fbpx

Wealth and Rich dalam Psychology of Money

Lukisan Karya Max Gaisser

Sebuah pertanyaan terbersit, kenapa orang-orang kaya cenderung tampil dengan sederhana? Bahkan sempat ada sebuah lelucon bahwa jika seseorang pergi ke sebuah mal dan melihat orang lain yang hanya memakai kaos oblong, celana pendek, dan sandal jepit, bisa jadi sosok tersebut adalah seorang yang kaya. Kebalikannya, jika kemudian ada sosok di mal yang cenderung tampil berlebihan, maka perlu dicurigai bahwa ia jarang pergi ke mal atau kunjungannya ke mal tersebut adalah momen yang cukup spesial.

Pertanyaan dan juga lelucon di atas dapat terjawab dengan penjelasan Morgan Housel dalam bukunya The Psychology of Money (2020). Housel membagi dengan tegas perbedaan di antara orang kaya. Dalam buku tersebut, ia memakai konsep rich dan wealth. Sayangnya dalam Bahasa Indonesia, jika kedua konsep tersebut diterjemahkan tetap terupa dalam satu kata yang sama, padahal keduanya jelas sangat berbeda.

Secara garis besar, perbedaan dari kedua konsep tersebut adalah bagaimana manusia mampu melakukan manajemen kekayaan. Orang yang hidup dalam kategori wealth akan dapat mengalokasikan kekayaan dengan sangat baik dalam jangka waktu yang panjang, serta ia tidak akan mudah untuk kehilangan akumulasi kekayaan tersebut. Namun hal yang sebaliknya dengan orang yang termasuk dalam kategori rich.

Bagi Housel, kesuksesan finansial seseorang bisa dilihat apabila dirinya berhasil mempertahankan posisinya sekarang. Housel merumuskan bahwa orang yang baru saja “meraih” kekayaan masih belum bisa dikatakan sebagai orang yang sukses karena jika ia sudah memperoleh dan mendapatkan kekayaan, justru ujian terbesar adalah bagaimana ia  memanfaatkan kekayaan tersebut sebaik mungkin dan tetap mempertahankannya.

Dengan tegas dinyatakan oleh Housel bahwa keahlian seseorang dalam memperoleh uang dan keahlian seseorang dalam mempertahankan uang itu adalah dua hal yang jauh berbeda. Terlepas dari kerasnya persaingan dalam  kapitalisme, jika seseorang berhasil untuk mempertahankan apa yang dimiliki, maka ia dapat dinyatakan mampu bertahan dalam ujian konsumerisme.

Beberapa sudut pandang sangat menarik disajikan oleh Housel, adalah jika seseorang ingin untuk mempertahankan kekayaannya, maka ia harus memiliki rasa takut dalam mengambil risiko, takut kehilangan, dan juga kesadaran serta pengakuan sepenuhnya bahwa keberhasilan yang sebelumnya ia peroleh hingga mencapai titik sekarang ini, adalah tak bisa dipungkiri merupakan faktor keberuntungan, perlu dicatat bahwa keberuntungan tidak mungkin bisa terulang untuk kedua kalinya dan datang terus-menerus. Dengan menerapkan bayangan ini, maka seseorang tidak akan terlalu sembrono menggunakan asetnya.

Kecenderungan manusia adalah untuk menjadi sangat bersemangat pada hal-hal yang baru saja mereka miliki, begitu pun kekayaan. Namun tidak halnya dengan orang memiliki pola pikir wealth, di mana ia  akan sangat berhati-hati jika hendak mengeluarkan asetnya dalam hal apapun. Orang-orang seperti ini cenderung tidak ingin tampil menonjol dan justru tidak ambil pusing dengan ada atau tidaknya validasi dari orang lain. Mereka bukanlah orang yang haus akan pujian dan sanjungan karena mereka sadar bahwa itu semua tidak akan berdampak apapun pada hidupnya.

Jika para crazy rich memang kaya, untuk apa mereka flexing?

Belakangan fenomena crazy rich dan flexing menjadi pembicaraan banyak orang. Terdapat Perbandingan Sosial atau Social Comparison yang menyatakan bahwa akan selalu ada evaluasi seseorang terhadap lingkungan di sekitarnya atau terhadap apapun yang dilihatnya. (Festinger, 1954). Kecenderungan ini selanjutnya membentuk hal-hal yang tampak dari orang lain menjadi seolah menjadi “nilai ideal” yang juga harus dimiliki oleh pengamat. Hal ini pula yang membuat pengamat sadar bahwa terdapat level sosial di mana gap antar level menjadi semakin lebar. Dengan melebarnya gap tersebut, maka apa yang didambakan oleh para crazy rich dan flexing yang dilakukannya akan tercapai, ialah validasi yang menyatakan bahwa dirinya memang orang yang kaya atau sultan, dan berbagai sebutan fenomenal lainnya. Namun jika berangkat dari konsep Housel, perilaku crazy rich adalah tahap di mana seseorang baru saja mencapai fase “sangat bersemangat”. Dan pada akhirnya pilihan akan jatuh ke tangan pengamat masing-masing, akankah seseorang hendak menjadi rich atau wealth?

Referensi

Festinger, L. (1954). A Theory of Social Comparison Processes. Human Relations, 7(2), 117-140.

Housel, M. (2020). The Psychology of Money: Timeless Lessons on Wealth, Greed, and Happiness. Harriman House Limited.

Ahmad Dzul Ilmi Muis

Mahasiswa Antropologi Universtias Airlangga

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content