Metode fenomenologi dikembangkan oleh Edmund Husserl pada sepertiga pertama abad ke-20. Metode ini dikembangkan oleh filsuf eksistensialis dalam beragam bentuk. Akan tetapi, ada suatu kesamaan pendekatan yang menyatukan ragam pengembangan tersebut, yakni “kesadaran merupakan kesadaran terhadap hal lain selain kesadaran [consciousness is consciousness of an other-than consciousness]”. Dengan kata lain, kesadaran dalam keadaan alamiahnya selalu menuju (bermaksud) kepada yang lain selain dirinya. Bahkan, jika pun ia diarahkan pada dirinya sendiri dengan cara reflektif, kesadaran tetap saja diarahkan pada “other”. Prinsip ini disebut sebagai “intensionalitas”.
Prinsip intensionalitas memberikan signifikansi terhadap permasalahan ganda, antara ideas dalam pikiran dengan dunia eksternal. Keduanya seharusnya tidaklah berbeda. Kita tak memiliki “mata ketiga” untuk membandingkan sesuatu yang ada di dalam pikiran dengan apa yang ada di luar sebagai hal yang sama dengan klaim pengetahuan dunia eksternal. Permasalahan ini sesungguhnya merupakan warisan dari Descartes (1596-1650) dan para pengikutnya. Pencariannya pada keraguan skeptis membawa pada kesimpulan bahwa “he [or we all] was a thinker since doubting was a form of thinking”. Kesimpulan tersebut membawa pada diktum termasyhurnya, “Aku berpikir maka aku ada”. Namun, pemikiran tersebut menjebak seseorang untuk tetap berada di dalam pikirannya. Ia berada dalam permasalahan abadi, terjebak di tengah realitas batin (inner) dan fisik (outer).
Jika dipandang berdasarkan prinsip intensionalitas kesadaran, kesimpulan dari Descartes merupakan suatu permasalahan. Karena kesadaran tidak jelas lagi berada di dalam atau di luar. Setiap tindak kesadaran selalu memiliki satu tujuan (intends) kepada objek di dunia luar. Cara kesadaran mengarah pada objek-objek lain tidaklah sama dengan cara kita memandang, mengingat, atau membayangkan. Kesadaran pada objek lebih pada sifat khas “memaknai”. Oleh karenanya, menjadi sadar dapat dianggap sebagai cara mengada di dunia.
Semisal, kita membayangkan sesuatu—tentunya bayangan itu berada dalam pikiran. Jean-Paul Sartre menunjukkan di awal penelitiannya, bahwa gambaran atau bayangan (images) bukanlah miniatur “yang berada dalam pikiran” untuk diproyeksikan pada dunia eksternal. Di sini, jelas terlihat bahwa ia mengangkat perkara korespondensi antara realitas batin dan fisik. Representasi kesadaran, bagi Sartre, merupakan cara untuk ‘menderealisasi’ dunia persepsi kita yang memanifestasikan ciri khasnya pada deskripsi fenomenologis yang cermat. Jika kita membayangkan sebuah apel yang pernah dilihat, deskripsi cermat terhadap pengalaman pun akan mengungkapkan bayangan yang berbeda dari apel sama yang pernah dilihat. Apa yang kita bayangkan hanya memiliki ciri selama kita memilih untuk memberikan ciri seperti itu. Sederhananya, antara benda dalam ‘bayangan’ dan ‘yang-nyata’ selalu memiliki jarak, tak pernah persis. Gambaran atau bayangan (images) seperti itu tidaklah memberikan kita suatu pengetahuan yang terbaik. Begitu pula dengan tindak kesadaran yang lain. Masing-masing mengungkapkan ciri khas deskripsi fenomenologisnya, yang terbatas.
Kesadaran yang hanya memiliki satu lajur membutuhkan suatu metode untuk sampai pada ciri terdasar objek. Metode deskripsi fenomenologi yang disebut ‘reduksi eidetic’ adalah cara untuk sampai pada esensi dari tiap pengalaman sadar yang berbeda. Pendeskripsi imajinasi dari apa yang terberi (given) pada kesadaran dalam berbagai mode pemberian (giveness) merupakan kesukaan para eksistensialis dalam menyusun argumen konkretnya. Mereka menjadikan prinsip, seperti yang dikatakan Husserl, bahwa metode fenomenologi bukanlah untuk menjelaskan (dengan mencari sebab), namun untuk membuat kita tahu (dengan mengungkapkan esensi).
