#SATISFYINGVIDEOS dan Titik Balik Teknikalitas Manusia

Melihat senarai video kelincahan kerja pekerja pabrik adalah kepuasan bagi banyak orang; apakah Anda salah satunya? Di media sosial seperti Instagram, video-video ini biasa tergabung dan ditemukan dalam #satisfyingvideos. Craig Richard, lewat studinya, menunjukkan kepopuleran pertunjukan tersebut berakar dari terbangunnya Autonomous Sensory Meridian Response (ASMR) di kalangan penontonnya; bagaimana pertunjukan kerja para pekerja menjadi semacam mikro terapi untuk memunculkan perasaan rileks.

Tetapi, keberadaan video kelincahan kerja pekerja sebetulnya mengundang analisis ide yang melampaui ihwal psikologis: hal itu adalah tentang masa depan “perseteruan” antara manusia versus teknologi. Dalam konteks tersebut, secara tradisional, beberapa dari kita masih berasumsi tangan-tangan manusia tak akan lebih berguna dibandingkan kecakapan mutakhir teknologi dalam menuntaskan persoalan teknis-kinestetik. 

Tentang ini, penulis justru melihat sebaliknya. Dengan popularitas video kelincahan kerja pekerja, teknikalitas yang dihadirkan tangan-tangan manusia justru kembali diperhitungkan sebagai daya tawar eksistensi manusia itu sendiri. Setidaknya pada titik ini, efisiensi teknikalitas yang selama bertahun-tahun menjadi alasan dihadirkannya kedigdayaan teknologi menjadi terpinggirkan.

Supaya lebih terang, argumentasi ini akan penulis bagi dengan pertama-tama membahas urgensi teknologi bagi manusia. Ihwal tersebut mencakup pengembangan kritik terhadap argumentasi Oliver Roeder menyoal kuasa teknologi atas pekerjaan manusia. Hal ini berguna sebagai basis pemaparan berikutnya tentang makna tersembunyi dari “gerak” atau pekerjaan manusia-yang sandingkan dengan konseptualisasi Erving Goffman mengenai gerak dan pembentukan identitas politis. Bahwa pergerakan teknologi yang makin lama makin canggih tak melulu mampu menggeser eksistensi “gerak” manusia. Dari sini, penulis lantas akan memformulasikan ide tentang nilai terbaru dari “gerak” atau teknikalitas manusia.

Urgensi Teknologi bagi Manusia

The machine,” kata Oliver Roeder, “Is just the brush. Human still handles it.” Postulasi yang ditawarkan Preston juga boleh kita sebut merepresentasikan pemaknaan teknologi hingga tempo hari. Teknologi merupakan delegasi dari apa yang “dipegang” oleh manusia demi memudahkan manusia untuk memproduksi dan mengoperasikan hal-hal etis yang memotori pekerjaan teknologi tersebut. Tetapi belakangan, intelegensi, yang notabene menjadi motor manusia dalam menggerakkan tubuh dan menghasilkan produk, turut didelegasikan dengan menanamkan fitur kecerdasan buatan dalam teknologi. Padahal, intelegensi adalah syarat utama suatu entitas menjadi aktor kebudayaan. Dengan mengikuti alur berpikir ini, dalam matra kebudayaan, teknologi memiliki posisi yang setara dengan manusia.

Sungguhpun begitu, John Searle, seorang filsuf kenamaan Amerika Serikat meyakini bahwa kecakapan simulasi teknologi terhadap aspek intelegensi-juncto gerak tubuh-manusia bagaimanapun tidak bisa memanipulasi makna intelegensi estetis itu sendiri bagi diri manusia. Menurut penulis hal ini menjadi masuk akal mengingat terdapat suatu problem di mana intelegensi khas teknologi tereduksi menjadi ihwal yang statis dan matematis. 

Misalnya, perihal memasak, banyak robot yang kini diproduksi untuk membantu manusia menyelesaikan aktivitas tersebut. Memang, secara etis, robot telah mengatasi persoalan manusia untuk mendapat rasa kenyang tanpa mengeluarkan energi fisik yang signifikan. Padahal dalam rangkaian proses memasak, mungkin ada rasa sayang yang ingin ditumpahkan sang pemasak bagi orang-orang yang hendak menyantap masakannya. Mungkin juga ada upaya misalnya untuk menunjukkan keahlian sebagai pemotong yang hebat di depan audiens. Bentuk kecerdasan tingkat lanjut ini, paling tidak hingga tulisan ini dibuat, tak bisa ditangkap oleh teknologi robot dalam “aktivitas kulturalnya.”

Karenanya, kendati Clifford Geertz mengatakan bahwa teknologi selalu menyimpan sisi kultural berupa pemaknaan si pembuatnya terhadap suatu objek/masalah, maka luaran yang diciptakan teknologi masih perlu dipertajam oleh kemampuan kritis manusia. Apalagi, seperti yang dikritik Diana E. Forsythe, intelegensi teknologi bagaimanapun selalu bersifat rapuh-sejalan dengan keterbatasan pembuatnya  untuk menginput makna dan berbagai potensi artikulasi “aksi” yang bisa dilakukan manusia di dunia nyata.

Makna “Gerak” dalam Interaksi Sosial

Teknologi telah dimaklumi untuk tidak hanya meringankan pekerjaan manusia; teknologi hari-hari ini berubah menjadi jalan kedigdayaan untuk menduplikasi kekuatan-kekuatan terdalam manusia seperti intelegensi. Tetapi, bertolak dari pemikiran Searle di atas, manusia selalu dapat mengatasi invasi kecerdasan teknologi yakni dengan kecakapan memaknai setiap aktivitasnya.

