fbpx

Hak atas Pendidikan Tinggi sebagai Hak Asasi Manusia

Pemenuhan hak atas pendidikan tinggi tidak sesuai dengan konsepsi hak atas pendidikan tinggi sebagai hak asasi manusia.
John Dewey
John Dewey

Menurut John Dewey, salah seorang filsuf pendidikan, pendidikan merupakan sarana kelangsungan hidup masyarakat. Pendidikan berfungsi untuk mengisi gap pengetahuan tentang pengalaman antara generasi yang baru lahir dengan generasi sebelumnya. Melalui pendidikan, pengalaman-pengalaman di masa lampau dapat terus direkonstruksi dan direorganisasi, sebagai persiapan untuk langkah ke depan. Pendidikan tinggi merupakan salah satu jenjang yang penting sebagai sarana kelangsungan hidup masyarakat sebagaimana disampaikan Dewey. Ini karena pendidikan tinggi tidak sekadar melakukan kegiatan pengajaran, namun juga penelitian dan pengabdian masyarakat. Arti penting itu menurut penulis menjadikan pendidikan tinggi perlu dikaji yang dikaitkan sebagai hak-hak masyarakat.

Dalam Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, disebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Realisasi pemenuhan hak atas pendidikan dilakukan secara berangsur-angsur oleh negara. Saat ini, negara telah menjamin pemenuhan hak atas pendidikan melalui program wajib belajar 12 tahun, yaitu di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Namun di samping jenjang tersebut, pendidikan juga mengenal jenjang pendidikan tinggi. Pada jenjang ini, negara belum mencanangkan adanya program wajib belajar sehingga negara masih belum menanggung pemenuhan hak atas pendidikan tinggi seperti halnya yang berlaku pada pendidikan dasar dan menengah.

Belum sepenuhnya negara menanggung hak atas pendidikan tinggi dapat dilihat dari pembebanan biaya pendidikan tinggi pada masyarakat. Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Modul Sosial Budaya dan Pendidikan 2018, rata-rata keseluruhan biaya pendidikan tinggi tahun ajaran 2017/2018 mencapai Rp 15,33 juta. Kemudian jika mengacu pada pada Badan Pusat Statistik, pendapatan per kapita masyarakat Indonesia adalah 56 juta rupiah per tahun atau dengan kata lain sebesar 4,6 juta rupiah per bulan. Artinya untuk bisa menanggung biaya kuliah, seorang warga Indonesia harus menyisihkan sekitar 28% dari pendapatannya. Tentu jumlah demikian ialah biaya yang besar.

Implikasi atas biaya yang besar untuk dapat mengakses hak atas pendidikan tinggi adalah minimnya partisipasi masyarakat dalam pendidikan tinggi. Pemerintah merilis data bahwa Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi di Indonesia adalah 34,8%. Angka ini masih lebih rendah jika dibanding APK pendidikan tinggi negara-negara tetangga seperti Malaysia (50%) dan Singapura (78%). Perbandingan angka-angka di atas tentu saja perlu, sebab pemerintah Indonesia telah terlanjur membawa bangsa ini ke era persaingan tenaga kerja pada tingkat regional dan global. 

Data BPS per 2019 pun menunjukkan bahwa lulusan perguruan tinggi (sarjana dan diploma) hanya menyumbang 12,57% dari seluruh angkatan kerja di Indonesia yang totalnya berjumlah 136 juta orang. Mayoritas angkatan kerja masih merupakan lulusan SD ke bawah yakni  sebanyak 40,51% dari seluruh jumlah angkatan kerja.

Data-data di atas menunjukkan bahwa keadaan pendidikan tinggi di Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Tiadanya pemenuhan hak atas pendidikan tinggi oleh negara mengakibatkan minimnya partisipasi masyarakat atas pendidikan tinggi, dan minimnya kualitas angkatan kerja yang membuat Indonesia tertinggal dari negara-negara lain. Atas dasar masalah di atas, penulis hendak menyusun artikel ilmiah berjudul Hak Atas Pendidikan Tinggi sebagai Hak Asasi Manusia.

Hak Asasi Manusia

Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa perlindungan terhadap HAM, dimasyarakatkan secara luas dalam rangka mempromosikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia sebagai ciri yang penting suatu negara hukum yang demokratis. Adanya perlindungan dan penghormatan terhadap HAM merupakan pilar yang sangat penting dalam setiap negara yang disebut sebagai negara hukum. Jika dalam suatu negara, HAM terabaikan atau dilanggar dengan sengaja, dan penderitaan yang ditimbulkannya tidak dapat diatasi secara adil, maka negara yang bersangkutan tidak dapat disebut sebagai negara hukum dalam arti yang sesungguhnya.

