fbpx

Hak Menguasai Negara atas Tanah di Indonesia dan Paradoks Kedaulatan Negara

Negara Indonesia: kaya, agraris, maritim, atau sekadar retorika kosong?
Hak Menguasai Negara atas Tanah di Indonesia dan Paradoks Kedaulatan Negara
Dibuat oleh AI

Sejak mengenyam pendidikan formal mulai dari Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas, kita selalu disuapi pernyataan-pernyataan yang terdengar baik tentang Indonesia. Indonesia adalah negeri agraris yang indah dan kaya akan sumber daya alam. Negeri maritim yang terdiri dari banyak pulau, rukun dan kaya akan keberagaman serta pernyataan-pernyataan baik lainnya. “Negeri cantik nan kaya di timur”1 demikian ucap pelaut Eropa abad 18. Namun, apakah kita pernah mempertanyakan kebenaran dari pernyataan-pernyataan tersebut? Benarkah Indonesia adalah negeri agraris sekaligus maritim yang kaya dan rukun?

Membincang terkait kekayaan alam agraris dan kemaritiman berarti membincang tentang konsep agraria. Agraria dalam arti sempit menurut Subekti dan R. Tjitrosoedibio adalah urusan tanah dan segala apa yang ada di dalam dan di atasnya.2 Sedangkan agraria dalam arti luas menurut Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 adalah bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Hidup, tumbuh dan berkembangnya manusia tidak bisa terlepas dari unsur keagrariaan. Dimulai dari bagaimana manusia membentuk kebudayaan, sistem sosial, politik, dan ekonomi tidak bisa terlepas dari sumber daya alam yang tersedia dan kondisi geografis tempat manusia itu sendiri hidup. Singkatnya, sektor agraria adalah sektor yang penting dalam kehidupan manusia.

Hubungan antara manusia Indonesia3 dengan tanahnya—dalam arti agraria—banyak diteliti dan dikaji oleh para antropolog dari Belanda seperti Snouck Hurgronje, Ter Haar, dan Van Vallenhoven. Gagasan-gagasan para anthropolog ini juga yang kemudian banyak dijadikan sumber asas dan pembentukan kebijakan tentang agraria di Indonesia.4 Snouck Hurgronje, dalam bukunya De Atjehers melihat bahwa Bumiputera atau masyarakat Indonesia mempunyai hubungan yang sifatnya khusus dengan tanahnya yang kemudian ia sebut sebagai adat recht atau hubungan adat.

Konsep hubungan adat ini kemudian dielaborasi lebih jauh oleh Van Vallenhoven dalam bukunya yang berjudul “De Indonesiers en zijn grond”. Salah satu konsep terkenal dari Van Vallenhoven adalah beschikkingsrecht. Dalam bukunya, Van Vallenhoven menjelaskan bahwa, beschikkingsrecht adalah ajaran filosofis hubungan manusia Indonesia dengan tanahnya.5 Van Vallenhoven hendak menyatakan bahwa hubungan antara manusia dan tanah itu bersifat abadi yang kemudian ia sebut sebagai hubungan religio-magis.6 Hubungan yang bersifat religio-magis berarti bahwa, tanah dipandang sebagai benda tetap yang berjiwa dan ber-roh disertai kekuatan ghaib, maka harus dikuasai oleh manusia dengan penuh rasa hormat. Jadi, terdapat hubungan dialogis atau dua arah antara manusia sebagai mikrokosmos dan tanah sebagai makrokosmos dalam upaya mencapai keteraturan. Menurut Van Vallenhoven, pandangan filosofis masyarakat adat terkait tanah banyak terpengaruh oleh tradisi Buddhisme. Bahwa dalam upaya manusia menggapai kebahagiaan, harus terdapat harmoni atau keteraturan antara menusia dan alam (termasuk di dalamnya tanah).

