Nietzsche
Frederich Nietzsche

Jika seseorang ingin membuat barisan para pemikir sejak peradaban Yunani kuno hingga Barat modern dan menunjuk salah satu individu sebagai representasi seorang filsuf, maka tampaknya Nietzsche adalah seseorang yang pantas dijadikan representasi tersebut. Ada beberapa alasan mengapa Nietzsche layak dikatakan sebagai ikon seorang filsuf. Satu dari runtutan alasan yang layak untuk digarisbawahi adalah bahwa Nietzsche menekankan etika sebagai penelusuran utama dalam berfilsafat. Etika di sini bukan hanya terbatas pada menentukan baik atau buruknya suatu perbuatan, namun juga pada pertanyaan yang lebih mendalam yakni apa nilai-nilai yang perlu dijadikan pijakan oleh manusia untuk menjalani kehidupan di muka bumi?

Nietzsche seolah-olah hadir di abad modern untuk meluruskan kembali umat manusia pada penelusuran moral sebagai suatu titik tumpu berfilsafat. Hal tersebut berbeda dengan apa yang ia temui pada abad pencerahan hingga kini, yang mana umat manusia bertolak belakang tidak mengindahkan etika sebagai hal yang mendasari hidup. Menjadi wajar apabila umat manusia di era modern tampak kehilangan arah, tidak memiliki pijakan akibat dari ketidak-seriusannya dalam memandang etika sebagai penelusuran utama dalam hidup, serta membentuk nilai-nilai yang mendasari seluruh tindakan dan arah yang menuntun jalan ke masa depan.

Peradaban Yunani Kuno dan Mitologi

Ia menyatakan bahwa manusia modern telah mengalami dekadensi. Dalam karya The Birth of Tragedy, ia memberikan analogi melihat bagaimana peradaban Yunani kuno bisa dijadikan representasi dari suatu peradaban yang menjalani kehidupan berdasarkan nilai-nilai yang mereka ciptakan, membentuk nilai-nilai itu secara totalitas, kemudian menjadikannya pijakan dalam bagaimana mereka menjalani kehidupan.[1] Ia berkata bahwa mitologi Yunani adalah salah satu contoh pembeda budaya Yunani kuno dengan era modern. Mitos adalah salah satu contoh bagaimana peradaban Yunani kuno menerjemahkan alam beserta segala kekuatan material-spiritual yang kemudian mendasari dunia dan menjadi tolak ukur nilai moral mereka.

Bangsa Yunani kuno memuja Apollo dan Dionysius. Dewa Apollo adalah lambang dari keteraturan, harmoni, dan cahaya sementara Dewa Dionysus adalah lambang dari ketidakteraturan, chaos, dan kegelapan.[1] Mereka tidak meniadakan keduanya atau memilih salah satu dari kedua kekuatan dikotomi yang saling berlawanan itu, namun sebaliknya mereka mengafirmasi kedua fenomena berlawanan yang pada kenyataannya termanifestasi dalam bermacam-macam segi kehidupan manusia. Dari situlah mereka menginterpretasi fenomena alam yang pada akhirnya diwujudkan dalam nilai-nilai yang dijadikan pijakan mereka dalam bertindak, direpresentasikan dalam salah satu bentuk berupa mitologi. Pada nilai-nilai yang konkret dan reflektif berdasarkan fenomena alam yang diterimanya secara menyeluruh itulah yang mendasari lahirnya keberagaman budaya mereka seperti budaya berfilsafat yang kita nikmati hingga sekarang.

Peradaban Modern, Positivisme, dan Neoliberalisme

Berbeda dengan era modern, peradaban modern tampak tidak mengindahkan etika sebagai titik tumpu dalam hal yang mendasari hidup. Salah satu fenomena yang dapat dijadikan contoh adalah munculnya paham positivisme yang dikritik oleh Nietzsche yang menjadikan nalar serta ilmu pengetahuan (science) sebagai titik tolak arah berjalannya kehidupan umat manusia dengan anggapan bahwa kebenaran (truth) yang menyebabkan kemajuan serta kebebasan dari umat manusia. Kebenaran dan nalar pada akhirnya meregulasi dan menjadikan pijakan dari lahirnya nilai-nilai modernitas.[2]