Hak asasi manusia sering disebut hak kodrat, hak dasar, atau natural rights, human rights, fundamental rights (Inggris), grond rechten, mensen rechten, dan rechten van den mens (Belanda). Menurut Jan Materson dari Komisi HAM Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), dalam Teaching Human Rights, hak asasi manusia adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. Hak asasi memberikan kekuatan moral untuk menjamin dan melindungi martabat menusia berdasarkan hukum, bukan atas dasar kehendak, keadaan, ataupun kecenderungan politik tertentu. HAM tidak tidak terlepas dari adanya pengakuan terhadap adanya hukum alam, yang merupakan suatu konsep dari prinsip-prinsip umum moral dan sistem keadilan dan berlaku untuk seluruh umat manusia.

Secara garis besar perkembangan pemikiran HAM dibagi pada empat generasi. Generasi pertama, berpendapat bahwa pengertian HAM hanya berpusat pada bidang hukum dan politik. Fokus pemikiran HAM generasi pertama pada disebabkan oleh dampak dan situasi Perang Dunia II, totalitarianisme dan adanya keinginan negara-negara yang baru merdeka untuk menciptakan suatu tertib hukum yang baru. Produk hukum HAM pada generasi ini adalah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948.

Generasi kedua, pemikiran HAM tidak saja menuntut hak yuridis melainkan juga hak-hak sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Jadi pemikiran HAM generasi generasi kedua menunjukkan perluasan pengeritan konsep dan cakupan hak asasi manusia. Pada generasi kedua ini lahir dua kovenan, yaitu International Covenant of Civil and Political Rights (ICCPR) dan International Covenant of Economics, Social, and Culture Rights (ICESCR). Kedua kovenan tersebut disepakati dalam sidang umum PBB 1966.

Selanjutnya lahir generasi ketiga dan keempat, sebagai reaksi pemikiran HAM generasi kedua. Generasi ketiga menjanjikan adanya kesatuan antara hak ekonomi, sosial, budaya, politik, dan hukum dalam satu keranjang yang disebut dengan hak-hak melaksanakan pembangunan (the rights of development).

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menjelaskan bahwa, hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, dan pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. 

Jimly Asshiddiqie mengelompokkan empat jenis HAM menurut Undang Undang Dasar Republik Indonesia 1945. Kelompok pertama, kelompok ketentuan yang menyangkut hak-hak sipil yang meliputi sebagai berikut:

  1. Hak hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya;
  2. Hak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat kemanusiaan;
  3. Hak untuk bebas dari segala perbudakan;
  4. Hak kebebasan beragama dan beribadat menurut agamanya;
  5. Hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum;
  6. Hak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan;
  7. Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut;
  8. Hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah;
  9. Hak atas status kewarganegaraan;
  10. Hak bertempat tinggal di wilayah negaranya, meninggalkan, dan kembali ke negaranya;
  11. Hak memperoleh suaka politik;
  12. Hak untuk bebas dari segala bentuk perlakuan diskriminatif dan berhak mendapatkan perlindungan hukum dari perlakuan yang bersifat diskriminatif tersebut.

Kedua, kelompok hak-hak politik, ekonomi, sosial, dan budaya, meliputi:

  1. Hak berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat secara damai dengan lisan dan tulisan;
  2. Hak untuk memilih dan dipilih dalam rangka lembaga perwakilan rakyat;
  3. Hak untuk dapat diangkat menduduki jabatan publik;
  4. Hak memperoleh dan memilih pekerjaan yang sah dan layak bagi kemanusiaan;
  5. Hak untuk bekerja, mendapat imbalan, dan mendapat perlakuan yang layak dalam hubungan kerja yang berkeadilan;
  6. Hak mempunyai hak milik pribadi;
  7. Hak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak dan memungkinkan pengembangan dirinya sebagai manusia yang bersahabat;
  8. Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi;
  9. Hak memperoleh dan memilih pendidikan dan pengajaran;
  10. Hak mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya untuk peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan umat manusia;
  11. Hak atas jaminan penghormatan atas identitas budaya dan hak-hak masyarakat lokal selaras dengan perkembangan zaman dan tingkat peradaban bangsa-bangsa;
  12. Negara mengakui budaya sebagai bagian dari kebudayaan nasional;
  13. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan masing-masing , dan untuk beribadat menurut kepercayaannya itu.