Berangkat dari penelitian antropologi Van Vallenhoven tersebut, konsep Domein Verklaring, yaitu asas yang menyatakan bahwa jika tanah tidak memiliki alas hak, maka tanah tersebut menjadi tanah milik negara,tidak diterapkan dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria karena bertentangan dengan beschikkingsrecht. Negara hanya memiliki hak menguasai tanah, bukan memiliki.7 Sebaliknya, masyarakat adat atau warga negara Indonesia berhak untuk menempati lahan di mana pun selama lahan tersebut belum dimiliki.

Perlu ditegaskan, bahwa hak menguasai negara atas tanah berbeda dengan Hak Milik atas tanah. Hak menguasai negara atas tanah berarti negara hanya berwenang untuk mengatur dan menyelenggarakan peraturan terkait peruntukan, persediaan, penggunaan, pemeliharaan, dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, luar angkasa, dan sumber daya alam yang ada di dalamnya.8 Sedangkan Hak Milik adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah.9 Terkuat artinya lebih kuat kekuatan hukumnya dibanding jenis hak atas tanah lainnya.10 Terpenuh artinya Hak Milik atas tanah memberi wewenang kepada pemiliknya paling luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain. Ratio Legis atau alasan dibalik diterapkannya hak menguasai negara tak lain dan tak bukan adalah terkait fungsi pengelolaan dan distribusi semata. Di mana negara secara fungsional berwenang untuk mengelola tanah dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya dan mendistribusikan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada rakyat.11

Namun, Das sollen selalu tidak sesuai dengan Das sein. Kenyataan tidak seindah seperti yang tertulis di pasal-pasal di dalam konstitusi maupun Undang-undang. Alih-alih pemerintah mendistribusikan tanah pada rakyat, justru pemerintah banyak mendistribusikannya pada segelintir elit. Sepanjang tahun 2022, Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat telah terjadi 212 letusan konflik agraria di berbagai sektor investasi dan bisnis berbasis korporasi. Konflik terjadi di 450 desa dan kota di atas tanah seluas 1 juta hektar di Indonesia. Sementara masyarakat yang terdampak konflik agraria berjumlah setidaknya 346.402 kepala keluarga (KK).12 Letusan konflik agraria di tahun 2022 ini mengalami kenaikan jumlah sebanyak 5 konflik dari tahun sebelumnya yang berjumlah 207 konflik. Meskipun kenaikan jumlah konflik tidak signifikan, namun luas wilayah konflik naik hingga 100% dan jumlah korban yang terdampak naik hingga 43%.13 Meningkatnya luasan lahan konflik dan jumlah korban, salah satunya diakibatkan oleh upaya pengambilalihan paksa lahan yang sudah ditempati masyarakat oleh perusahaan-perusahaan perkebunan. Perusahaan-perusahaan itu juga terus memperluas area pengelolaan lahan mereka14 yang, di mana, agenda perluasan lahan tersebut tak lepas dari peran negara yang menerbitkan izin Hak Guna Usaha.

Segudang masalah pertanahan dan keagrariaan di Indonesia yang terjadi hari ini, jika kita telusuri, bermula dari periode Orde Baru tepatnya pada tahun 1980-an ketika pemerintah jor-joran memberikan izin konsesi pertambangan atau kontrak karya pertambangan pada perusahaan-perusahaan tambang. Selain itu, dengan entengnya pemerintah memberikan izin Hak Guna Usaha pada perusahaan-perusahaan besar yang bergerak di bidang perkebunan dengan luas lahan yang melebihi ketentuan.15 Terjangan arus neoliberalisme memaksa Indonesia untuk melakukan pembangunan besar-besaran mulai dari infrastruktur hingga transformasi corak produksi agraris menjadi industri. Sepanjang tahun 2015 sampai 2023, telah terjadi 73 letusan konflik agraria akibat proyek strategis nasional dari berbagai sektor. Tampaknya masalah di sektor pertanahan dan keagrariaan masih menjadi PR untuk pemerintah Indonesia di tengah sistem ekonomi global yang mencekik.

