fbpx

Schopenhauer, Camus, dan Peterson: Aksio-Ontologis atas Dunia yang Kejam

Kita sering mempertanyakan, “Bagaimana wujud dunia itu sebenarnya atau dunia pada dirinya sendiri? Apakah dunia baik atau kejam?”
Dataran Tinggi Deloun karya Hamid Sardar-Afkhami
Dataran Tinggi Deloun karya Hamid Sardar-Afkhami

Beberapa filsuf sepakat bahwa kehidupan pada dirinya sendiri adalah kejam (ontologis). Hal ini didasari oleh pengalaman langsung mereka sendiri (epistemologis) bahwa dunia memang tidak pernah adil, baik, dan ideal. Hal itu menyebabkan banyak filsuf mengutuk realitas yang apa adanya. Hanya saja, respons dari filsuf-filsuf tersebut tidak pernah sama dalam menanggapi kejamnya dunia (aksiologis). Oleh karena itu, memandang dunia ini sebagai tempat yang kejam dan membuat respons moral atas dunia yang kejam tersebut adalah dua hal yang berbeda.

Kita sering mempertanyakan, “Bagaimana wujud dunia itu sebenarnya atau dunia pada dirinya sendiri? Apakah dunia baik atau kejam?” Hal ini yang sering diperdebatkan oleh banyak orang awam. Bagi para optimis, memandang dunia sebagai tempat yang kejam dan tak layak adalah suatu aib. Sebaliknya, bagi para pesimis, memandang dunia sebagai tempat yang baik dan layak huni adalah suatu aib. Para filsuf bukanlah orang-orang yang berdebat mengenai dunia dalam sisi pada dirinya sendiri atau “keduniaan” itu sendiri. Mereka menyepakati bahwa dunia adalah tempat yang kejam karena memang begitu dunia yang apa adanya. Namun, yang menjadi fokus perdebatan para filsuf adalah respons kita seharusnya dalam menanggapi fakta dunia yang kejam itu: apakah dengan berputus asa dan berlarut-larut dalam fakta tersebut atau, sebaliknya, berusaha melawan fakta itu dan menjalani dunia sekuat tenaga. Ini adalah suatu analisis komparatif untuk melihat dua respons pada satu premis yang sama. Dengan memetakan pemikiran para filsuf tersebut, diharapkan kita dapat mengetahui variasi dalam merespons fakta dunia yang mengenaskan ini.

Filsuf yang Memaki Dunia

Seseorang harus membayangkan bahwa Sisifus selalu dalam penderitaan.

Sisifus adalah salah satu tokoh dalam mitologi Yunani Kuno. Ia dihukum untuk mendorong sebuah batu dan ketika telah sampai di tujuannya, ia harus kembali mendorong batu itu selama-lamanya. Sisifus menjadi populer karena diangkat oleh Albert Camus ke dalam sebuah esainya. Kutipan di awal sebenarnya bukan kutipan yang asli. Kutipan yang asli adalah “Seseorang harus membayangkan bahwa Sisifus bahagia”. Kutipan di awal adalah hinaan kepada filsuf seperti Albert Camus yang dianggap telah membuat suatu respons sia-sia terhadap fakta dunia yang kejam itu. Pada dasarnya, para filsuf yang memaki dunia berbeda dengan Camus saat memandang Sisifus. Camus berusaha memetik sedikit kebahagiaan Sisifus atas kutukannya, yaitu ketika Sisifus ingin sampai di tempat tujuannya dan menjadi sangat bahagia untuk sementara, alasan yang cukup untuk menjadi dalil bahwa dunia layak untuk diperjuangkan. Sedangkan, menurut para filsuf yang berseberangan dengan Camus, seperti Schopenhauer, Sisifus mungkin bahagia, tetapi orang-orang seperti Camus juga harus sadar bahwa kutukannya tidak pernah selesai. Masalahnya bukan Sisifus pernah bahagia atau tidak, melainkan kebahagiaan yang dimiliki Sisifus adalah tipe kebahagiaan yang sementara. Setelah bahagia, ia akan segera melupakan kebahagiaan itu dan harus kembali mendorong batunya. Ini adalah cara memandang hidup dengan melihat dunia secara keseluruhan, bukan dengan potongan-potongan kecil kehidupan seperti dalam pandangan Albert Camus.

Life is not a set, it’s the whole itself.