Ketiga, kelompok hak-hak khusus dan hak atas pembangunan :

  1. Hak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk mendapat kesempatan yang sama, terhadap warga negara yang menyandang masalah sosial, masyarakat terasing, dan yang hidup di lingkungan terpencil;
  2. Hak perempuan dijamin dan dilindungi untuk mencapai kesetaraan gender dalam kehidupan nasional;
  3. Hak khusus yang melekat pada diri perempuan;
  4. Hak anak mendapat kasih sayang, perhatian, dan perlindungan orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara bagi pertumbuhan fisik dan mental serta perkembangan pribadinya;
  5. Hak untuk berperan serta dalam pengelolaan dan turut menikmati manfaat yang diperoleh dari pengelolaan kekayaan alam;
  6. Hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat;
  7. Kebijakan, perlakuan, atau tindakan khusus yang bersifat sementara dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan yang sah dimaksudkan untuk menyetarakan tingkat perkembangan kelompok tertentu yang pernah mengalami perlakuan diskriminatif dengan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, dan perlakuan khusus tersebut tidak termasuk dalam pengertian diskriminasi.

Keempat, kelompok yang mengatur mengenai tanggung jawab negara dan kewajiban asasi manusia yang meliputi :

  1. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
  2. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan keadilan sesuai dengan nilai-nilai agama, moralitas, dan kesusilaan, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis;
  3. Negara bertanggung jawab atas perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM;
  4. Untuk menjamin pelaksanaan HAM, dibentuk Komisi Nasional HAM yang bersifat independen dan tidak memihak yang pembentukkan, susunan, dan kedudukannya diatur dengan undang-undang.

Hak Atas Pendidikan Tinggi

Pendidikan tinggi sebagai HAM telah diakui secara internasional dalam Kovenan HAM Internasional 1966 tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International Covenent on Economics, Social, and Cultural Rights), yang kemudian diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dalam UU No. 11 tahun 2005. Pada kovenan tersebut, diatur bahwa:

Pasal 13

Negara Pihak dalam Kovenan ini mengakui bahwa untuk mengupayakan hak tersebut secara penuh:

  1. Pendidikan dasar harus diwajibkan dan tersedia secara gratis  bagi semua orang; 
  2. Pendidikan lanjutan dalam berbagai bentuknya, termasuk pendidikan teknik dan kejuruan tingkat lanjutan pada umumnya, harus tersedia dan terbuka bagi semua orang dengan segala cara yang layak, dan khususnya melalui pengadaan pendidikan gratis secara bertahap; 
  3. Pendidikan tinggi juga harus tersedia bagi semua orang secara merata atas dasar kemampuan, dengan segala cara yang layak, khususnya melalui pengadaan pendidikan gratis secara bertahap;

Menurut Katarina Tomasevski, seorang mantan Special Rapporteur PBB di bidang hak atas pendidikan, bahwa hak asasi manusia adalah penjaga dari terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh pemerintah. Penyangkalan terhadap hak atas pendidikan menjadi pemicu tereksklusikannya seseorang dari kesempatan kerja, marginalisasi ke sektor informal, dibarengi dengan eksklusi dari skema jaminan sosial dan sebagainya. Mengatasi ketimpangan sosial ekonomi dan kesempatan mencari penghidupan yang layak, tidak mungkin dilakukan tanpa mengakui dan memenuhi hak atas pendidikan. Demikian pula banyak problem sosial, ekonomi, budaya dan politik yang tidak dapat dipisahkan, kecuali dengan menyelesaikan persoalan hak atas pendidikan ini, sebagai kunci untuk membuka pemenuhan hak-hak asasi manusia lainnya.

Karena pendidikan merupakan hak asasi manusia, maka adalah menjadi kewajiban negara untuk menghormati (to respect) dan memenuhi (to fulfil) hak sosial, ekonomi, politik merupakan kewajiban atas hasil (obligation to result) dan bukan merupakan kewajiban untuk bertindak (obligation to conduct) sebagaimana pada hak sipil dan politik. Kewajiban negara dalam arti “obligation to result” telah dipenuhi apabila negara dengan itikad baik telah memanfaatkan sumber daya maksimal yang tersedia (maximum available resources) dan telah melakukan realisasi progresif (progressive realization).