Sebuah contoh dari argumen fenomenologis Sartre dalam Being and Nothingness, yang (mungkin) bisa dianggap sebagai contoh reduksi eidetik yang kurang teknis. Seorang pengintip melihat lewat lubang kunci, dan pada saat bersamaan tiba-tiba ia mendengar suara langkah kaki. Pada waktu bersamaan, dia mengalami tubuhnya ‘diobjektifikasi’ oleh kesadaran lain, seseorang yang dianggapnya sedang melangkahkan kaki itu. Rasa malunya yang memuncak, wajahnya yang memerah, setara dengan argumen ganda tentang keberadaan pikiran lain dan dirinya yang rentan menjadi objektifikasi dengan cara yang tidak dapat ia kontrol. Rasa malu dan wajahnya yang memerah merupakan dua hal yang berlainan, tetapi sering kali dianggap kesatuan. Meskipun mungkin ia keliru dalam menganggap suara langkah kaki, oleh sebab angin misalnya, merupakan suatu pengalaman yang membenarkan kepercayaan kita perihal pikiran yang bergerak jauh lebih cepat daripada apa pun yang membutuhkan bukti empiris. Contoh ini dapat dianggap sebagai usaha reduksi eidetik yang berhasil. Sartre memberikan gambaran terhadap esensi atau kontur pengalaman yang dapat dimengerti (intelligible contour) dari subjek lain sebagai subjek, bukan sebagai objek semata.
Kekuatan, namun sekaligus menjadi kelemahan potensial dari argumen deskripsi fenomenologis tersebut, yakni argumen itu menempatkan atau mengakhiri suatu argumen di dalam sesuatu yang disebut intelligible contour. Semacam pemahaman langsung dari kehadiran ‘benda itu sendiri (thing it-self), sebagaimana yang dikatakan Husserl. Konsekuensi logis dari deskripsi ketat dari hasil reduksi eidetik itu adalah peneliti akan melihat (esensi itu) sendiri. Kelemahan potensial yang diakibatkan, yakni dalam menanggapi pernyataan orang lain yang “Saya tidak melihatnya”, fenomenolog dapat menjawabnya dengan sederhana “maka, lihatnya lebih cermat”. Namun kenyataannya, sebenarnya kita memahami apa yang dimaksud. Kita tahu dan kita berhasil melihat pola yang tetap dari ‘esensi’ melalui beragam variasi pengalaman atau imajinatif bebas. Argumen melalui percontohan inilah yang tidak sekedar memberikan para eksistensialis cara penalaran konkret yang dicarinya, bahkan mereka menawarkan wujud penalaran melalui sastra, film, dan drama imajinatif.
Para eksistensialis menerima konsep intensionalitas Husserl yang membuka lebar metode deskriptif terhadap pengalaman dan imajinasi. Akan tetapi, mereka menolak unsur lain dari pemikiran Husserl yang tidak memiliki kecocokan dengan pemikiran eksistensialis, yakni metode ‘penangguhan (bracketing)’ keberadaan. Husserl membicarakan sikap natural sebagai tindak deskripsi pra-filosofis dan terkadang naif, menerima dengan tidak kritis, terhadap pengalaman menyehari. Dalam usahanya untuk membuat fenomenologi menjadi ilmu yang ketat, sinonim dengan filsafat itu sendiri, Husserl menegaskan bahwa, dengan fenomenologis, seseorang harus menunda kepercayaan naif dari sikap natural, serta mengabaikan pertanyaan keberadaan atau adanya objek yang telah dideskripsikan secara fenomenologis. Metode ini oleh Husserl disebut sebagai ‘reduksi fenomenologis’ atau penundaan (bracketing/epochē). Dari yang sebelumnya reduksi eidetik, Husserl mengakui bahwa siapa pun dapat melakukan tindak reduksi eidetik meskipun dalam kondisi sikap natural, serta mencapai jenis psikologi eidetik. Dalam artian, siapa pun mampu melakukan tindak reduksi eidetik tanpa kesulitan. Namun, ternyata Husserl meragukan metode awalnya tersebut. Ia menganggap bahwa metode tersebut menyisakan pertanyaan yang meragukan, “apakah yang dideskripsikan adalah benar dengan yang ada di dunia nyata?”