Ide tulisan ini berangkat dari nuansa intelektual yang dibangun oleh kawan-kawan Lingkar Studi Filsafat Discourse (LSFD). Bukan hal yang sepenuhnya baru dan membanggakan, sebetulnya, hanya ungkapan dalam bahasa latin: Ex Philosophia Claritas (dengan/melalui filsafat menuju kejernihan).
Tersirat maksud dari ungkapan tersebut bahwa tidaklah mudah untuk mencapai pemahaman yang jernih, sehingga diperlukan suatu proses serius dalam berfilsafat. Aktivitas ini merupakan siklus yang tak berkesudahan. Jadi, berfilsafat demi menjumpai kejernihan ialah semata untuk kemudian kembali berfilsafat. Tapi agaknya telalu dini untuk disimpulkan demikian. Barangkali apa pentingnya berpemahaman jernih masih perlu direfleksikan kembali sehingga memperkuat keseriusan kita berfilsafat, atau setidaknya dapat membantu kawan pembaca yang baru memulai jalan falsafahnya untuk lebih mengenal orientasi filsafat itu sendiri.
Term “jernih” lebih banyak digunakan sebagai sifat dari air murni yang tidak bercampur atau dikotori zat apapun: bening; bersih; tidak keruh. Menjadi jernih berarti memurni, tidak tercemari. Memiliki pemahaman yang jernih adalah sebuah metafora yang akhirnya menjadi penting, sebab inilah yang memungkinkan akal menangkap informasi, membedah fenomena atau menyelidiki kenyataan dengan hasil yang jernih pula nantinya.
Pemahaman dasar yang jernih memungkinkan akal budi mencuci bersih selubung yang menutupi substansi. Dalam logat filsafat istilah substansi merujuk pada hakikat atau inti dari sesuatu itu sendiri yang menopang semua gejala, sifat atau atribut dan tidak berakar lagi pada lapisan yang lebih mendalam.[1] Tapi persoalan filsafat bukan melulu melihat substansi. Selain bergerak secara deduktif adakalanya dinamika filsafat bergerak secara induktif. Maka, tidak salah juga ketika filsafat dipahami sebagai suatu sikap dewasa dengan pandangan menyeluruh (holistik). Berfilsafat artinya juga membaca seluruh dimensi yang saling berhubungan dan memikirkannya secara mendalam.
Seharusnya ini menjadi kabar baik, bahwa semenjak filsafat ada, manusia yang terberkahi akal budi bisa lebih mudah menjinakkan dua hal yang sama liar: pengetahuan dan kesadaran.
Pengetahuan secara umum ialah apa yang dirumuskan oleh Immanuel Kant sebagai proposisi atau hasil dari transformasi antar subjek-predikat. Misalnya ketika gebetan anda mengatakan, “Kamu terlalu baik buat aku”, kalimat tersebut memenuhi syarat untuk dianggap sebagai pengetahuan. Maka kegiatan mengetahui dapat dipahami sebuah proses untuk mencapai kepercayaan benar yang kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan secara nalar (justified true belief).[2]
Adapun kesadaran berada pada tingkatan yang relatif lebih rumit. Kita biasa membedakan antara kegiatan sadar dan isi/objek itu sendiri. Dalam contoh sebelumnya ketika gebetan mengatakan “kamu terlalu baik buat aku” dan pikiran terfokus pada isi kalimat maka disebut kesadaran langsung. Sedangkan, ketika kita menyadari pengalaman kesadaran itu sendiri maka termasuk kesadaran refleksif. Edmund Husserl dan para fenomenolog pada umumnya menekankan bahwa kesadaran selalu mengarahkan diri pada objeknya yang berupa benda fisik, gagasan, ataupun yang lain. Artinya kesadaran tidak pernah tanpa keterarahan pada objek tertentu.[3]
Jernih adalah tentang menampung pengetahuan dan kesadaran yang berhasil dijinakkan. Karena sulit untuk menampung pengetahuan dan kesadaran yang masih liar. Akal budi dalam segala aktifitas berpikir tidak dapat terlepas dari ide verum (benar-salah), bonum (baik-buruk) pulchrum (bagus-jelek), dan unum (kesatuan utuh universal). Thomas Aquinas menyebut empat hal ini sebagai sifat transendental yang memusatkan tinjauannya pada segala yang “ada”. Sehingga kemudian pembahasan “ada” tersebut dipilah menjadi beberapa pembahasan umum dan ketat: logika, metafisika, etika, dan estetika. Sifat transendental ini menegaskan bahwa filsafat bukan sebuah langkah eksklusif untuk menjadi apa yang disebut pemegang kebenaran. Melainkan ia langkah pasti bagi yang mencintai kebijaksanaan.
Mari simpul dualitas
Dengan mengikat semua dalih
Ex Philosophia Claritas
Dengan berfilsafat aku menjernih
[1] c.a. van Peursen. Orientasi di Alam Filsafat. 1980. Gramedia. Jakarta. Hal 73
[2] Sudharminta. 2017. Epistemologi Dasar. Kanisius. Jakarta. Hal 65
[3] Ibid. Hal 62-63
Pegiat Lingkar Studi Filsafat Discourse yang juga merupakan mahasiswa Psikologi di salah satu universitas di Kota Malang.