Realisasi progresif yang dimaksud adalah pemerintah secara berangsur-angsur terus meningkatkan sumber daya yang ada untuk meningkatkan terus porsi tanggung jawabnya atas perlindungan dan pemenuhan hak atas pendidikan. Hal ini berarti pemerintah sudah seharusnya memberi porsi lebih besar dalam penyelenggaraan pendidikan dibandingkan dengan tanggung jawab yang dipikul oleh warga negara atau masyarakat. Jika perlu, pemerintahlah yang sepenuhnya bertanggung jawab.

Pihak yang memikul kewajiban menegakkan HAM, dalam konteks hak atas pendidikan tinggi negara. Kewajiban negara dalam pemenuhan HAM diatur dalam Pasal 2 ayat 1 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya :

“Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk mengambil langkah-langkah, baik secara individual maupun melalui bantuan dan kerja sama internasional, khususnya di bidang ekonomi dan teknis sepanjang tersedia sumber dayanya, dengan maksud untuk mencapai secara bertahap perwujudan penuh dari hak-hak yang diakui oleh Kovenan ini dengan cara-cara yang sesuai, termasuk dengan pengambilan langkah-langah legislatif”.

UUD 1945 pun secara tersirat mengatur tentang hak atas pendidikan tinggi. Dalam pasal 31 ayat (1) UUD 1945, berbunyi ketentuan, “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.” Frasa yang dimaksud tidak diperinci pada jenjang pendidikan yang mana sehingga hal ini bersifat umum mulai dari pendidikan dasar, menengah, dan pendidikan tinggi. Adapun hak ini lahir dari tujuan negara yang diamanatkan pembukaan UUD 1945, “mencerdaskan kehidupan bangsa.”

Perihal frasa “mencerdaskan kehidupan bangsa,” Mahkamah Konstitusi pernah menafsirkan hal tersebut sewaktu pengujian UU Badan Hukum Pendidikan. Mahkamah berpendapat sebagai berikut:

“Para pendiri republik tercinta ini dengan arif dan bijaksana menentukan keharusan pemerintah negara ini selain melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, juga membebankan tugas kepada pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, sebagaimana yang tertera di dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945.”

“Tanggung jawab negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa justru memberikan kewenangan kepada negara untuk mengatur berbagai aspek yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan baik menyangkut sistem maupun penganggarannya.”

Dalam penerapannya, pemerintah tidak harus menanggung seluruh pembiayaan atas penyelenggaraan pendidikan. Sebagian beban ini kemudian dilimpahkan kepada masyarakat, entah itu peserta didik, orang tua peserta didik, maupun pihak-pihak lain seperti hibah dan kerja sama dari dunia usaha. Hal ini terkesan seperti mengurangi tanggung jawab negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Mahkamah Konstitusi punya pendapat untuk hal ini:

“Mencerdaskan kehidupan bangsa tidaklah identik dengan ditanggungnya seluruh biaya pendidikan oleh negara dengan menolak peran serta dan kepedulian masyarakat atas pendidikan, karena pandangan demikian sama halnya dengan menempatkan negara sebagai satu-satunya institusi yang dapat mengatur, menentukan seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara dengan mengeliminasi potensi dan sumber daya masyarakat yang pada gilirannya akan memasung dan mematikan potensi, kreasi, dan sumber daya dari masyarakat. Pelibatan dan pemberdayaan masyarakat telah sejalan dengan nilai-nilai demokrasi modern. Sentralisme justru kontra produktif dengan nilai-nilai demokrasi yang berarti kembali ke etatisme, sesuatu yang telah ditinggalkan dan ditanggalkan oleh negara-negara penganut demokrasi modern seperti Indonesia. Oleh karena itu, dalam memaknai tanggung jawab negara atas pendidikan tidaklah berarti menolak peran serta dan sumbangsih masyarakat demi pemajuan dan kemajuan bidang pendidikan.”

Mahkamah Konstitusi selaku penafsir UUD 1945 ternyata menyatakan bahwa melimpahkan sebagian beban pembiayaan pendidikan kepada masyarakat tidaklah bertentangan dengan UUD 1945. Namun hal ini bukan berarti bahwa beban tersebut harus ditanggung masyarakat dalam jumlah yang besar hingga memberatkan masyarakat itu sendiri. Negara harus tetap bertanggung jawab dalam memenuhi hak atas pendidikan. Berikut pendapat MK:

“Tugas mencerdaskan kehidupan bangsa dihubungkan dengan fungsi perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia, termasuk hak untuk mendapat pendidikan, sebagai tanggung jawab negara terutama pemerintah, sesuai dengan ketentuan Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945, sebagai suatu tugas publik.”

