Dune dan Kritik atas Gagasan Kebaikan Melawan Kejahatan

Terdapat harapan emansipatoris yang bisa kita gunakan sebagai cerita yang mengandung pembelajaran untuk memahami bahwa kita tidak akan pernah terselamatkan melalui harapan dan keuntungan palsu.
The Dune. Credit Vanity Fair
The Dune. Credit Vanity Fair

Dune Part Two adalah sebuah sekuel dari Dune (2021) yang diadaptasi dari novel tahun 1965 karya Frank Herbert. Di dalam nya menceritakan Paul Atriedes yang bergabung dengan penduduk Fremen dari planet Arakis yang menyatakan perang melawan House Harkonnen. 

Untuk memulai analisis filsafat pada film Dune Part Two, sebaiknya tonton dulu film Dune. Ada satu cuplikan yang menarik di mana Paul Atriedes yang berusaha melawan House Harkonen menyadari bahwa dirinya ternyata bagian dari House Harkonnen. Hal ini mengingatkan saya pada aforisme Nietzsche yang mengatakan,

He who fights with monsters might take care lest he thereby become a monster….(1886,c4:146)

Dengan kata lain yang berarti berhati-hatilah seseorang ketika melawan monster, jangan sampai ikut berubah menjadi monster juga. Tentunya dengan menambah sedikit perspektif Hegelian yang berarti ketika melawan monster kamu harus berhati-hati, karena tanpa kamu sadari sebelumnya, dirimu juga selalu monster. 

Ini mengartikan bahwa, Paul Atriedes yang melawan sebuah kejahatan, ternyata dirinya juga bagian dari kejahatan itu. Seperti teori kejahatan dalam Hegelian di mana kejahatan ada pada mereka yang baik dan menganggap dirinya paling baik atau secara absolut baik. Inilah yang menjadi titik mitos ideologis utama dari House Atriedes bahwa mereka adalah orang baik yang melawan orang jahat (House Harkonnen). Yang faktanya mereka berdua bekerja atas nama kejahatan dari penguasa Known Universe yaitu Kekaisaran Padishah yang dipimpin Shaddam IV dari keluarga pewaris kekuasaan, House Corrino. 

Itulah mengapa ketika House Atriedes menguasai Planet Dune, mereka percaya bahwa Keluarga Atriedes lebih menguntungkan dan mewakili kepentingan warga lokal. Tetapi secara fundamental mereka masih bekerja atas nama Kekaisaran yaitu ekstrapolasi rempah-rempah yang artinya melakukan opresi terus-menerus terhadap penduduk Fremen. 

Hal ini mirip seperti kritik Slavoj Žižek kepada liberalisme yang baginya adalah kebijakan-kebijakan Sayap Kanan dalam bentuk topeng yang humanis. Yang dalam level kebijakan, mereka yang menentang kebijakan dianggap juga sebagai pendukung kebijakan dengan menekankan nilai persatuan, toleransi dan inklusivitas. Karena itu sekalipun Liberalisme menghadirkan dirinya sebagai oposisi, namun pada dasarnya mereka bertindak dengan mekanisme fundamental yang sama yaitu sebagai bentuk dukungan dan pengabdian pada status quo

Begitu juga yang terjadi di dalam Dune, Keluarga Atriedes meyakini bahwa mereka lebih baik dari keluarga Harkonnen. Namun ada hal yang aneh tentang perseteruan keluarga harkonnen yang begitu jahat dan kejam dan Keluarga Atriedes yang menentang mereka. Paul Atreides kemudian menyadari adanya kebohongan yang mulia  di dalam keluarganya sendiri, serta bagaimana ternyata kedua keluarga ini memiliki kerterjalinan tertentu. Namun yang menjadi poin utama adalah keputusan Kaisar untuk menghabisi keluarga Atreides justru didasari kepada kebingungan ideologis keluarga Atreides yang menyatakan keyakinan bahwa mereka lebih baik, lebih mulia dan lebih tercerahkan daripada keluarga yang lainnya. 

Dan poin penting berikutnya adalah ketika Paul Atreides mengasumsikan identitas Keluarga Atreides sesungguhnya dalam bagian dimana dia menyatakan diri sebagai Messiah layaknya seorang Ubermensch dalam Nietzsche. Dalam momen inilah Paul Atreides seolah telah menjadi Monster Penyelamat. Terlebih ketika Paul Atreides mengenakan cincin simbol keluarganya dan mendemonstrasikan kehebatannya di depan para Fremen. Dapat dikatakan bahwa Paul Atreides tidak sedang membebaskan penduduk Arrakis melainkan mendominasi mereka. Dia tidak berada disana sebagai satu dari sesama mereka, atau yang terbaik di antara mereka, melainkan dia berada di sana untuk menguasai mereka. 

Karena itu perannya semacam terpenuhi di sana. Karena dialah satu-satunya yang oleh Bene gesserit (Perserikatan perempuan terpilih yang merupakan organisasi kuno yang didirikan setelah Butlerian Jihad menghancurkan Robot dan Mesin Cerdas, yang bertujuan meraih kekuatan dan pengaruh dan mengarahkan kemanusiaan menuju masyarakat stabil dan berwawasan) untuk memulai Perang Suci melawan Kaisar Saddham IV agar kekaisaran dapat digantikan dengan bentuk teror yang baru. 

