian nilai lebih atas produksi-produksi komoditas oleh para buruh. 

Karenanya, satu-satunya jalan untuk keluar dari mode penindasan adalah dengan melakukan revolusi dari kapitalisme menuju komunisme—suatu sistem di mana kepemilikan modal dimiliki oleh bersama. Tetapi, sejarah telah membuktikan bahwa komunisme gagal dalam mengatasi kapitalisme. Narasi-narasi besar seperti kapitalisme dan komunisme pun gagal mengakomodir kemanusiaan yang diusung oleh abad modern.

Sementara dalam hal moralitas, abad modern pun tak luput dari kritikan. Hal ini terutama diungkapkan oleh Nietzsche dalam genealogi moral-nya yang berusaha mengungkapkan asal-usul moralitas pada masanya. Menurutnya moralitas yang dianggap baik hanyalah kedok-kedok atas ketakutan dan rasa ketidakmampuan manusia dalam menangani realitasnya sendiri, begitulah Nietzsche menggambarkannya sebagai suatu mentalitas budak. Hadirnya Nietzsche dalam gelanggang modernisme memang menjadi suatu loncatan baru terhadap tahapan selanjutnya, yakni periode postmodernisme.

Postmodernisme: Suatu Zaman Baru

Nietzsche menjadi bibit awal gerbang ketidak-percayaan radikal terhadap segala nilai-nilai modern, periode di mana Nietzsche hidup seringkali dikatakan sebagai periode transisi. Memang jika kita ingin merujuk pada karya Bambang Sugiharto, cerita mengenai awal lahirnya postmodern sendiri memiliki banyak versi. Versi Nietzsche adalah versi yang digunakan oleh para filsuf Eropa Kontinental, lain halnya lagi dengan para filsuf Inggris. Para filsuf Inggris cenderung mengatakan bahwa berakhirnya modernisme ditandai dengan hadirnya filsafat post-analitik.

Dalam hal mendefinisikan postmodernisme, tiap filsuf memiliki interpretasi masing-masing yang kadang satu dengan yang lainnya saling berlawanan. Bahkan, pada kenyataannya, istilah postmodernisme itu sendiri digunakan oleh berbagai bidang yang berbeda dimulai dari seni sampai arsitektur. Akan tetapi, dalam diskursus filsafat, postmodernisme sendiri bisa diartikan sebagai—jika meminjam definisi Lyotard—kritik atas pengetahuan universal, atas tradisi metafisik, fondasionalisme maupun atas modernisme (Maksum, 2014: 305-306).

Runtuhnya modernisme dengan segala kecacatannya telah melahirkan suatu peradaban baru, suatu zaman yang sama sekali berbeda. Postmodernisme lahir dengan semangat evaluasi kritis atas gerakan modernisme, bahkan tak jarang semangat tersebut menuntut penghancuran total nilai-nilai lama. Dalam memudahkan kita untuk menilai zaman yang seperti apa postmodern itu, marilah kita mengenali berbagai karakteristik yang mendasari postmodern itu sendiri

Pertama, kebenaran objektif digantikan dengan kebenaran subjektif. Hal ini berimplikasi bahwa segala sesuatu, ditinjau dari benar atau tidaknya, adalah hal yang relatif. Kebenaran subjektif ini muncul atas asumsi dasar Edmund Husserl mengenai lebenswelt. Lebenswelt ialah suatu dunia sehari-hari yang kita hayati secara konkret, suatu pandangan yang muncul sebagai asumsi prailmiah. Maka dari itu, segala asumsi ilmiah adalah suatu hasil dari abstraksi padangan prailmiah kita. Dengan jelas di sini, segala sesuatu yang dianggap sebagai kebenaran objektif menjadi subjektif karena terkait dengan pandangan pra ilmiah masing-masing subjek.

Kedua, pluralisme pemikiran dan wacana. Berkaitan dengan bahwa segala sesuatu menjadi subjektif, maka makna “kebenaran” dikembalikan pada masing-masing penalaran. Hal ini tentunya membuat hasil dari pemikiran yang lahir di zaman postmodern itu sendiri menjadi plural. Dalam artian yang paling ekstrim, sifat pluralitas ini berujung pada nihilisme—bahwa kebenaran yang paling benar diserahkan pada tiap-tiap individu. Dengan begitu objektivitas telah hancur total, pemaknaan akan realitas dikembalikan masing-masing individu.

Ketiga, adanya suatu ketertarikan yang mendalam terhadap bahasa. Pada periode ini seringkali dikenal suatu ungkapan bahwa filsafat sedang mengalami apa yang dinamakan sebagai linguistic turn. Bahasa pada periode ini lebih sering dimaknai sebagai sesuatu yang dinamis, bukan sesuatu yang objektif-deskriptif. Kita bisa lihat bagaimana Gadamer mengatakan bahwa bahasa adalah suatu alat kritis kita untuk bisa memahami dunia ini. Dalam sisi yang paling ekstrim, kita bisa lihat dekonstruksi yang dicetuskan Derrida melihat bahwa makna dalam bahasa itu selalu dapat berkembang. Karenanya bisa dikatakan bahwa postmodernisme ini menampakkan dirinya pada persoalan bahasa melalui kajian-kajian linguistik-hermeneutik.

Begitulah beberapa karakteristik yang dapat kita lihat dalam periode postmodern, walau mungkin masih banyak hal lainnya yang dapat kita eksplorasi dari apa yang dinamakan sebagai periode postmodern itu. Namun biar bagaimanapun, ini menjadi suatu refleksi tersendiri bagi kita semua sebagai umat manusia dalam menanggulangi sebab-sebab yang diakibatkan oleh nilai-nilai modern. Berbagai macam permasalahan yang dimulai dari bencana alam, krisis ekonomi, perubahan iklim, konsumerisme, polarisasi, dan banyak hal lainnya telah menjadi suatu isu bersama yang mesti kita pikirkan dengan baik-baik. 

Dengan memahami hadirnya postmodernisme sebagai suatu jawaban terhadapan permasalalahan-permasalahan tersebut, maka kita perlu berhati-hati dalam menentukan sikap. Menjadi suatu pertanyaan sendiri apakah postmodern ini bisa dijadikan sebagai suatu alternatif dalam memecahkan kemelut modernisme? Ataukah hanya sebagai suara dengung kritikan-kritikan tanpa solusi? Atau mungkin, bahkan pada sisi yang paling radikal, di sini kita bisa melihat bahwa filsafat tengah menjemput “kematiannya” karena tidak bisa lagi memberikan kepastian bagi kemelut yang menjadi persoalan umat manusia ini.

Daftar Pustaka

Hardiman, Budi. Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta, Gramedia: 2004

Sugiharto, Bambang. Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat. Yogyakarta, Pustaka Filsafat: 1996.Maksum, Ali. Pengantar Filsafat : Dari Masa Klasik hingga Postmodernisme. Yogyakarta, Ar-Ruzz Media: 2014.

Noval Auliya

Mahasiswa Jurusan Aqidah dan Filsafat UIN Sunan Gunung Djati dan Pembelajar di PMII Rayon Fakultas Ushuluddin Komisariat UIN Sunan Gunung Djati Cabang Kota Bandung.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.