Ini artinya UUD 1945 melalui tafsir MK mengakui bahwa pemenuhan hak atas pendidikan, termasuk pendidikan tinggi merupakan bagian dari pemenuhan hak asasi manusia. UUD 1945 sebagai hukum tertinggi haruslah menjadi acuan bagi peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, termasuk undang-undang. Dalam hal ini maka Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi harus menjamin pemenuhan hak atas pendidikan tinggi sebagai hak asasi manusia.

Undang-Undang Pendidikan Tinggi dari Perspektif Hak Atas Pendidikan Tinggi sebagai Hak Asasi Manusia

Undang-Undang Pendidikan Tinggi adalah landasan hukum penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia. Dalam Pasal 1 angka 2 Pendidikan Tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program diploma, program sarjana, program magister, program doktor, dan program profesi, serta program spesialis, yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia. 

Tanggung jawab negara dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi terwujud dalam Pasal 7 ayat (1) yang menyatakan bahwa Menteri bertanggung jawab atas penyelenggaraan Pendidikan Tinggi. Penulis menemukan beberapa bentuk tanggung jawab negara dalam memenuhi hak atas pendidikan tinggi. Hal ini seperti yang diatur dalam Bagian Ketujuh tentang Kemahasiswaan, Paragraf 2 tentang Pemenuhan Hak Mahasiswa, pada Pasal 76. Dalam ketentuan tersebut disebutkan bahwa pemenuhan hak atas pendidikan tinggi diberikan pada mahasiswa dalam bentuk beasiswa, bantuan, dan pinjaman:

(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Perguruan Tinggi berkewajiban memenuhi hak Mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi untuk dapat menyelesaikan studinya sesuai dengan peraturan akademik. 

(2) Pemenuhan hak Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara memberikan: 

  1. Beasiswa kepada Mahasiswa berprestasi; 
  2. Nantuan atau membebaskan biaya Pendidikan; dan/atau 
  3. Pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi setelah lulus dan/atau memperoleh pekerjaan. 

Lantas bagaimana dengan mahasiswa yang kurang mampu? Dalam hal ini, biaya yang ditanggung oleh mahasiswa dalam konteks perguruan tinggi negeri (PTN), haruslah disesuaikan dengan kemampuan ekonominya. Hal ini sebagaimana diatur dalam ketentuan berikut:

Pasal 88

(3) Standar satuan biaya operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai dasar oleh PTN untuk menetapkan biaya yang ditanggung oleh Mahasiswa. 

(4) Biaya yang ditanggung oleh Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus disesuaikan dengan kemampuan ekonomi Mahasiswa, orang tua Mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya. 

Berbagai upaya di atas yang dilakukan pemerintah dalam memenuhi hak mahasiswa atas pendidikan tinggi, seperti penetapan biaya, beasiswa, bantuan, hingga pinjaman, tentu merupakan langkah yang patut diapresiasi. Akan tetapi ketentuan-ketentuan di atas masih mengandung beberapa kelemahan jika ditinjau dari pemenuhan hak atas pendidikan tinggi sebagai hak asasi manusia.

Pertama, perihal pembedaan perlakuan hak mahasiswa di perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS). Dalam Pasal 88 ayat (4) ada ketentuan bahwa mahasiswa di PTN dibebankan biaya sesuai kemampuan ekonominya. Dalam implementasinya, di PTN terdapat sistem biaya kuliah bernama Uang Kuliah Tunggal atau UKT yang menetapkan tarif biaya kuliah berdasarkan golongan-golongan dari kemampuan ekonomi mahasiswa. Mahasiswa dengan kemampuan ekonomi rendah dikenakan tarif golongan rendah yang murah, dan sebaliknya untuk yang kemampuan ekonomi tinggi mendapat tarif UKT yang tinggi pula. Hal demikian tidak berlaku di PTS. Mahasiswa yang berkuliah di PTS tidak mendapat subsidi dari negara sehingga tidak ada penggolongan tarif seperti yang ada di PTN. Bahkan kuliah di PTS selalu mendapat stigma bahwa siap membayar mahal.

