Norman Rockwell

Peradaban manusia masa kini telah sampai pada kulminasi dalam sektor teknologi. Sofistikasi atas temuan teknologi setidaknya telah merepresentasikan peradaban manusia pada tingkat yang sangat mutakhir. Kita bisa melihat dan menemuinya pada fenomena yang terjadi di masyarakat dewasa ini. Contoh, munculnya gagasan metaverse dengan segala peralatan AI (artificial intelligence) dalam ruang virtual serta adanya digitalisasi dan virtualisasi di berbagai sektor kehidupan manusia.

Masifnya penggunaan media sosial serta platform-platform digital menjadi ciri dari pencapaian masyarakat –yang tentu berlatar belakang dari kelahiran hegemoni modern— dalam hal ini, dengan semangat modernitas. Semangat yang digaungkan pada era modern dengan m-nya yang sukses menciptakan masyarakat industri, perdagangan bebas, dan revolusi teknologi. Kehadiran teknologi dengan segala bentuk kecanggihan dalam jantung kehidupan masyarakat modern ada karena iklim modernitas (zaman renaisans, aufklärung) dengan semangat globalisasi.

Semangat modernitas sukses menciptakan masyarakat industri, perdagangan bebas, dan revolusi teknologi. 

Modernitas, globalisasi, dan capaian teknologi menjadi tiga hal penting yang menggerakkan semangat pencerahan, termasuk di dalamnya,  konteks digitalisasi sosial. Manusia seakan tidak bisa melepaskan dirinya dari keberadaan teknologi digital seperti smart phone misalnya. Kehidupan manusia telah terdistraksi menuju serba virtual. Meminjam istilah Jean Baudrillard, kehidupan manusia dewasa ini sedang mengalami hiperealitas.

Dalam konteks kecanggihan modern, teknologi telah memberi penanda besar bagi kehidupan manusia. Tetapi di lain sisi ia juga telah menciptakan kondisi yang mengkhawatirkan bagi kehidupan. Pasalnya, globalisasi dengan segala temuan teknologinya dapat melahirkan efek samping. Misalnya krisis lingkungan, hilangnya orientasi, pudarnya kedekatan, dan kekeringan spiritual. Itu semua ialah risiko dari lahirnya produk-produk modernitas.

Dalam sektor etos kerja sebagai elan vital manusia untuk berkreasi dan berinovasi, teknologi konsekuensi berisiko. Sebab, teknologi memberi kemudahan bagi manusia, sehingga membentuk satu kebiasaan yang stagnan. Baudrillard dalam bukunya Masyarakat Konsumsi (2011), mengatakan bahwa teknologi sebagai mesin dari industri-kapitalisme telah menciptakan corak masyarakat yang bercirikan konsumtif. Konsumerisme yang membawa pandangan bahwa parameter kenikmatan (baca: kebahagiaan) dipretensikan hanya dalam materi, hingga pada akhirnya membawa kegalauan tersendiri bagi manusia modern.

Alienasi: Problem Kegalauan Diri

Modernitas telah dianggap sebagai satu entitas elementer dari kebudayaan. Ia dapat mendekonstruksi pola pandang manusia dan bahkan memberikan impresi situasi yang sama sekali berbeda dengan struktur sosial, budaya, dan agama (Nasr, 1997:15). Ini berlaku pula pada cara atau pola pandang manusia dalam memaknai fasilitas teknologi yang telah diberikan oleh gaung modernitas.

Herbert Marcuse dalam salah satu magnum opus-nya Manusia Satu Dimensi (2016) memberikan kritik menarik bahwa masyarakat modern yang menjalankan roda industrinya di bawah sistem ekonomi-kapitalisme, telah berhasil menundukkan manusia dengan teknologi yang diciptakannya sendiri. Dalam konteks ini, masyarakat kapitalisme modern tumbuh dan berkembang dengan ciri rasional instrumental. Artinya, keadaan manusia yang seperti tidak punya kebebasan diri untuk berekspresi secara otentik, karena ia diatur instrumen-instrumen industrial di luar dirinya. 

Dalam hal ini, semacam ada dua bentuk represi yang dialami oleh manusia (surplus-repression). Pertama adalah represi yang dilakukan oleh sistem masyarakat sehingga terjadi alienasi manusia secara massal (sosial). Sementara yang kedua ialah represi yang terjadi dalam lingkup individu. Ini terjadi saat manusia teralienasi oleh hasratnya sendiri, karena adanya sublimasi dan represi. Hal inilah yang akhirnya menjadi penyebab munculnya derita alienasi dalam diri manusia. Tepat, ketika manusia mengalami kondisi asing atas dirinya sendiri.

Budaya yang diciptakan oleh hegemoni modernitas melahirkan defisit pengenalan atas personalitas diri. Manusia yang hadir sebagai akibat dari semangat modernitas akan kesulitan untuk mengenali siapa dirinya. Sebagaimana dalam dunia industri, kesadaran masyarakat utamanya para karyawan digiring untuk hanya memiliki kesadaran sebagai kelompok pekerja—sebagaimana alat atau mesin produksi industrial.

Situasi modern hanya memberikan satu ruang dimensi kesadaran sehingga secara otomatis menutup dimensi lain manusia (masyarakat) yang sesungguhnya mempunyai ruang kebebasan untuk mengekspresikan personality dirinya secara otentik. Personalitas tidak dapat mengacu hanya pada arahan budaya ‘instrumentalisme’ modern. Dengan kata lain, masyarakat bukanlah semata-mata kelompok pekerja, melainkan juga manusia berkodrat alamiah. 

