Domnatio Memoriae: Kehendak Berkuasa atas Ingatan

Romans Triump and Fiesta Cow karya Anonim
Romans Triump and Fiesta Cow karya Anonim

Melalui bayang-bayang masa lalu, Romawi kuno memiliki istilah domnatio memoriae sebagai “hukuman atas ingatan” yang disahkan menjadi konstitusi. Kebijakan ini dipakai oleh senator untuk mereka-mereka yang tercela serta dilabeli sebagai orang-orang penghianat. Akan tetapi, domnatio memoriae bisa juga dilihat sebagai citra kekuasaan. 

Konon domnatio memoriae menjadi hukuman terberat bagi bangsa Romawi – sebagai skema klasik yang berulang sepanjang sejarah Romawi Kuno. Namun, apakah domnatio memoriae sebagai hukuman atas ingatan dapat begitu saja menghilangkan bekas-bekas ingatan yang ada dalam bangsa Romawi?

Tercatat dengan jelas bagaimana nasib Sejanus yang kejam, Prefek Praetorian Kaisar Tiberius yang jatuh pada tahun 31 Masehi ditandai dengan penghancuran patung-patungnya. “Mereka melempar, memukul, dan menyeret semua patungnya seolah-olah mereka dapat menyakiti si Penghianat…” (Baez, 2013). Tentu, bangsa Romawi melakukan domnatio memoriae sebagai tindakan yang bertujuan agar setiap orang-orang yang dianggap buruk dan jahat perlu dihapus dalam sejarah; dalam ingatan dan realitas.

Secara praktis, hukuman atas ingatan yang dilakukan oleh bangsa Roma Kuno dapat diartikan sebagai bentuk penghancuran pada sesuatu yang memiliki jiwa. Jiwa dianggap sebagai sesuatu yang dapat menjadi penghubung; antara realitas dan ingatan. Itulah mengapa pembakaran, penghancuran, penjarahan, pembatasan dilakukan. Penghancuran ini dilakukan untuk mengembalikan simbol-simbol yang memiliki jiwa, kepada macam bentuk materialitas mendasar dari simbol-simbol yang dihancurkan. Termasuk juga dengan penghancuran, dan penjarahan buku. Tidak lain, untuk mengembalikan buku pada material mendasar yang tidak memiliki jiwa; abu, kertas, atau papirus.

Dalam tarikan sejarah Roma Kuno, kebanyakan dibentuk dan didorong oleh ingatan; dorongan masa lalu leluhur pendahulu untuk merintis kejayaannya sendiri. Dengan demikian, ingatan menjadi hal yang utama bagi bangsa Roma Kuno, melalui lahirnya macam-macam gambar yang direpresentasikan dalam ragam benda mati seperti patung, koin, dan prasasti. 

Akan tetapi, domnatio memoriae juga memiliki paradoksnya sendiri. Selain sebagai hukuman dan upaya untuk mengatur arah peradaban melalui naskah-naskah tertentu yang tunggal, hukuman tersebut juga dilakukan untuk menghapus ingatan bagi masyarakat untuk setidaknya tidak mengingat orang-orang yang notabene dianggap jahat, sesat, dan tidak sejalan dengan kekuasaan. Upaya penghapusan ingatan ini terjadi sebagai proses untuk penyeragaman pikiran dan ingatan. Walaupun sebenarnya domnatio memoriae pada akhirnya justru membawa ingatan menjadi abadi sebagai titik balik untuk mengingat momen penghancuran tersebut.

Domnatio Memoriae Sebagai Kehendak Berkuasa

Sebetulnya, penghancuran buku yang dikenal sebagai bibliosida sulit untuk dimaknai sebagai tindakan yang baik ataupun buruk. Hal tersebut bergantung pada orientasi pelakunya (biblioklas) yang sebetulnya sangat subjektif. Akan tetapi, bagi mereka yang pecinta buku (bibliophilia) pesti akan selalu mengutuk segala tindakan pemberangusan buku. Apapun alasannya.