Padahal PTS termasuk yang cukup besar dalam menyumbang angka partisipasi pendidikan tinggi di Indonesia. Di lingkungan Kemdikbud misalnya, jumlah PTS adalah 3104, serapannya sebanyak 3.938.308 mahasiswa. Lebih dari separuh Angka Partisipasi Pendidikan Tinggi berasal dari mahasiswa di PTS. Jika pemerintah menginginkan peningkatan partisipasi dalam jumlah yang signifikan, maka harus ada perhatian yang serius di aspek tarif uang kuliah yang mahal di PTS ini.

Sekalipun tidak ada ketentuan yang spesifik bagaimana UU Pendidikan TInggi menjamin mahasiswa dari golongan ekonomi tidak mampu untuk dapat berkuliah di PTS, namun ada satu ketentuan yang bisa dijadikan pijakan. Dalam Pasal 3 UU Dikti, dikatakan bahwa pendidikan tinggi berasaskan, salah satunya yaitu huruf i, asas keterjangkauan. Dalam bagian Penjelasan, dikatakan bahwa Yang dimaksud dengan “asas keterjangkauan” adalah pendidikan tinggi diselenggarakan dengan biaya pendidikan yang ditanggung oleh mahasiswa sesuai dengan kemampuan ekonominya, orang tua atau pihak yang membiayainya untuk menjamin warga negara yang memiliki potensi dan kemampuan akademik memperoleh pendidikan tinggi tanpa hambatan ekonomi.

Ketentuan ini karena berlaku sebagai asas, maka diperuntukkan bagi perguruan tinggi terlepas dari itu berstatus PTN atau PTS. Artinya, mahasiswa di PTS seharusnya juga mendapat perlindungan secara hukum untuk menanggung biaya pendidikan sesuai dengan kemampuan ekonominya. Harus ada peraturan yang lebih rinci tentang sistem tarif uang kuliah yang berkeadilan di PTS. Hanya karena PTS itu tidak disubsidi negara, bukan berarti mahasiswanya menjadi luput dari perlindungan hak atas pendidikan. Mahasiswa di PTS juga warga negara yang berhak dilindungi seperti halnya mahasiswa di PTN.

Kedua, UU Dikti hanya mengatur pemenuhan hak atas pendidikan tinggi bagi mahasiswa, namun bukan bagi tiap warga negara. Ketentuan dalam Pasal 76 maupun Pasal 88 tentang biaya kuliah sesuai kemampuan, beasiswa, bantuan, dan pinjaman untuk mahasiswa, diperuntukkan dalam rangka pemenuhan hak atas pendidikan bagi mahasiswa. Itu artinya hak ini tidak ditujukan bagi seluruh masyarakat, melainkan hanya mahasiswa saja. 

Dalam Pasal 1 angka 16, disebutkan bahwa yang disebut Masyarakat adalah kelompok warga negara Indonesia nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang Pendidikan Tinggi. Penekanan frasa di situ adalah “perhatian” dan “peranan”. Itu artinya UU Pendidikan Tinggi tidak menempatkan masyarakat atau warga negara sebagai subjek yang berhak atas pendidikan tinggi. Hal ini korelatif dengan Pasal 76 dan Pasal 88 yang memang menunjukkan bahwa upaya pemenuhan hak hanya diberikan pada mahasiswa, bukan pada setiap warga negara.

Konstruksi hukum UU Pendidikan Tinggi di atas bertentangan dengan konsepsi hak atas pendidikan tinggi sebagai hak asasi manusia. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 13 Kovenan HAM Internasional 1966 tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, bahwa Pendidikan tinggi juga harus tersedia bagi semua orang secara merata atas dasar kemampuan, dengan segala cara yang layak, khususnya melalui pengadaan pendidikan gratis secara bertahap. Bertentangan pula dengan tafsir MK bahwa negara harus bertanggung jawab atas pemenuhan hak atas pendidikan sebagai hak asasi manusia sebagai suatu tugas publik.

Semestinya jika mengacu pada konsepsi hak atas pendidikan tinggi sebagai hak asasi manusia, maka setiap warga negara apakah itu berkuliah di PTN atau PTS sama-sama mendapat perlakuan yang sama dari negara. Apakah itu berupa pembebasan biaya pendidikan (gratis), ataupun beban biaya yang lebih besar yang ditanggung negara.