Beberapa filsuf yang pernah merespons negatif atas keadaan dunia adalah filsuf yang berusaha melihat dunia secara menyeluruh, seperti Schopenhauer. Dia tidak hanya menghina kehidupan itu sendiri, tetapi juga menghina diri manusia yang tidak mampu menjalani kehidupan dengan ideal. Manusia selalu mencari lebih daripada cukup.

Premis dasarnya adalah bahwa setiap orang mungkin memiliki kebahagiaan-kebahagiaan kecil atasnya. Namun, tetap tidak dapat dipungkiri bahwa mereka selalu memiliki kehendak untuk mencari kebahagiaan-kebahagiaan yang lain. Sejatinya, manusia-manusia itu tidak dapat bahagia bukan karena mereka tak bisa mendapatkan suatu kebahagiaan, melainkan karena mereka tak pernah bisa mendapatkan suatu kebahagiaan yang bertahan selamanya. Oleh karena itu, manusia selalu berada dalam pusaran pencarian kebahagiaan. Menurut Schopenhauer, hal itu adalah penderitaan.

“Aku menyesali setiap bentuk kebahagiaan yang terjadi pada diriku karena itu akan berakhir dan aku juga menyesali setiap bentuk kesedihan yang terjadi pada diriku karena itu pernah terjadi.” Arthur Scopenhauer

Aliran Schopenhauerian lebih senang melihat dunia sebagai satu kesatuan yang panjang. Aliran ini memandang bahwa terlahir dalam dunia yang kejam bukan merupakan pilihan pribadi manusia. Namun, manusia justru harus menanggung implikasi berupa upaya untuk mencari kebahagiaan yang tak pernah berhenti. Setiap orang dalam kondisi tertentu pasti pernah sesekali berkata pada dirinya sendiri, “Mungkin aku mengalami sedikit kebahagiaan saat selesai menjalani rutinitas, tetapi aku mulai kembali mengalami kesedihan yang luar biasa ketika ingin memulai kembali rutinitas itu.”

Bukanlah karena kebahagiaan tidak dapat hadir pada dunia ini, tetapi manusia selalu dalam kehausan untuk mencari kebahagiaan yang lain sehingga mencari kebahagiaan itu bukanlah untuk tujuan kebahagiaan itu sendiri, melainkan untuk berpindah dari satu kebahagiaan ke kebahagiaan yang lain. Oleh karena itu, manusia selalu berada pada lingkaran setan dan itu adalah penderitaan sendiri. 

Fakta dunia itu tidak dapat dilawan oleh siapapun, bahkan oleh orang paling bahagia sekalipun, karena ini bukan masalah siapa yang paling bahagia, melainkan siapa yang hidupnya tidak pernah cukup dengan satu kebahagiaan, tentunya tidak pernah ada. Oleh karena itu, bagi para pesimis, memandang kehidupan dunia secara hina merupakan pilihan yang rasional. Bagi mereka, bunuh diri menjadi satu-satunya cara yang mungkin untuk keluar dari lingkaran setan tersebut.

Filsuf yang Melawan Dunia

Para filsuf dengan pandangan yang lain berpendapat bahwa kita tetap dapat membuat satu respons yang berbeda atas keburukan dunia ini dengan tetap menjalani dunia yang kejam dengan apa adanya. Hidup merupakan suatu momen-momen kecil, daripada keseluruhan hidup itu sendiri.

Life is set, not the whole itself.

Albert Camus membuat suatu ilustrasi tentang kehidupan dunia yang kejam lewat pemikiran absurdismenya. Pada dasarnya, kita semua telah dihantui setiap harinya oleh rutinitas yang terus berulang, bahwa hidup selalu berada dalam aktivitas yang absurd. Camus menyerukan kepada manusia untuk tetap hidup dan menikmati kebahagiaan walaupun penderitaan selalu menyelimuti manusia setiap saat. Kenikmatan kebahagiaan, walaupun sedikit, merupakan sebuah karunia.

“Aku mensyukuri setiap bentuk kebahagiaan yang terjadi pada diriku, karena itu pernah terjadi dan aku juga mensyukuri setiap bentuk kesedihan yang terjadi pada diriku karena itu akan berakhir.”

