fbpx

Konsekuensi Pragmatik

Bagi pragmatik, benarnya sebuah kalimat tidak bisa begitu saja membuatnya menjadi benar, karena ia mesti memiliki kecocokan dengan realitas.
Richard Rorty
Richard Rorty

Platonis, Positivis, dan Pragmatis

Esai ini merupakan upaya untuk memberikan gambaran mengenai konsekuensi dari teori pragmatik mengenai kebenaran. Teori (pragmatik) ini mengungkapkan bahwa kebenaran bukanlah sesuatu yang patut diharapkan untuk mendapatkan teori menarik yang dibahas secara filosofis. Bagi pragmatik, “kebenaran” hanyalah sebuah properti dari semua pernyataan yang benar yang disampaikan. Pragmatik meragukan mengapa banyak hal yang mesti diucapkan hanya untuk sesuatu yang sifatnya umum. Pragmatik meragukan hal itu dengan alasan yang sama untuk meragukan, mengapa banyak hal yang perlu dikatakan dari sebuah sifat umum yang dibagikan dari sebuah tindakan moral semacam Susan meninggalkan suaminya, Amerika bergabung dalam perang melawan Nazi, dan Socrates tidak mau keluar dari penjara. Pragmatik melihat perbuatan tertentu sebagai hal baik yang dilakukan, namun meragukan segala sesuatu yang secara umum dan berguna untuk mengatakan apa yang membuatnya tampak baik. Penonjolan dari kalimat yang disampaikan merupakan hal yang dapat dibenarkan.  Namun, hal ini tidaklah mungkin bahwa ada sesuatu yang lazim atau berguna untuk dikatakan mengenai apa yang membuat setiap tindakan seperti itu menjadi baik.

Pragmatik berpikir bahwa pemisahan “Kebenaran” dan “Kebaikan” dalam sejarah telah mendukung kecurigaan atas tiadanya sesuatu menarik lagi yang dapat diselesaikan. Atau mungkin juga sebaliknya. Banyak orang tertarik untuk membahas mengenai esensi dari daya dan definisi angka. Mereka mungkin pula menemukan sesuatu yang menarik untuk dibahas mengenai esensi “Kebenaran”. Namun kenyataannya mereka tidak mampu. Percobaan sejarah yang juga melakukan hal tersebut, terutama ini merupakan kritik atas upaya tersebut, itu kira-kira sama luasnya aliran kesusastraan yang kita sebut “filsafat”—sebuah aliran yang didirikan oleh Plato. Pragmatik melihat bahwa tradisi filsafat Platonis untuk memiliki kehidupan lebih lama adalah kesia-siaan. Ini bukan berarti pragmatik menemukan hal baru—non-Platonis yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan aliran Platonis—, akan tetapi mereka lebih menganggap bahwa pertanyaan tersebut tidak perlu dipertanyakan lagi. Ketika pragmatik menyarankan untuk tidak lagi mempertanyakan mengenai hakikat “Kebenaran” dan “Kebaikan”, pragmatik bukan berarti menolak teori mengenai hakikat realitas atau pengetahuan, seperti seseorang yang mengatakan “tidak ada hal-hal seperti ‘Kebaikan’ atau ‘Kebenaran’”. Atau bahkan, pragmatik memiliki teori mengenai “relativisme” atau “subjektifisme” mengenai “Kebenaran” atau “Kebaikan”. Dengan demikian, pragmatik akan dengan mudah tampak seperti mengganti subjek belaka.