Realitanya saat ini, beban biaya yang ditanggung oleh mahasiswa cenderung lebih besar daripada beban yang ditanggung negara. Sebagai contoh dalam rencana strategis (renstra) yang disusun MWA Unair untuk 2016-2020, proporsi pendapatan Unair adalah 35,95% dari Jasa Layanan Pendidikan, 50,22% adalah Pendapatan dari Pemerintah (BOPTN), serta 13,83% dari unit usaha Unair. Pada tahun 2020 Unair menargetkan pendapatan dari Jasa Layanan Pendidikan sebesar 40%, Pendapatan dari Pemerintah (BOPTN) sebesar 35%, Unit Usaha Unair sebesar 25%. Di PTN BH yang lain seperti ITB di dalam renstranya memberi target bahwa pemasukan dana yang berasal dari mahasiswa dalam jangka waktu 2016-2020 menjadi sumber pendanaan dengan porsi paling besar. Dalam renstra mereka tertulis, “Dana dari masyarakat diperoleh dari Uang Kuliah Tunggal (UKT). Perolehan dana dari masyarakat ini merupakan target porsi terbesar dalam rencana pendanaan ITB.” Selain itu, UI sebagai PTN BH juga mendapat pemasukan terbesar dari mahasiswa melalui biaya pendidikan. Misalnya pada tahun 2017, sumber pendanaan UI dari biaya pendidikan mencapai 41%, pemasukan dari pemerintah melalui BPPTN-BH adalah 17% dan dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) sebesar 10%, sisanya 32 % didapat dari biaya non pendidikan. Jika mengambil contoh pada PTS, maka dapat dipastikan bahwa sumber pendanaan perguruan tinggi yang terbesar adalah dari uang kuliah mahasiswanya, dan tidak ada yang dari negara. UU Pendidikan Tinggi tidak mengatur berapa porsi yang seharusnya dibebankan kepada negara, agar jangan sampai beban negara justru lebih kecil daripada masyarakat.

Jika dikaitkan dengan HAM, maka penegakan HAM pada bidang pendidikan tinggi diperlukan adanya pemerataan, dalam pengertian memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang untuk dapat mengikuti pendidikan. Negara melalui Pemerintah sebagai penanggung jawab penyelenggaraan pendidikan tinggi memiliki peran untuk melakukan intervensi agar pendidikan tidak semakin mahal. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Dewi Sri Sotijaningsih:

“Mengenai intervensi pemerintah dalam pegendalian pasar. Kaitannya dengan salah satu hukum ekonomi yakni hukum permintaan dan penawaran. Apabila mekanisme tersebut diterapkan di sektor pendidikan, maka subsidi yang diberikan pemerintah akan meningkatkan permintaan yang dalam pendidikan adalah peserta didik. Dengan subsidi akan meningkatkan daya beli masyarakat terhadap pendidikan yang berupa biaya pendidikan harus dikeluarkan. Dalam hal ini subsidi bisa dialokasikan kepada penyelenggara pendidikan sebagai penyedia/supplier maupun langsung kepada para peserta didik sebagai konsumen yaitu murid di tingkat pendidikan dasar sampai menengah atau kepada mahasiswa untuk tingkat pendidikan tinggi. Apabila subsidi dialokasikan kepada penyelenggara pendidikan, maka supply atau penawaran akan meningkat karena biaya yang ditanggung oleh penyelenggara sebagian akan ditanggung oleh pemerintah, demikian pula sebaliknya, apabila dialokasikan kepada masyarakat/peserta didik, maka subsidi akan mengurangi biaya yang harus dikeluarkan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa subsidi untuk sektor pendidikan akan meningkatkan partisipasi terhadap pendidikan karena subsidi pendidikan akan menurunkan “harga” atau mengurangi biaya yang harus ditanggung baik oleh penyelenggara pendidikan maupun oleh peserta didiknya.”

Intervensi di atas dengan demikian mensyaratkan perubahan peraturan perundang-undangan yakni UU Pendidikan Tinggi. Perubahan itu mencakup pada aspek pewajiban bagi pemerintah untuk menanggung beban biaya yang lebih besar dari masyarakat dalam memenuhi hak atas pendidikan. Oleh karena itu perlu perubahan paradigmatik terkait tanggung jawab negara dalam pendidikan dan hal itu hanya dapat dilakukan melalui perubahan yang juga paradigmatik dalam peraturan perundang-undangan terkait.

