fbpx

Batas antara Memiliki dan Mencintaimu: Menuju Open-Individualism Daniel Kolak

Jika kamu memiliki alasan untuk mencintai seseorang, kamu tak benar-benar mencintainya.
The Garden of Eden karya Hugh Goldwin Rivière
The Garden of Eden karya Hugh Goldwin Rivière

Tulisan ini saya persembahkan untuk jiwa-jiwa yang terjebak pada ketidakpastian cinta agar dapat meredefinisi taraf epistemologis cinta yang ditemukannya dan bangkit menjadi pribadi yang lebih matang.

Saya masih teringat di suatu malam, manakala tengah menikmati sepiring magelangan sendirian di salah satu warung makan langganan saya. Notifikasi pesan di WhatsApp saya tiba-tiba berdering. “Mas Eka tuh lagi makan di burjo?” begitu isi pesannya. Seketika saya kaget dan menoleh ke seluruh penjuru arah siapa gerangan yang mengetahui keberadaan saya di situ. Mata saya lantas tertuju pada seorang gadis manis yang tertawa sambil melambaikan tangannya kepada saya. Perkenalan dan percakapan pun dimulai, segera setelah ia memutuskan mendatangi meja tempat saya makan. Saya tidak tahu bagaimana bisa ia mengenal saya, sementara saya merasa belum pernah bertatap muka dengan ia sebelumnya. Tapi kalau yang diakuinya, ia mengenal profil saya ketika suatu waktu kami sama-sama pernah menghadiri suatu agenda di kampus. Dalam hati saya berkata: “astaga, ini permasalahannya ada pada cara dia yang kelewatan untuk mengenal orang atau saya yang memang Maha Kuper?”

Saya lantas berkawan baik dengannya. Beberapa kali kami berinteraksi dan lamat-lamat saya cukup terkesan dengan kepribadian dan cara berpikirnya. Tapi komunikasi dan ihwal itu, bagi saya sendiri, tak lantas menghadirkan sesuatu yang lebih dalam hati; tidak, sampai suatu malam kami kembali berjumpa di suatu kafe untuk berdiskusi. Di antara momen tersebut, ia sedikit demi sedikit terbuka tentang problem hidup yang tengah ia alami, yang ia akui belum banyak orang mengetahui. Saya tidak mau bercerita isinya di sini. Yang jelas, di saat itulah saya pertama kali melihat ia menangis kala mengingat problem-problemnya. Seketika hati saya merasakan kepedihan luar biasa. Saya tidak tahu apa sebabnya—tidak biasa saya merasakan simpati sedalam demikian kepada seorang wanita. Tapi tangan saya seolah-olah ingin menyeka air mata yang mulai membasahi pipinya kendati akhirnya saya urungkan. Satu-satunya yang dapat saya lakukan adalah berkehendak menjaga dirinya dalam perjalanan hidupnya selanjutnya.

Yang paradoksal adalah, seiring berjalannya waktu, saya justru menyimpulkan momen itu menandai kemungkinan saya mencintai dirinya. Saya sebut ‘kemungkinan’ karena saya kemudian mulai berhati-hati dengan komitmen dan perasaan tersebut. Adalah argumen Ludwig Wittgenstein yang kemudian menjadi biangnya. Melalui ‘argumentasi bahasa pribadi’ yang pernah ia lontarkan, Wittgenstein mengingatkan saya bahwa bahkan perasaan pribadi pun sejatinya masih menjadi misteri. Bagaimana bisa saya mengukur bahwa komitmen tadi benar-benar merujuk pada penggambaran final dari perasaan saya kepadanya? Jangan-jangan, komitmen yang saya munculkan tadi hanya menjadi simbol referensial dari apa yang saya rasakan saat itu? Bisa jadi perasaan tersebut berubah pada waktu berikutnya.

Tapi keraguan saya di atas lebih berkelindan dengan ketakutan lain yang jauh mendalam: bagaimana ketulusan ini mesti tersampaikan secara sempurna? Saya tidak bisa membayangkan, ketika perasaan ‘tulus’ itu sekonyong-konyong saya justifikasi sebagai sebuah finalitas dan menjadi alasan tindak ‘ketulusan’ berikutnya dalam relasi tadi, ada probabilitas bahwa saya akan menjadi sesosok lelaki egois. Pikiran ini diperkuat dengan konsep Wittgenstein selanjutnya yang belakangan dalam khazanah filsafat disebut sebagai inverted qualia. Kalau saya jelaskan cepat-cepat, konsep tersebut merujuk pada perbedaan qualia (persepsi) ketika melihat suatu persoalan. Perbedaan qualia ini, pada saatnya, akan mengantarkan kita pada perbedaan sikap yang mesti diambil atas suatu persoalan tersebut.

Untuk memahaminya secara praktis, mari kembali pada konteks kasus yang saya ajukan di awal. Tapi supaya terang, saya perlu menegaskan posisi argumentasi saya dalam kajian filsafat pikiran kasus ini: bahwa apa yang hendak saya uji adalah pasal ‘menyempurnakan rasa cinta’, yang pada saatnya memiliki implikasi atas mutu kemurnian hati. Let’s skip to the good part: ketika saya meyakini tengah mencintai si gadis tadi, saya dan barangkali beberapa orang akan mengira bahwa yang harus saya lakukan atas qualia bernama ‘menyempurnakan rasa cinta’ itu adalah segera bergerak memacari/memilikinya. Tapi pengandaian ini belum tentu berlaku bagi beberapa orang lain, terutama si gadis sebagai calon benefactor perasaan yang saya miliki. Lagipula, seorang sahabat si gadis, yang juga adalah teman saya, suatu hari pernah menasihati sekaligus menyampaikan pertanyaan kepada saya yang kira-kira maksudnya begini: “mengapa kamu begitu ‘menggebu-gebu’ sehingga membuat dia terkadang tak nyaman dengan perilakumu? Kamu tahu ia belum selesai dengan masa lalunya?”