Posisi pragmatik dapat dianalogikan sebagai seorang sekularis yang terdorong untuk meneliti tentang “Kodrat” atau “Kehendak” Tuhan yang tidak bisa didapatkan di mana pun. Namun demikian, sang sekularis tidak juga mengatakan bahwa Tuhan tidak eksis. Tepatnya, mereka hanya merasa ketidakjernihan mengenai tindakan tersebut bisa bermakna untuk mengafirmasi eksistensi-Nya, demikian titik penyangkalannya. Kesamaannya, pragmatik terus mencoba mencari cara untuk membuat pendirian yang tidak bernada filosofis dan tak menggunakan bahasa filosofis pula. Di sini, pragmatik ada dalam posisi dilematis; jika mereka menggunakan bahasa yang tidak bernada filosofis, atau terlalu “sastrawi”, mereka akan dituduh mengubah subjek belaka; jika menggunakan bahasa yang filosofis, ini akan mewujudkan asumsi kaum Platonis yang mana akan memungkinkan bagi pragmatik untuk membangun suatu konklusi yang hendak dicapainya.

Semua ini dipersulit dengan kenyataan bahwa filsafat, seperti “kenyataan” atau “kebaikan” pula, itu ambigu. Padahal tanpa pemerian kapital, “kebenaran” dan “kebaikan” hanyalah sebuah properti dari sebuah kalimat, atau dari suatu tindakan dan situasi. Namun dengan pemerian kapital, “Kebenaran” dan “Kebaikan”, merupakan kata ganti objek—tujuan dan standar yang dicintai dengan hati, jiwa, dan pikiran seseorang, sebuah objek yang mendapatkan perhatian besar. Dengan demikian, secara sederhana filsafat dapat bermakna seperti apa Sellars sebut, “sebuah usaha untuk melihat bagaimana sesuatu, dalam kemungkinan maknanya yang paling luas dari sebuah istilah. Pericles, sebagai contoh, telah menggunakan pemaknaan istilah ini ketika ia memuji orang-orang Athena sebagai “berfilsafat secara jantan”. Dalam pemaknaan ini, Blake setara sebagai seorang filsuf dengan Fitche, Hendry Adam lebih filsuf dari Frege. Tidak akan ada yang meragukan mengenai filsafat, jika diambil dari maksud tersebut. Namun kata tersebut bisa juga sebuah menunjukkan suatu spesialisasi, dan memang sesungguhnya sangat meragukan. Pada makna yang kedua, ini dapat berarti mengikuti apa yang dibawa oleh Plato dan Kant, bertanya mengenai hakikat pemikiran normatif tertentu (semacam “kebenaran”, “rasionalitas”, “kebaikan”) dengan harapan mendapatkan kepatuhan lebih baik mengenai norma tersebut. Sebuah gagasan untuk lebih mempercayai kebenaran, melakukan kebaikan lebih, atau dapat menjadi lebih rasional dengan cara mengetahui lebih banyak mengenai Kenyataan, Kebaikan, atau Rasionalitas. Kita mesti mengkapitalkan istilah “filsafat” ketika digunakan dalam makna yang kedua, dalam rangka untuk membantu mendapatkan pokok bahasan dari Filsafat, Kebenaran, Kebaikan, dan Rasionalitas yang saling terhubung dalam pemikiran Platonis. Berangkat dari asumsi tersebut, pragmatik berujar bahwa harapan terbaik untuk filsafat adalah dengan tidak mempraktikkannya. Pragmatik menganggap bahwa berpikir mengenai Kebenaran tidak akan membantu untuk mengatakan sesuatu yang benar, berpikir mengenai Kebaikan tidak akan membantu untuk bertindak lebih baik, demikian juga berpikir mengenai Rasionalitas tidak akan membantu untuk berpikir lebih rasional.  