. Untuk mengatasi keraguannya, Husserl menambahkan metode ‘penangguhan’. Bagi Husserl, jika kita menambahkan reduksi dan menangguhkan ‘pertanyaan adanya’ objek yang diamati, maka kita sedang melucuti keraguan hingga mampu mencapai ‘realitas yang sesungguhnya’ dengan deskripsi yang kita buat. Dengan tindakan tersebut, kita kesampingkan pertanyaan mengenai apakah objek itu berada ‘in reaility’ atau ‘dalam pikiran’. Inti dari reduksi fenomenologis adalah untuk meninggalkan segala sesuatu sebagai fenomenologi, kecuali keberadaan objek yang tak dapat direduksi, dan sekarang muncullah ‘fenomena’. Penundaan pertanyaan yang ada adalah menunda segala pengalaman dan masing-masing objek yang dimiliki sebelumnya, dan sekarang kesadaran ada sebagai ‘kesadaran yang bertalian langsung’ dengan fenomena. Metode tersebut ada untuk melawan keraguan skeptis – yang muncul sebagai penggerak negatif sejak zaman Yunan – dan menawarkan tindak deskriptif atas fenomena apa pun. Deskripsi sedemikian akan menampilkan perbedaan antara buah apel yang dipersepsi dengan sesuatu yang semata-mata imajinatif. Inilah yang diimpikan oleh Husserl, yakni meyakinkan pengetahuan tentang dunia tidak dengan cara skeptis.
Alasan mengapa filsuf eksistensialis menolak reduksi fenomenologis Husserl, karena tindakan itu membuat hubungan mendasar pada dunia menjadi teoretis, dan bukan praktis. Seolah manusia dilahirkan untuk menjadi ahli teori, lalu belajar tentang praktik. Martin Heidegger adalah salah seorang filsuf yang bersikeras menolak reduksi fenomenologis itu. Ia mempertahankan argumen bahwa manusia secara asali berada di dunia, secara instrumental, dengan kepentingan praktis, dan tugas filsafat adalah untuk menafsirkan kesadaran ‘pra-teoretis’ agar mendapatkan akses ke dalam cara kita mengada. Sartre menyangkalnya dengan bersikeras bahwa bentuk pengetahuan kita adalah sebuah ‘komitmen’. Maurice Merleau-Ponty dengan ‘intensionalitas operatif’ dari tubuh manusia yang hidup, yang berinteraksi dengan dunia sebelum konseptualisasi reflektif. Dan Husserl, pada periode pemikiran selanjutnya, tampaknya juga mengakui klaim-klaim para penyangkalnya dengan memperkenalkan konsep tentang ‘dunia kehidupan (lifeworld)’ sebagai dasar pra-teoretis dari refleksi teoritis.
Objeksi utama para eksistensialis selanjutnya adalah bahwa ada-itu-sendiri (being itself) bukanlah esensi dari subjek untuk direduksi, karena reduksi fenomenologis penuh adalah suatu kemustahilan. Sesuatu yang ‘tak tereduksi’ tidaklah dapat ‘direduksi’. Dengan kata lain, Ada (Being) adalah sesuatu yang primordial. Keberadaan individu melampaui definisinya sendiri, karena definisi hanya menangkap suatu konsep teoretis. Sebagaimana Sartre perlihatkan, bahwa ada ‘fenomena mengada’, seperti pengalaman nausea, yang mengungkapkan bahwa kita ada sebagaimana kita demikian, serta tak perlu untuk menjadi lain (kontingensi). Pengalaman-pengalaman itu bukanlah berada pada tataran kognitif. Lebih dari itu, pengalaman tersebut adalah perkaran kesadaran emosional.
NB: Ulasan atas buku Flynn (2006), Existentialism: A Very Short Introduction.
Tenaga pendidik di salah satu sekolah menengah di Kota Malang. Mahasiswa Pasca Sarjana di Universitas Negeri Malang.
- 21/04/2018
- 02/10/2018
- 15/03/2019
- 27/09/2019