Pemenuhan hak atas pendidikan tinggi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi tidak sesuai dengan konsepsi hak atas pendidikan tinggi sebagai hak asasi manusia, sebagaimana diatur dalam Kovenan Internasional tentang Ekonomi, Sosial dan Budaya 1966 dan UUD 1945. Undang-Undang Pendidikan Tinggi tidak mengatur jaminan pemenuhan hak atas pendidikan tinggi bagi setiap warga negara, melainkan hanya pemenuhan hak bagi mahasiswa saja. Pemenuhan hak yang diatur pun dilakukan secara membeda-bedakan antara mahasiswa di PTN dan PTS. UU Pendidikan Tinggi juga tidak mengatur berapa porsi tanggung jawab pembiayaan yang seharusnya dibebankan kepada negara, sehingga malah yang terjadi adalah masyarakat justru menanggung porsi biaya lebih besar.

Daftar Pustaka

Asshiddiqie, Jimly, 2011, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Rajawali Press.

Dewey, John, 1916, Democracy and Education : Introduction to the Philosophy of Education, USA: Macmillan.

Effendi, Mashyur, 1994, Dimensi Dinamika Hak Asasi Manusia, Jakarta: Ghalia.

Komnas HAM, 2005, Pendidikan Untuk Semua (Advokasi Terhadap Kebijakan Pendidikan Nasional), Jakarta.

Tim ICCE UIN Jakarta, 2003, Civic Education : Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta: Kencana.

Jurnal

Indriyani, Dina, “Hak Asasi Manusia dalam Memperoleh Pendidikan”, Jurnal Pendidikan Politik, Hukum, dan Kewarganegaraan, Vol. 7, No.1, Tahun 2017.

Lisanawati, Go, “Pendidikan Tentang Pencegahan Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Dimensi Kejahatan Siber”, Jurnal Ilmu Hukum Pandecta Vol. 9 No.1 Januari 2014.

Nalle, Victor Immanuel Williamson, “Mengembalikan Tanggung Jawab Negara dalam Pendidikan”, Jurnal Konstitusi, Volume 8, Nomor 4, Tahun 2011, hal 24.

Rositawati, Tita, “Konsep Pendidikan John Dewey”, Jurnal Tabir, Volume 02 No. 2 Agustus 2014.

Salfutra, Reko Dwi, “Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Filsafat Hukum”, Jurnal Hukum Progresif, Volume XII, No.2, Desember 2018

Skripsi dan Tesis Perguruan Tinggi

Saputra, Adhi Bangkit, 2017, Konstitusionalitas Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi di Indonesia (Tinjauan Atas Konsep Otonomi Pengelolaan Perguruan Tinggi Bidang Non- Akademik), Skripsi Fakultas Hukum Unsoed, Purwokerto.

Sotijaningsih, Dewi Sri, 2003, Analisis Otonomi Perguruan Tinggi Negeri Menyongsong Penerapan Paradigma Baru Di Pendidikan Tinggi : Studi Kasus 4 Perguruan Tinggi-Badan Hukum Milik Negara/PT-BHMN, Tesis, Universitas Indonesia.

Putusan Pengadilan

Putusan Mahakamah Konstitusi Nomor 012/PUU-III/2005 Tentang Pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2004 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2005 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 11-14-21-126-136-PUU-VII-2009-Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan dan Undang-Undang Sistem  Pendidikan Nasional.

Situs Internet

Badan Pusat Statistik

https://www.bps.go.id/statictable/2015/09/14/1839/jumlah-perguruan-tinggi-mahasiswa-dan-tenaga-edukatif-negeri-dan-swasta-di-bawah-kementrian-pendidikan-dan-kebudayaan-menurut-provinsi-2013-2014-2014-2015.html

CNN

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190206161843-532-366859/rata-rata-pendapatan-orang-indonesia-rp56-juta-per-tahun

Kata Data

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/07/10/berapa-rerata-biaya-kuliah-di-indonesia

Kata Data

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/05/22/lulusan-sd-masih-mendominasi-angkatan-kerja-di-indonesia

Kontan

https://nasional.kontan.co.id/news/jumlah-siswa-yang-lanjut-perguruan-tinggi-di-indonesia-tertinggal-jauh-dari-tetangga

Majelis Wali Amanat Unsur Mahasiswa Universitas Indonesia

http://mwaum.ui.ac.id/bk/ui-punya-uang-uangnya-dari-mana-dan-ke-mana-ya/

Universitas Airlangga

http://unair.ac.id/site/article/read/246/rencana-strategis.html

Sandy A Pristantyo

Peneliti di Lembaga Riset dan Inovasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content