Penghancuran buku juga seharusnya bisa dimaknai sebagai kehendak berkuasa (the will to power) yang bagi Nietzsche sebagai keadaan yang natural dan monistik (Hardiman, 2004). Kehendak berkuasa inilah yang menjadi unsur terdalam (fundamental aspect) yang hadir dalam aspek intelektualitas sekaligus instingtual manusia. Maka sebetulnya wajar saja penghancuran buku juga dilakukan oleh pemikir-pemikir hebat seperti Rene Descartes (1596-1650) yang meminta kepada setiap pembacanya untuk membakar buku-buku lama, David Hume yang juga meminta kepada setiap pembacanya agar semua buku metafisika diberangus, bahkan Plato yang membakar risalah Democritus (Baez, 2013). Hal tersebut diupayakan untuk mengukuhkan metode pemikiran yang sedang mereka perjuangkan.  

Secara ringkas, beranjak dari Romawi Kuno domnatio memoriae memang sudah banyak dilakukan dalam sepanjang sejarah peradaban umat manusia. Kontradiksi serta paradoks itu terjadi melalui beberapa rekam sejarah seperti Pembunuhan Hypatia seorang pustakawan Alexandria karena dianggap bertentangan dengan doktrin gereja; hilangnya perpustakaan di berbagai belahan dunia; penghancuran buku-buku yang bertentangan dengan kekuasaan; hingga hilangnya ratusan karya Aristoteles. 

Dalam hal ini, domnatio memoriae menjadi sesuatu yang sebenarnya sudah lama terjadi. Jika kembali pada sejarah, fenomena penghancuran buku dari masa-ke masa salah satunya merupakan bentuk rivalitas klasik antara sistem-sistem kebenaran yang berlaku. Terutama juga dengan pertentangan antara mitos dan logos. Penghancuran ini dilakukan oleh kedua belah pihak yang menghendaki kebenarannya masing-masing, dari mereka yang berpijak pada mitos atau kebenaran tertentu, maupun mereka yang berpegangan pada pengetahuan. Begitulah yang terjadi dalam hilangnya naskah Gnostik keagamaan kuno yang percaya bahwa bukan iman yang menyelamatkan. Sebaliknya, pengetahuan-lah yang dapat menyelamatkan. 

Dalam konteks Indonesia, pemberangusan buku maupun bentuk domnatio memoriae sudah menjadi tabiat dari kekuasaan atau organisasi keagamaan tertentu hingga hari ini. Terutama buku-buku kiri di Indonesia di mulai dari zaman Orde Baru yang rutin dilakukan kapan saja. Kehendak berkuasa ini direpresentasikan melalui kekerasan budaya dalam wajah pemerintahan Indonesia yang dengan sengaja mendekonstruksi ingatan masa lalu yang dianggap keliru untuk memproduksi ingatan-ingatan baru. Sejarah yang sengaja direduksi, buku-buku yang sengaja dibakar dan dilarang dalam peredaran menjadi saksi bisu bahwa di Indonesia masih menjadi rumah bagi para biblioklas. 

Catatan Penutup

Domnatio memoriae atau penghilangan ingatan cukup menggambarkan bagaimana ingatan menjadi sesuatu yang berharga dan mampu menjadi senjata. Dengan demikian, kehendak berkuasa memungkinkan kompleksitas ingatan menjadi sasaran demi kepentingan tertentu. Namun kita percaya dengan membaca buku adalah cara terbaik merawat kebenaran bahwa ingatan yang baik selalu bisa terawat dengan baik, sejauh apapun penghancuran buku itu dilakukan, sejauh itu juga ingatan kita lebih mencapai keabadian. 

Tulisan ini ditulis atas dorongan pengalaman pribadi penulis di tahun 2016, sewaktu SMA di salah satu sekolah Islam Terpadu (SMA-IT) pernah mengalami pembredelan buku bacaan ketika menyelesaikan resensi buku yang berjudul Dunia Sophie oleh guru sendiri. Semenjak itu, penulis merasa bahwa ada keadaan yang membingungkan, di mana setiap dari kita dituntut untuk membaca. Akan tetapi, satu pertanyaan yang belum terjawab adalah mengapa bacaan kita justru dibatasi?

Referensi

Baez, F. (2013). Penghancuran Buku dari Masa ke Masa. Tangerang Selatan: Marjin Kiri .

Hardiman, F. B. (2004). Filsafat Modern. Jakarta: Gramedia.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.