Surat Redaksi
Pada catatan pembuka Frederick Beiser dalam Diotima’s Children, ia mengungkapkan bahwa salah satu tradisi berpikir yang diwariskan kepada kita dari para filsuf tradisional ialah untuk mencari keindahan kehidupan serta mengejar kebenaran dan ilmu pengetahuan. Hal yang sama merupakan harapan dari para filsuf kontemporer seperti Rebecca Buxton dan Lisa Whiting dalam pengantar bagi buku The Philosopher Queens. Pada kesempatan yang sama Buxton dan Whiting menyatakan bahwa dalam studi filsafat, kisah hidup maupun produk pemikiran filsuf perempuan masih belum terwakili dengan baik. Perempuan dalam proses perkembangan filsafat menjadi seks kedua yang mendapatkan tempat berbeda dengan kelompok yang dirasa memiliki kelebihan dalam bidang tersebut. Dalam proses pembelajaran filsafat, baik perempuan atau pemula dalam proses kerap mendapatkan tempat yang sama dengan para pembelajar lainnya.
LSF Discourse didirikan di kota pusat pendidikan di Jawa Timur pada tahun 2016 di mana sebagian besar penggagas awalnya merupakan para mahasiswi dari beberapa bidang ilmu yang berbeda. Dengan rasa ingin tahu yang besar kami mencoba untuk melangkah menuju ibu dari segala ilmu. Namun perjalanan tidak selalu merekam ingatan baik, utamanya di saat proses belajar filsafat menjadi ruang gelap sementara terkadang kawan-kawan seperjalanan tidak memahami atau terpaksa berdamai dengan pengingkaran nilai dirinya. Beberapa hal buruk terjadi karena salahnya pengertian atau kurangnya kesepahaman kawan-kawan belajar atas konsep penghargaan hidup dan tubuh. Kondisi perempuan dalam lingkungan pembelajar filsafat memiliki kesamaan dengan ruang-ruang publik lainnya. Tidak hanya perempuan, laki-laki atau kawan-kawan dari kaum rentan pun kerap menemui perundungan atau kondisi yang menekan di mana mereka menjadi tidak bebas untuk belajar, inferioritas dapat sewaktu-waktu muncul akibat situasi forum yang kurang sehat. Selain itu terdapat beberapa situasi tambahan dalam dunia pembelajaran filsafat yang selanjutnya mendorong kesadaran atas penghormatan tubuh menjadi semakin sulit ditemukan. Beberapa jenis ketidakadilan pun ditemui misalnya seperti:
- Perempuan mendapat stigma ‘bebas’ yang berkonotasi negatif atau bertentangan dengan etika-norma tertentu setelah belajar filsafat.
- Perempuan dianggap inferior karena lebih senang memikirkan hal yang tidak filosofis.
- Perempuan yang mempelajari filsafat dianggap ‘unik’ yang justru melahirkan eklusifitas perannya dari orang lain. Hal ini dtanpa disadari dapat menimbulkan perasaan tidak nyamaan dan bahkan persaingan yang mengganggu proses belajar.
- Menerima identifikasi dengan profil seorang filsuf perempuan tertentu yang justru menghasilkan pelabelan baru.
- Menerima rayuan yang tidak diharapkan misalnya oleh orang yang baru saja berkenalan atau oleh orang yang telah resmi berpasangan.
- Menjadi objek gazing selama proses belajar bersama baik karena kondisi tubuh atau pakaian yang dikenakan.
- Mendapatkan ajakan berkencan atau aktivitas lain yang tidak diinginkan dengan alasan mendiskusikan filsafat.
- Menjadi objek lelucon karena ketimpangan jumlah perempuan yang hadir dalam sebuah forum.
- Menerima rayuan, gurauan, atau pengkondisian untuk merasa segan sehingga terpaksa mengafirmasi ajakan tertentu dari laki-laki yang dianggap memiliki kelebihan dalam wacana filsafat.
- Menerima sentuhan fisik yang tidak diinginkan dari teman belajar lawan jenis.
- Menjalin hubungan yang tidak sehat dengan bumbu argumentasi konsep kebebasan dari beberapa filsuf tertentu.
- Menjadi objek gazing selama proses belajar bersama baik karena kondisi tubuh atau pakaian yang dikenakan.
- Mendapatkan ajakan berkencan atau aktivitas lain yang tidak diinginkan dengan alasan mendiskusikan filsafat.
- Menjadi objek lelucon karena ketimpangan jumlah perempuan yang hadir dalam sebuah forum.
- Menerima rayuan, gurauan, atau pengkondisian untuk merasa segan sehingga terpaksa mengafirmasi ajakan tertentu dari laki-laki yang dianggap memiliki kelebihan dalam wacana filsafat.
- Menerima sentuhan fisik yang tidak diinginkan dari teman belajar lawan jenis.
- Menjalin hubungan yang tidak sehat dengan bumbu argumentasi konsep kebebasan dari beberapa filsuf tertentu.
Beberapa pengalaman di atas pernah dan masih terjadi dalam forum-forum belajar, termasuk di antaranya forum pembelajaran filsafat baik dalam lingkup Indonesia maupun dalam skala dunia. Melalui beberapa fenomena tersebut, kami tersadar bahwa lingkungan pembelajar filsafat membutuhkan pembaharuan dalam mewujudkan perkembangan komunitas yang lebih inklusif. Disertai dengan berbagai usulan, saran, dan pertimbangan dari para ahli, aktivis anti-kekerasan, dan kawan-kawan dari berbagai pihak, pada tahun 2022 ini Lingkar Studi Filsafat Discourse telah menyusun Panduan Anggota: Komunitas Bebas Kekerasan Seksual yang disusun dengan berbagai harapan. Dengan tersusunnya Panduan Anggota, besar harapan kami bahwa LSF Discourse dapat semakin matang dalam membangun ruang yang inklusif dan aman bagi para pembelajar filsafat di Indonesia.
Kami membagikan Panduan Anggota: Komunitas Bebas Kekerasan Seksual yang dapat diunduh di sini. Kawan-kawan dapat mengunduhnya secara bebas sebagai rujukan bagi pertimbangan gerakan pengentasan kekerasan seksual di komunitas masing-masing. Mari mewujudkan komunitas yang bebas dari penindasan, termasuk berbagai bentuk kekerasan seksual. Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang berkenan mendukung kami melalui saran, ide, pendampingan, dan pemberian konsultasi dalam proses penyusunan panduan komunitas ini.
Semoga kami dan kawan-kawan dapat mewujudkan wadah pembelajar yang mampu memberi rasa aman bagi para pencari kebenaran dan kebijaksanaan.