Bentuk pesimisme dalam film ini adalah teror digantikan dengan teror. Menyambung hal ini Žižek memberi pernyataan menarik, bahwa hari yang terpenting bukanlah hari saat revolusi terjadi melainkan, hari setelah revolusi terjadi (Žižek, 2018) di mana seseorang harus menghadapi kemungkinan sesuatu yang baru. Karena untuk menjungkir-balikkan sebuah tatanan yang sudah ada sangat lah mudah, namun untuk benar-benar membuat tatanan yang baru sangatlah tidak mudah. 

Yang menjadi mekanisme utama dari segala tatanan ideologis adalah yang mencakup dan menggabungkan semua yang melakukan penolakan atas ideologi itu sendiri. Dapat kita lihat di sini sebagai bentuk Unity of Opposites, Keluarga Harkonen versus keluarga Atreides, segala daya penolakan dari kedua keluarga ini justru melanggengkan stabilitas dan status quo dari kekaisaran tersebut. Namun dalam tingkatan tertinggi pada tatanan Bene Gesserit memastikan bahwa perlawanan utama melawan kekaisaran hanya berfungsi untuk melanggengkan kepentingan dari Kekaisaran di dalam kedok baru yaitu Paul Atreides sang terpilih. 

Jika sedikit mengulas kembali pada Film The Matrix yang ketiga, Neo menyadari bahwa kehadiran dirinya diperlukan agar dia dapat mengeliminasi sistem yang sudah ada, untuk menyalakan ulang keseluruhan sistem Matrix. Ide utama dari sebuah perlawanan terhadap status quo hanya kemudian berfungsi untuk melanggengkan status quo. Ini berarti secara diam-diam ada hal yang sangat pesimistik tentang cara film ini membingkai ide mengenai perubahan, Dan bagaimana kehadiran ideologi mengenai sang penyelamat ini terlihat mencurigakan.

Film ini seolah berusaha menyampaikan pada penonton bahwa kita tidak boleh mempercayai kehadiran seorang penyelamat tunggal. Mengambil sedikit kutipan dari Bertolt Brecht dalam permainan teatrikal Life of Galileo di mana seseorang mengatakan, “betapa malangnya bangsa yang tidak melahirkan pahlawan”, lalu seseorang lain mengatakan, “Tidak, betapa malangnya bangsa yang membutuhkan seorang pahlawan.” Maka kemalangan ini pula terjadi pada Fremen yang membutuhkan pahlawan, dan juga betapa malangnya kekaisaran yang membutuhkan seorang anti-hero untuk menggantikan Kaisar. 

Karena itu secara fundamental masalahnya adalah tidak ada mekanisme representasi yang mungkin di dalam koordinasi logika pemerintahan dari struktur politik pada kekaisaran tersebut. Maka untuk benar-benar mengganti kekaisaran tidak mungkin hanya sekadar melangsungkan Perang Suci tapi juga memikirkan keseluruhan bentuk dunia baru yang akan menjadikannya sebuah hal yang sangat radikal.  

Yang sangat menonjol secara indah dalam film ini adalah cara menunjukkan dialektika kemungkinan dan dilema dalam gagasan peperangan antara Baik dan Jahat. Kita juga dapat menarik lebih jauh dalam prinsip ideologis dalam Film Hollywood yang selalu menampilkan gagasan si baik melawan si jahat. 

Hayao Miyazaki yang merupakan seorang direktur sekaligus animator legendaris dari Studio Ghibli selalu mengatakan bahwa seseorang tidak hanya harus mampu melihat kebaikan dalam kejahatan tetapi juga kejahatan dalam kebaikan. Hal ini sangatlah krusial karena di dalam ideologi liberal selalu mengatakan bahwa setiap kejahatan dapat ditebus, setiap orang jahat bisa menjadi orang baik seperti yang biasa ditunjukkan dalam film-film barat. Namun sebaliknya justru sangat radikal bahwa akan selalu ada kejahatan di dalam kebaikan. Inilah yang ingin Miyazaki sampaikan bahwa dorongan akan keinginan melakukan kebaikan dapat mengandung suatu kejahatan. Bahkan narasi utama dari bineritas kebaikan-vs-kejahatan merupakan kejahatan. 

Hal inilah yang berusaha disampaikan Denis Villeneuve dalam adaptasi sinematik dari Dune, yaitu berhentilah berpikir dalam bineritas Kebaikan melawan Kejahatan, kita harus mampu untuk menolak gagasan bahwa kita membutuhkan penyelamat. Karena untuk benar-benar diselamatkan kita harus menyelamatkan diri sendiri. kita harus dapat memikirkan dunia di mana perubahan menjadi sesuatu yang harus dapat dicapai. Bahwa kita harus menggapainya sendiri bukan dengan bergantung pada fantasi dan pandangan tentang kehadiran seseorang yang mewakili mimpi kita. 

Karena itu di balik tata fantasi dan fiksi ilmiah Dune, terdapat harapan emansipatoris yang bisa kita gunakan sebagai cerita yang mengandung pembelajaran untuk memahami bahwa kita tidak akan pernah terselamatkan melalui harapan dan keuntungan palsu.

Novan Gebbyano

Anggota Departemen Penelitian dan Pengembangan Lingkar Studi Filsafat Discourse.

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content