Satu jenis ‘kejahatan struktur‘ adalah ketika terdapat sistem halus tatkala entitas masyarakat dipandang sebagai mesin pemuas nafsu kapital. Inilah yang menjadi problem mendasar masyarakat modern dalam pandangan Marcuse. Bahwa kebanyakan dari keberadaan diri kita hanya diberi ruang untuk hanya menerima, tanpa pernah dapat menolaknya.

Homo Digital vs Human Spiritual

Menjadi tema menarik bagi para pemikir dunia ketika keluar satu pra-wacana soal metaverse. Baik yang bernuansa kritik atau sambutan selamat datang. Digitalisasi ataupun virtualisasi menjadi bagian penting dari suksesi teknologi dalam kehidupan manusia. Dengan adanya kecanggihan teknologi dewasa ini, manusia setidaknya satu langkah akan sampai pada satu istilah sebagaimana judul bukunya Rafael Capurro, Homo Digitalis. Dalam hal ini, homo digitalis bukan hanya sekadar pengguna teknologi, tetapi sosok yang hendak eksistensi melalui teknologi itu sendiri melalui tindakan-tindakan digital, misalnya: chatting, posting, menyusun konten, dan seterusnya.

Dalam konteks model kehidupan yang semacam itu, pelaku (homo digitalis) tidak hanya berposisi sebagai pengendali komunikasi, tetapi sekaligus juga yang dikendalikan. Sehingga, homo digitalis di sini sangat berkemungkinan untuk nantinya menciptakan suatu realitas baru dalam dunia digital. Ini menjadi kredit poin atau semacam satu keistimewaan bahwa untuk pertama kalinya semua orang dari kalangan apapun bisa ikut andil sebagai aktor global via digital. Betapa pun dunia digital bukanlah dunia yang sesungguhnya, alias maya. Tetapi pada faktanya aneka ragam sosial media yang tersebar di media digital menjadi dunia baru bagi homo digitalis.

Aktivitas para homo digitalis bisa terlihat dalam jejaring Twitter, YouTube, Instagram, Facebook, dan lainnya sebagai ajang atas kebutuhan terhadap eksistensi diri. Ini menjadi ruang sangat aksesibel bagi siapa pun untuk kemudian eksis sebagai publik figur dadakan. Dalam sisi tertentu, kita harus bersyukur karenanya. Akan tetapi Budi Hardiman mengatakan, bahwa jenis manusia yang homo digitalis itu belum benar-benar mencapai aqil baligh, sebab yang terjadi sebenarnya hanyalah upaya revolusioner yang pada akhirnya malah memunculkan tindak kebebasan, bahkan brutalitas. Alih-alih sampai pada tahap dewasa, karena tidak adanya aturan main yang jelas dalam ruang digital, homo digitalis akhirnya malah menjelma menjadi homo brutalis (Hardiman, 2018: 183).

Kita bisa melihat bahwa kebanyakan masyarakat hari ini telah hanyut oleh hegemoni yang dibentuk atas kecanggihan teknologi. Contohnya, saat ini adalah fenomena generasi milenial yang amat identik dengan gadget. Generasi milenial adalah satu fakta generasi yang tidak bisa melepaskan diri dari gadget. No Gadget, No Life. Pada sisi terburuk, adanya teknologi seperti gadget secara tanpa sadar telah menciptakan satu habitus generasi yang sungguh ingin serba instan. Habitus seperti itulah yang akhirnya semakin melemahkan karakter tangguh generasi milenial—sebelum nantinya bisa disebut sebagai homo brutalis.

Betapa pun ruang media sosial memberikan satu semesta kehidupan yang bebas untuk mengekspresikan  diri. Akan tetapi, kebebasan tersebut ternyata tidak selalu membawa manusia sampai pada titik “kebahagiaan”. Kebahagiaan yang dianggapnya sebagai kebahagiaan sebenarnya hanyalah satu kondisi serba semu karena terkurasnya hormon dopamin yang dipacu oleh fitur-fitur canggih dalam gawai teknologi, yang pada akhirnya malah semakin membawa manusia mengalami kegalauan dalam dirinya sendiri. Dalam diskursus psikologis, insecurity ataupun kegalauan yang kebanyakan dialami pengguna media sosial justru disebabkan oleh terbukanya kebebasan dalam mengakses konten-konten di media sosial itu sendiri.

Konten-konten yang ada dalam tiap-tiap akun sosial media kemudian mengonstruksi pikiran pengguna. Itulah yang kemudian menjadi trigger untuk terciptanya kondisi overthinking sebagai pemantik munculnya kegalauan (insecurity) dalam diri manusia. Personalitas diri kemudian menjadi semakin kabur karena adanya media sosial. Dengan kata lain, kita jauh lebih sibuk dengan tampakkan persona orang lain dalam dunia media sosial ketimbang sibuk dengan otentisitas diri kita sendiri.

Kekaburan inilah yang akhirnya membuat kebanyakan dari kita (generasi milenial) tumbuh dan berkembang menjadi sosok yang tidak percaya diri. Lebih buruk lagi, kondisi batin menjadi semakin kacau karenanya. Efek buruk ini kemudian menjadikan diri redup secara spiritual. Air jiwa dalam diri mengalami kekeringan yang memprihatinkan. Kalau kita refleksikan dengan falsafah, “man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu”. Maka, fakta buruk kehidupan hari ini adalah kita seperti menjadi orang yang tidak mengenal Tuhan, karena manusia tidak mengenali dirinya sendiri. Bahkan, keberadaan teknologi (baca: media sosial) justru menggiring manusia untuk semakin menjauhi wilayah spiritual.

Ahmad Miftahuddin Thohari
Ahmad Miftahudin Thohari

Ahmad Miftahudin Thohari adalah seorang mahasiswa Aqidah dan Filsafat, UIN Raden Mas Said Surakarta.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.