Sejauh ini, pendeskripsian mengenai pragmatik masih menyisakan perbedaan penting untuk dicatat. Dalam filsafat, selalu ada tradisi perselisihan dalam berpendapat mengenai Hakikat Kebenaran, perselisihan antara dewa dan raksasa (gods and giants). Pada sisi yang lain, ada filsuf, seperti Platon, yang berharap besar pada dunia yang-lain (other-worldly), sebuah obsesi dari harapan besar. Ia terdorong oleh harapan, bahwa manusia memilik suatu kehormatan-diri hanya karena mereka memiliki satu kaki yang berpijak melampui ruang dan waktu. Di sisi lain lagi—terutama sejak Galileo menunjukkan bagaimana ruang dan waktu (spatio-temporal) dapat dijelaskan oleh hukum matematis, yang mana disangka oleh Plato hanya dimiliki oleh dunia yang lain—ada filsuf seperti Hobbes dan Marx yang bersikeras bahwa ruang dan waktu hanya dibuat oleh Realitas yang ada, dan Kebenaran adalah Kesesuaian pada Realitas tersebut (penekanan asli). Pada abad ke-19, perselisihan itu mengkristal antara “filsafat transendental” dan “filsafat empiris”, antara “Platonis” dan “Positivis”. Suatu peristilahan yang kabur, namun setiap intelektual mengetahui betul, kira-kira di mana ia berdiri dalam relasi kedua gerakan tersebut. Bagi kaum transendental, mereka menganggap bahwa natural sains bukanlah paling benar—karena masih ada Kebenaran lain yang mesti ditemukan. Sedangkan bagi kaum empiris, mereka menganggap bahwa natural—kenyataan mengenai bagaimana ruang dan waktu bekerja—adalah tempat Kebenaran itu berada. Satu pihak dengan Hegel dan Green yang telah mengajukan pikirannya bahwa sebuah kalimat normatif mengenai rasionalitas dan kebaikan ialah berkaitan dengan sesuatu yang nyata, namun tidak tampak oleh natural sains. Satu pihak lain dengan Comte dan Mach yang telah mengajukan pikirannya bahwa salah satu dari kalimat seperti itu—normatif mengenai rasionalitas dan atau kebaikan—mesti “direduksi” pada sebuah kalimat mengenai kejadian ruang dan waktu, tanpa perlu subjek yang merefleksikan dengan serius.

Ini penting untuk disadari bahwa para filsuf empiris (positivis) pun masih berfilsafat. Anggapan kaum Platonik yang menyatukan dewa dan raksasa (the gods and the giants), Plato dengan Demokritus, Kant dengan Mill, Husserl dengan Russell, adalah apa yang secara vulgar disebut “kebenaran” (truht)—sebuah kumpulan dari pernyataan benar—mesti dipikirkan sebagai sesuatu yang terbagi ke dalam bagian yang lebih rendah dan yang lebih tinggi, sebuah pembagian antara (dalam peristilahan Plato) opini belaka dan pengetahuan sejati. Ini merupakan kelakuan para filsuf untuk membuatu distingsi yang menyakitkan antara pernyataan semacam “Kemarin hujan” dan “Seseorang harus mencoba untuk bertindak adil dalam tiap urusan mereka”. Bagi Plato, bentuk dari pernyataan demikian memiliki kualitas yang rendah, sebuah harapan belaka (pistis) atau sekedar opini (doxa).

Yang paling akhir merupakan kandidat yang paling masuk akal. Bagi tradisi positivis, yang dilakukan sejak Hobbes sampai Carnap, bentuk sebuah kalimat merupakan sebuah pola sebagaimana Kebenaran dilihat. Namun akhirnya, salah satu dari dari keduanya hanya berarti sekedar prediksi mengenai dampak kausalitas dari kejadian tertentu, atau semacam “pengungkapan emosi” (expression of emotion).

Apa yang dipandang oleh filsuf transendental sebagai spiritual, filsuf empiris melihatnya sebagai emosional. Apa yang dipandang filsuf empiris sebagai pencapaian dari natural sains dalam menemukan hakikat Realitas, filsuf transendental memandangnya sebagai banaustic, sebuah hal yang benar namun tidak berhubungan dengan Kebenaran.