Seorang psikoanalis pragmatisme, Jordan Peterson, juga memandang dunia sebagai tempat yang sangat kejam. Akan tetapi, analisisnya itu tidak membuat dirinya berlarut dalam fakta tersebut. Peterson, bahkan, sangat membenci pesimis seperti Schopenhauer. Menurut Peterson, menjadi anti-life tidak akan mengubah apapun dan tidak akan membuat manusia dapat menerima penderitaan.

Camus dan Peterson memperlihatkan bahwa terdapat kesamaan pendapat dalam merespons dunia yang buruk ini, yaitu dengan cara menjalani kehidupan itu sendiri dengan keberanian. Adalah sebuah pertimbangan kausalitas, sebuah kebahagiaan yang sekiranya dapat kita nikmati di antara keburukan-keburukan yang terjadi, ialah dengan memutuskan untuk terus hidup dan melawan, merupakan hal yang paling rasional untuk dijalani.

Di luar daripada absurdisme sebagai penjelasan realitas pada dirinya sendiri, respons aksiologis yang diberikan Camus adalah pragmatisme. Camus dengan respon pragmatisnya terhadap dunia yang absurd ini, membuka pikiran kita semua untuk menikmati dunia yang kejam, bukan dengan menolak atasnya apalagi lari dari kenyataan seperti Schopenhauer.

Terdapat suatu model berpikir atau bertindak dari seorang manusia di dalam dunia yang buruk dan kejam, yaitu lebih baik menjalani kehidupan dengan dinikmati daripada bermesra-mesraan dengan fakta bahwa dunia bersifat absurd. Model tersebut dijalankan dengan membuat kalkulasi pragmatis. Perhitungan untuk mencapai suatu kebahagiaan yang lebih dapat diadakan melalui ilustrasi pragmatis yang kalkulatif. Seandainya kita menjadi pesimis, nihilis, dan anti-life terhadap kehidupan ini, maka tidak ada akibat yang lebih baik untuk dihasilkan selain kemerosotan kita sebagai pemilik kesadaran.

Kita tidak dapat mengubah fakta bahwa dunia dipenuhi dengan keburukan dan kebanyakan orang hidup di dalam penderitaan. Namun, seperti yang Camus pernah katakan, “Seseorang harus dapat membayangkan bahwa Sisifus bahagia”. Oleh karena itu, selama masih ada kebahagiaan di dunia ini, walaupun hanya setitik, tetap kejarlah sebagai respons pragmatis dari manusia yang rasional.

Peterson juga menambahkan bahwa orientasi para pesimis adalah untuk mengejar dunia dalam konteks kebahagiaan semata. Padahal, menurutnya, kebahagiaan adalah hal yang terlalu rapuh untuk dijadikan tujuan utama dalam kehidupan. Kehidupan adalah tentang tantangan itu sendiri dengan penderitaan dan kebahagiaan sebagai kondisi yang secara ambivalen berada di dalamnya.

Pada dasarnya, kedua aliran di atas sangat kuat dalam setiap argumennya. Mereka telah menghiasi perdebatan atas kehidupan itu sendiri. Para filsuf dapat membuat kesimpulan yang berbeda atas satu masalah yang sama. Tulisan ini sebenarnya hanya ingin menekankan bahwa terdapat banyak filsuf yang telah sepakat akan penderitaan yang terjadi di dunia. Mereka tidak menyangkal hal itu, tetapi terdapat berbagai perbedaan pendapat dalam merespons dunia yang kejam tersebut. Apakah kita harus pesimis atau justru sebaliknya? Hal ini dikembalikan kepada pribadi masing-masing.

Referensi

Camus, A. (2000). The myth of Sisyphus (J. O’Brien, Trans.). Penguin Classics.

Peterson, J. B. (2021). Beyond order: 12 more rules for life. New York, Penguin/Portfolio.

Philosophyinsight (2017). Jordan Peterson: The Collapse of Belief Systems, Nihilism and 

The Way Out. https://youtu.be/k8UTMl3BK80 

Pölzler, T. (2018) Camus’ Feeling of the Absurd. J Value Inquiry 52, 477–490. 

Schopenhauer, A. (2020). On the suffering of the world. London, United Kingdom: Repeater 

Books, an imprint of Watkins Media.

Trogan, C. R. (2013). “Suicide and Freedom from Suffering in Schopenhauer’s ‘Die Welt als 

Wille und Vorstellung’”, Open Journal of Philosophy, 3 (1). 5–8.

Alan Pasaribu
Alan Pasaribu

Mahasiswa Sosiologi dan Pegiat Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci)

One Response

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content