Lebih jauh, menurut George Aditjondro16, sengketa tanah yang terjadi sejak Orde Baru tidaklah sesederhana sengketa antara pemilik lahan dengan kekuatan modal serta peran negara di belakangnya. Sengketa agraria di Indonesia bersifat multidimensional yang tidak bisa dipahami sebagai suatu persengketaan tanah an-sich, tapi sengketa tanah adalah puncak gunung es dari beragam konflik lainnya yang mendasar yakni antarsistem ekonomi; kapitalis versus subsistensi, mayoritas-minoritas, masyarakat modern versus masyarakat adat, antara sistem ekologi dengan industrialisme, dan sistem pengetahuan tradisional versus pengetahuan modern.

Berangkat dari kompleksitas dari segudang konflik pertanahan dan agraria yang, sebagaimana penulis wartakan di muka, ternyata berawal dari pengambilan kebijakan pemerintah—sebagai perpanjangan tangan negara—itu sendiri, benarkah negara telah melaksanakan kewajibannya mengelola dan mendistribusikan sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat sebagaimana mandat konstitusi? Atau fungsi distribusi tersebut hanyalah retorika kosong penguasa semata? Benarkah negara memang mengemban tugas menyejahterakan?

Masalahnya, para ilmuwan politik sejak Hobbes c.s sampai Prof. Miriam Budiardjo, sejak tiga ratus tahun lalu sampai hari ini, selalu mengasumsikan bahwa negara memiliki tugas-tugas mulia tertentu. Negara, selayaknya malaikat moralitas, diasumsikan mengemban tugas menyelenggarakan kesejahteraan, ketertiban, keadilan, dan tugas-tugas agung lainnya. Diperlukan adanya—meminjam istilah Thomas Kuhn—semacam paradigm shift atau perubahan paradigma dalam memandang negara. Perubahan paradigma itu sendiri bertujuan untuk melihat negara dalam lanskap yang lebih luas dan komprehensif.

Tentang paradoks kedaulatan penulis terinspirasi tesis Hizkia Yosias Polimpung yang berjudul Psikoanalisis Paradoks Kedaulatan Kontemporer yangmelihat kedaulatan negara dari pendekatan Psikoanalisis Lacanian dan Genealogi Michel Foucault kemudian dibentuk suatu kerangka yang disebut Psikogenealogi. Psikogenealogi merupakan eksplorasi lebih lanjut dari tesis makrosubyektivitas yang banyak dijadikan asumsi dasar teorisasi negara berdaulat.  Melalui Psikogenealogi dapat dianalisis bahwa negara pada dasarnya merupakan manusia-makro. Implikasinya, kedaulatan negara tidak dapat dilepaskan dari hasrat-hasrat para pihak/atau aktor di dalamnya dan pada akhirnya, gagasan tentang kedaulatan negara semata-mata hanya merupakan suatu fantasi tentang ke-diri-an ideal yang merupakan simptomp ketidak-sadaran penguasa.17 Hal ini terlihat dengan jelas pada pernyataan Raja Perancis Louis XIV, “L’ etat c’est moi!”, “Negara adalah aku!”.

Konsep mengenai negara berdaulat berdasarkan pendudukan teritori tertentu pertama kali tertuang dalam Perjanjian Westphalia 1648, merupakan kelanjutan upaya raja untuk mempertahankan kekuasaannya.18 Untuk mengaktualisasikan ke-diri-an ideal raja, untuk pertama kalinya perbedaan budaya, bahasa, agama, dan ras disatukan berdasarkan pada pendudukan teritorial. Melalui wacana simbolik-universal penyedia keamanan, keteraturan, dan kesejahteraan, konsep kedaulatan negara modern mendapatkan legitimasi keberadaannya. Dalam perspektif Lacanian, jargon-jargon seperti “walfare state”, rechtstaat”, dan demokrasi telah menjadi simtom simbolik yang berhasil menghapus ambiguitas identitas di bawah satu penanda “negara”.