Pragmatisme memotong garis pemisah antara transendental dan empiris, dengan mempertanyakan anggapan sederhana bahwa terdapat suatu pembedaan yang menyakitkan yang seolah menggambarkan macam-macam kebenaran. Bagi pragmatik, benarnya sebuah kalimat tidak bisa begitu saja membuatnya menjadi benar, karena ia mesti memiliki kecocokan dengan realitas. Dan dengan demikian tidak perlu untuk khawatir, kalimat itu termasuk dalam jenis realitas mana, jika demikian, sebuah kalimat yang terberi sudah memiliki kecocokan dengan realitas—tak perlu dikhawatirkan apa yang membuatnya benar. Jadi, pragmatik mengerti bahwa tak ada yang perlu dikhawatirkan mengenai, apakah Plato atau Kant telah benar dalam berpikir bahwa hal-hal non-ruang dan waktu dapat membuat penilaian moral menjadi benar, atau mengenai apakah ketiadaan hal-hal tersebut membuat penilaian menjadi sekedar “pengungkapan emosi belaka” atau “sekedar konvensional” atau bahkan “sekedar subjektivitas”?

Keacuhan di atas menyebabkan cemoohan dari para filsuf—Platonis maupun empiris—pada pragmatik. Kaum Platonis melihat, pragmatik hanyalah sekedar jenis pikiran-kabur (fuzzy minded) dari positivis. Kaum positivis menganggap bahwa pragmatik memberikan bantuan dan kenyamanan pada Platonis dengan menurunkan tingkatan dari distingsi antara Kebenaran Objektif dan kalimat yang kekurangan nilai, berharga hanya ketika “bersesuaian dengan realitas”, yang mana hanya cara tersebut lah yang dapat menstimulasi. Keduanya bersamaan dalam menganggap para penganut aliran pragmatik bukanlah filsuf, pada dasarnya bukanlah filsuf.

Dari sini, kaum pragmatis mencoba membela dirinya dengan berargumen bahwa seseorang bisa saja menjadi benar-benar filsuf dengan cara menjadi anti-filosofis, ini adalah sebuah cara terbaik untuk membuat sesuatu bergantung bersamaan, yakni dengan melangkah mundur dari pokok persoalan antara Platonis dan Positivis, dengan demikian menyerahkan kembali mengenai anggapan dari filsafat.

Satu kesulitan dari pragmatik adalah membuat posisinya jelas, untuk itu, ia mesti berebut dengan positivis untuk mendapat posisi sebagai anti Platonis yang radikal. Pragmatik ingin menyerang Platonis dengan argumen yang berbeda dari positivis, namun dalam sekilas pandang, pragmatik tampak tak ubahnya sebagai varian dari positivis. Pragmatik berbagi, dengan positivis, pikiran Baconian dan Hobbesian bahwa pengetahuan adalah kekuatan. Namun pragmatik membawa inti pemikiran Baconian terlalu ekstrim, yang mana hal ini tidak dilakukan oleh positivis. Pragmatik menjatuhkan pemikiran mengenai kenyataan sebagai kesesuaian dengan realitas sepenuhnya, dan menganggap bahwa sains modern tidak memadai bagi kita untuk mengatasi persesuaian itu.

Argumen pragmatik ini dapat dipandang sebagai suatu usaha yang telah beberapa ratus tahun gagal untuk menarik perhatian mengenai makna dari gagasan “kesesuaian”. Argumen pragmatis mengaggap moral dari sejarah yang menyedihkan ini seperti “pernyataan itu bekerja dengan benar karena sesuai apa adanya” dan ini tidak lebih mencerahkan dari “hal itu benar karena dilakukan sesuai dengan hukum moral”. Kedua ucapan tersebut, di mata pragmatis, merupakan pujian kosong yang metafisis—tak berbahaya, namun menjadi bahaya ketika dianggap serius dan coba dijelaskan secara filosofis.

Ditulis oleh Richard Rorty dalam Consequences of Pragmatism (1982) dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ricky Setya Prayoga.

Tenaga pendidik di salah satu sekolah menengah di Kota Malang. Mahasiswa Pasca Sarjana di Universitas Negeri Malang.

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content