Maka berbeda halnya dengan saya, bagi sang gadis, ‘menyempurnakan rasa cinta’ justru ia definisikan sebagai momentum yang tak melulu untuk segera mengikat suatu hubungan; alih-alih, itu adalah ihwal episodik. Maksud saya, fenomena inverted qualia yang menubuh dalam persoalan penyempurnaan rasa cinta itu nampak sang gadis tempatkan sebagai momentum untuk menemukan titik balik semangat hidup atas sejarah luka yang dialaminya—tanpa melulu membutuhkan kehadiran seorang pria di sampingnya. Hal itu jauh sebelum akhirnya ia berkehendak memberikan seluruh hatinya kepada pria yang akhirnya ia percaya. Dalam konteks ini, Gottlob Frege, seorang filsuf analitik kenamaan asal Austria, pun pernah mengafirmasi bahwa rujukan makna suatu ihwal—apapun itu—sejatinya berasal dari dimensi ‘dunia mungkin’/konstruk yang berbeda-beda. Itu karenanya, saya akhirnya paham terdapat rasa ketidaknyamanan yang dirasakan si gadis ketika saya menunjukkan ketulusan maksud untuk ‘segera memilikinya’ supaya siapapun tak bisa menyakitinya lagi—walaupun sebetulnya qualia itu mungkin bagi beberapa orang lumrah dilakukan sebagai bentuk rasa cinta kepada seorang wanita.

Lalu bagaimana kebijaksanaan selanjutnya yang mesti dipelajari dan diterapkan dari situasi seperti ini? Argumen Daniel Kolak tentang open-individualism lantas menjadi model operasi yang saya pilih dan promosikan untuk menjawab pertanyaan itu. Per definisi, open-individualism mendorong kita untuk memahami bahwa kita semua adalah satu sehingga tidak ada istilah aku dan kamu—kesadaran kita menyatu dengan kesadaran yang dimiliki orang lain. Argumentasi ini agaknya cukup aneh untuk didengar: bagaimana mungkin masing-masing dari kita yang faktanya memiliki tubuh yang berjarak dapat bersatu secara eksistensial? Bagaimana mungkin kita harus menjadi satu sementara kita sendiri berasal dari perjalanan hidup yang berlainan?

Tapi posisi yang ditawarkan Kolak ini menurut saya bagus untuk mengatasi teka-teki dalam relasi kita dengan banyak orang—tentang bagaimana kita memaknai persepsi kita sendiri atas orang lain. Selama ini, tak bisa dipungkiri bahwa kita selalu memiliki intensi egoistik ketika melakukan sesuatu. Pada saat yang bersamaan, kita kerap dibayangi dorongan moral untuk mengutamakan kepentingan orang lain—yang kadangkala membuat kegusaran semacam “mungkinkah saya lantas dapat membahagiakan diri saya sendiri?”. Open-individualism, di sini, berperan menggugah betapa kepuasan kita pada dasarnya berkorelasi dengan terpenuhinya kepuasan orang lain lantaran perilaku/sikap kita. Segala sumber kejahatan, dengan demikian lenyap—untuk apa kita menyakiti orang lain ketika pada akhirnya itu akan membuat diri kita sendiri terluka?

Solusi sosio-psikologis seperti ini pada akhirnya berhasil melacak konsep identitas yang terfragmentasi pada setiap individu yang, menurut saya, menjadi akar persoalan inverted qualia di atas. Pada persoalan dengan si gadis tadi, saya menjadi mafhum bahwa yang lebih penting dari segalanya adalah menempatkan diri saya pada kondisi dirinya. Hal itu tentang memahami sedalam mungkin bagaimana pikirannya bekerja untuk kompleksitas persoalannya hingga ia benar-benar ragu untuk segera menerima ihwal cinta—kendati itu datang dari hati paling tulus yang tak kuasa melihat dan ingin segera menghentikan ratapan dirinya atas luka yang ia terima sekaligus menuntun dirinya bangkit dari keterpurukannya. Lagipula, apa yang sedari awal membuat dirinya nyaman, pada saatnya akan membuat saya mendapati kualitas hubungan yang menyenangkan—atau seburuk-buruknya mengakhiri misteri dalam perjalanan cinta yang barangkali tak bisa dipersatukan. Memang ini tidak mudah; tentang membiarkan seseorang yang kita cintai menunjukkan atau merumuskan jalan kebahagiaan versinya sendiri, sementara kita hanya bisa menahan ‘ego pribadi’ untuk menjaganya. Pula, tentang kesetiaan menunggu seseorang yang memilih ‘sendirian’ mendamaikan lukanya. Tapi, bersama open-individualism, ketulusan kita kepada seseorang benar-benar teruji dengan belajar melerai hasrat memiliki dan mencintai. Slavoj Zizek, Si Lacanian eksentrik, suatu hari pernah berkata: jika kamu memiliki alasan untuk mencintai seseorang, kamu tak benar-benar mencintainya.

Faudyan Eka Satria
Faudyan Eka Satria
Penulis lepas. Pemikir bebas. Fokus mengkaji filsafat dan kebudayaan digital.

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content