Melalui analisis Psikogenealogi, yang menegaskan bahwa negara pada dasarnya adalah manusia-makro yang berhasrat, dapat dipahami mengapa konflik tanah dan agraria di Indonesia selalu memenuhi surat kabar. Pasal 33 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria yang berbunyi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat adalah penanda lain dari bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran penguasa atau pemilik modal dalam rangka mengaktualisasikan ke-diri-an idealnya.

Mencuatnya isu represifitas aparat dan kriminalisasi masyarakat adat yang memperjuangkan haknya atas tanah merupakan bentuk abyeksi negara terhadap ‘musuh’ yang mengancam teritori dan hasratnya. Abyeksi di sini berarti pengeksklusian epistemik, deteritorialisasi karena kontra dan dianggap mengancam kedaulatan negara dan teritorinya.19 Lantas masyarakat adat, aktivis dan entitas-entitas lain yang memperjuangkan haknya dilabeli sebagai “provokator”, “pemberontak” karena dianggap sebagai penjarah harta si manusia-makro. Apalah guna gagasan-gagasan antropologi tentang hubungan manusia Indonesia dengan tanahnya jika tidak satu visi dengan tujuan nasional; pemenuhan hasrat dan aktualisasi ke-diri-an ideal penguasa.

Pernyataan-pernyataan guru Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas kita yang terdengar baik tentang Indonesia ternyata hanyalah omong kosong. Negara Indonesia adalah negara yang jauh dari kata kaya dan rukun. Tidak kaya karena sumber daya alamnya dikuasai oleh pemilik modal dan tidak rukun karena di dalamnya penuh dengan konflik yang dibungkam atas nama stabilitas. Demikian, pernyataan pelaut Eropa abad 18 yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negeri yang cantik dari timur tidak bisa hanya dimaknai secara gramatikal, tetapi harus dimaknai secara semantik; bahwa negara Indonesia adalah negara menggoda dan siap untuk dieksploitasi.

Anggota Lingkar Studi Filsafat Discourse. Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Brawijaya.

Catatan

  1. Sebutan para pelaut dari Eropa abad 18 terhadap Hindia-Belanda. Lihat Multatuli. (2018). Max Havelaar. Yogyakarta. Medpress.
  2. Subekti dan Tjitrosoedibio, R. (1983). Kamus Hukum. Jakarta. Pradnya Paramita., hlm 12.
  3. Penulis mendefinisikan manusia Indonesia adalah manusia yang secara turun temurun lahir, hidup, dan berkembang di dalam teritori.
  4. Soesangobeng, Herman. (2012). Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan dan Agraria. Yogyakarta. STPN Press., hlm. 37.
  5. Van Vallenhoven, C. (1919) De Indonesier en zijn grond., hlm. 9.
  6. Op.cit., Soesangobeng, Herman. (2012)., hlm. 170
  7. Lihat Pasal 2 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria.
  8. Ibid., Pasal 2 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria.
  9. Santoso, Urip. (2008). Hukum Agraria dan Hak-Hak atas Tanah. Jakarta. Kencana., hlm. 93.
  10. Hak atas tanah lainnya seperti: Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah, Hak Memungut Hasil Hutan, dan hak lainnya yang diatur dalam undang-undang. Lihat Pasal 16 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria.
  11. Lihat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
  12. Konsorsium Pembaruan Agraria. (2022). Catatan Akhir Tahun 2022., hlm. 12.
  13. ibid.
  14. Ibid.
  15. Majalah Forum Keadilan, No. 27. (2002)., hlm 52.
  16. Ibid., hlm 53.
  17. Polimpung, Hizkia Yosias. (2010). Psikoanalis Paradoks Kedaulatan Kontemporer. Jakarta., hlm 209.
  18. Ibid., hlm 236.
  19. Ibid.

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content