Nilai dinamis “aktivitas” bagi manusia lantas dapat disaturasikan ketika melihat video-video kelincahan kerja pekerja sebagai sebuah sajian estetis di media sosial. Mengenai ini, penulis mengerti bila teknologi belakangan juga mampu mendistribusikan nilai serupa. Itu sebabnya, di dalam #satisfyingvideos, video-video yang memperlihatkan “keindahan” cara kerja robot atau objek berteknologi tinggi lain-tanpa intervensi manusia.

Namun, titik persimpangan distribusi nilai estetika dalam “gerak” hadir manakala kita mengingat setiap “gerak” manusia di dunia virtual merupakan bagian dari interaksi sosial. Melanjutkan pemahaman interaksi sosial khas Goffman, “gerak” manusia lebih jauh membawa pada strukturisasi identitas politis. Secara spesifik, menurut Goffman, masing-masing subjek dalam interaksi sosial memiliki persepsi diri sebagai saya berbeda dengan lainnya; bahwa “saya” berbeda dengan subjek lain yang berkarakter sebagai “kamu”, “kalian”, atau “dia”. Bahwa dalam kenyataannya setiap subjek itu terikat dalam suatu budaya komunitas, itu menjadi satu soal. Tapi tentu saja, masing-masing subjek punya ekspresi otentisitas yang berbeda. Persis di sini, akhirnya mereka berupaya menunjukkan bagaimana ia menarik dan mampu menjadi pusat perhatian bagi subjek lainnya; untuk membangun realitas bernama “saya” yang begitu berbeda. 

Dalam konteks video-video pertunjukan kelincahan kerja pekerja pabrik, kita bisa melihat adanya interaksi yang terbangun di antara pekerja-sebagai penampil-dan warganet-sebagai penonton. Lewat mata kamera, pekerja pabrik mempertontonkan kelincahan geraknya dalam memandu beragam objek teknologis-dari level sederhana sampai tinggi-sebagai sesuatu yang memukau bagi subjek-subjek lain, yakni warganet, hingga mengundang mereka untuk mengirim pesan kekaguman seperti melalui kolom komentar.

Nilai Baru Teknikalitas Manusia: Buah dari Kekayaan Makna “Gerak”

Dari Goffman, kita dapat mengetahui bagaimana makna istimewa gerak dalam interaksi sosial; bagaimana “gerak” menjadi sebuah identitas untuk memenangkan kontestasi politik. Namun yang lebih menarik menurut saya adalah pameran “gerak” dalam kasus video pertunjukan kerja pekerja tersebut pada saatnya menjadi stimulan bentuk kerukunan kelas; bagaimana manusia dari setiap kelas dapat saling mengisi. Dari sudut penonton, mereka mendapat kepuasan estetika sekaligus psikologis. Sementara dari sudut penampil, pekerjaan mereka mendapat keuntungan fungsional. Pekerjaan mereka kini dihargai sebagai atraksi alternatif sehingga membuat pekerjaan kinestetik bangkit dari posisinya sebagai pekerjaan kreatif yang membosankan-atau dalam terma Karl Marx disebut sebagai dead labour.

Di sini, saya ingin menyodorkan ide bahwa keberadaan teknologi dan manusia tak selayaknya secara kontinyu dilihat sebagai fenomena politik-ekonomi. Hal itu sebagaimana yang dilakukan para cendekiawan Marxis (Kirsch, 2004 dan Adler, 1990), yang membuat teknologi akhirnya diletakkan sebagai subjek yang berupaya mencapai efisiensi waktu dan biaya buruh. Itulah yang barangkali membuat orang takut peran lapangannya akan digeser teknologi. 

Pada titik tertentu, perspektif di atas memang membawa dampak yang bagus terhadap gerakan kolektif yang berupaya menekan eksploitasi eksesif para kapitalis dalam mendayagunakan teknologi-sehingga berdampak pada kerentanan kesejahteraan sejumlah manusia. Tapi melalui fenomena #satisfyingvideos, kita dapat menyaksikan bagaimana pertunjukan tangan manusia justru tidak tereliminasi oleh pertunjukan objek-objek teknologis dalam menghadirkan nilai kepuasan estetis. Jika Anda cek hashtag tersebut di Instagram, misalnya, Anda bahkan akan mudah menemukan ragam tayangan tangan-tangan manusia yang berharmoni membentuk atraksi dengan objek-objek berteknologi tinggi di lingkungan pabrik. Pada akhirnya, kita tidak lagi menantikan siapakah yang akan kalah. Alih-alih, di tengah perkembangan teknologi yang kian canggih, keberadaan tangan-tangan manusia mengalami perluasan fungsi sebagai alat estetika yang mengundang antusiasme manusia lainnya. Kendati pertunjukan-pertunjukan yang murni dihadirkan dari tangan objek-objek teknologis juga mendapat sorotan, kenyataannya, objek-objek teknologis kerap berperan sebagai pendukung atraksi-atraksi memukau tangan manusia dalam #satisfyingvideos. Demikianlah kita kemudian dapat melihat teknologi kembali pada fitrahnya sebagai alat, bukannya pesaing, bagi manusia.

Faudyan Eka Satria
Faudyan Eka Satria
Penulis lepas. Pemikir bebas. Fokus mengkaji filsafat dan kebudayaan digital.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.