Paham ini cenderung sempit dan tidak sepenuhnya meliputi totalitas kehidupan, menjadikan kemajuan ilmu pengetahuan sebagai nilai yang dijadikan tolak ukur untuk memproduksi nilai-nilai kehidupan yang lain, bukan menitikberatkan perolehan nilai dari pemahaman fenomena alam dan keterlibatan manusia sebagai subjek pelaku utama yang dari situlah nilai secara imparsial atau tidak berpihak bisa diperoleh. Kebenaran ilmu pengetahuan, menurut Nietzsche, bukanlah nilai yang seharusnya dijadikan tolak ukur, melainkan alat untuk menunjang nilai lain yang dibentuk oleh manusia seperti pengetahuan di era Yunani Kuno menunjang nilai-nilai budaya dan kehidupan peradaban mereka. Persis seperti ungkapan ia pada karyanya Beyond Good and Evil, “Apa di dalam diri kita yang mendasari kita ingin mencapai suatu kebenaran? Mengapa tidak sebaliknya lebih memilih ketidakbenaran?” Bahwa nilai atau motif untuk mencapai suatu kebenaranlah yang seharusnya selalu direfleksikan ketimbang kebenaran itu sendiri.[3]

Bentuk nilai positivisme yang mendukung sains serta pengagungan nalar manusia diterima baik oleh revolusi industri serta globalisasi di era modern karena kecocokan dan kompatibilitasnya. Kemunculan revolusi industri dan globalisasi tersebut membuat suatu bentuk ekonomi baru berupa ekonomi kapitalisme yang dapat tumbuh dengan subur. Sistem ekonomi kapitalisme memiliki satu tujuan, ialah tidak lain adalah pertumbuhan.[4] Nilai yang bertitik tumpu pada kemajuan ilmu pengetahuan bisa bergandengan erat dengan pertumbuhan ekonomi. Orientasi sistem ekonomi kapitalistik memiliki satu “nilai” ialah pertumbuhan yang dianggap mampu menjadi alat untuk menunjang kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi, akibat dari kehampaan nilai-nilai yang digenggam oleh peradaban modern menyebabkan sistem ekonomi kapitalisme bukan menjadi alat untuk menunjang nilai-nilai tersebut, melainkan menjadi nilai baru yang mendasari modernitas.

Manusia yang tidak mampu menerapkan etika sebagai fondasi kehidupan, atau membentuk nilai-nilainya yang dijadikan pegangan hidup pada akhirnya mau tidak mau menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai tujuan utama dalam tindakan. Sama halnya dengan bangsa yang tidak mampu membentuk nilai-nilainya pada akhirnya mau tidak mau membentuk agenda-agenda yang tujuannya bukan lain adalah pertumbuhan ekonomi. Fenomena tersebut merupakan gambaran dari kemunculan neoliberalisme.[5] Yaitu suatu keadaan ketika nilai-nilai kemanusiaan sudah tidak mampu dikonseptualisasi, melemparkan nilai berupa pertumbuhan ekonomi tanpa batas sebagai tujuan akhir yang menentukan seluruh aspek dalam hidup.

Hal tersebut dapat dianalogikan seperti seorang pemburu yang sedang mencari makan di tengah hutan. Saat berburu, ia memiliki nilai atau tujuan bahwa masuknya ia ke hutan adalah untuk mendapatkan makanan yang menunjang ia supaya bisa mengerjakan hal-hal lain di luar mencari makan. Akan tetapi, dalam perjalanannya ia lupa bahwa masuk ke dalam hutan tujuannya hanya mencari makan. Begitu ia menemui rusa dan memburu rusa, dan mendapatkan daging rusa sebagai makanan, ia terlena akan kelezatan daging rusa yang pada akhirnya memutuskan untuk memburu rusa tanpa henti meskipun ia kenyang karena lupa akan nilai yang menjadikan alasan ia berburu masuk ke dalam hutan yaitu hanya untuk mengisi perutnya yang lapar supaya bisa menjalani aktivitas sepanjang hari.

Bangsa Indonesia

Layaknya seorang individu yang membutuhkan nilai untuk dijadikan dasar dalam bertindak dan berbuat keputusan, bangsa pun memerlukan nilai-nilai yang bertujuan untuk menjadi fondasi berpijaknya arah dari agenda dan masa depan bangsa itu. Sama halnya pula peradaban Yunani kuno membentuk nilai-nilai yang menyebabkan peradaban tersebut tak terlekang oleh sejarah. Selalu ada suatu pelajaran di segi kehidupan mana pun, entah itu mengenai kondisi budaya, perpolitikan, dan seterusnya karena mereka mampu menjalani dinamika kehidupan dengan totalitas berdasarkan nilai-nilai yang dianut oleh mereka.[6]

Apabila kita menelusuri ulang bagaimana Bangsa Indonesia lahir, para pendahulu dan para founding fathers Indonesia telah merenungkan dan menetapkan nilai-nilai yang menjadi tolak ukur tujuan dari dibentuknya Negara Indonesia. Hal tersebut telah tertuang pada bunyi Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi, “…Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial….”[7]

Nilai-nilai tersebut adalah nilai luhur yang berpaku pada kemanusiaan. Kemanusiaan yang menjadi subjek utama menghidupi diri di muka bumi. Upaya-upaya tersebut lebih eksplisit dijabarkan antara lain seperti memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan, perdamaian, dan keadilan sosial. Sama dengan kelima sila yang tertulis pada Pancasila sebagai dasar nilai ideologi Indonesia sebagai bangsa. Namun kenyataannya Bangsa Indonesia masih jauh dalam menerapkan nilai-nilai itu ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Persis ungkapan Soekarno yang menyatakan, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”[8] Melawan bangsamu sendiri berarti bergulat dengan nilai-nilai yang mendasari tujuan bangsa ini dibangun.

Terlepasnya pijakan terhadap nilai-nilai yang mengikat kita di awal sebagai suatu bangsa tersebut akan menyebabkan kita tergelincir menuju jurang dari dekadensi modernitas seperti yang diungkapkan oleh Nietzsche.[9] Dekadensi nilai ialah yang menjadikan faktor eksternal bagi pendewaan pertumbuhan ekonomi dan kemajuan sains. Yang mana kedua hal tersebut merupakan siklus tak berkesudahan yang mengucilkan bahkan menihilkan nilai-nilai kehidupan yang lain. Kedua hal itu yang seharusnya dijadikan sebagai alat untuk menunjang nilai-nilai UUD 1945 serta Pancasila, justru menjadi nilai utama yang dijadikan tujuan oleh bangsa. Maka apabila demikian terjadi, sejatinya Bangsa Indonesia bukanlah bangsa seperti halnya peradaban Yunani kuno yang berdiri di atas nilai-nilainya sendiri, melainkan hanyalah salah satu dari banyak bangsa yang tidak berbeda dengan banyak bangsa lainnya yang Nietzsche sebut sebagai bangsa yang mengalami kemunduran.

Daftar Pustaka

  1. Nietzsche, F. (2000). The Birth of Tragedy. New York: Oxford University Press.
  2. Spinks, L. (2003). Routledge Critical Thinkers: Friedrich Nietzsche. New York: Taylor & Francis Group.
  3. Nietzsche, F. (1966). Beyond Good and Evil: Prelude to a Philosophy of the Future. New York: Random House.
  4. Perelman, M. (2000). The Invention of Capitalism. London: Duke University Press Books.
  5. Harvey, D. (2005). A Brief History of Neoliberalism. New York: Oxford University Press.
  6. Ibid[1].
  7. DPR RI. (2020). Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Retrieved May 10, 2021, from https://www.dpr.go.id/jdih/uu1945
  8. Nasional Kompas. (2020). Maksud Ucapan Soekarno: “Perjuanganku Lebih Mudah…”. Retrieved May 10, 2021, from https://www.kompas.com/skola/read/2020/08/10/083500369/maksud-ucapan-soekarno–perjuanganku-lebih-mudah–?page=all
  9. Ibid[2].
Dzulkarnaen Aziz
Dzulkarnaen Aziz

Mahasiswa koas di FKUI-RSCM. Berfilsafat di waktu luang serta mendalami teknologi dan teori kritis.

satu Respon

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.