Bagaimana Cara kita Mengajarkan Sejarah Kepada Anak-anak

Saya berharap sejarah menjadi alat untuk membebaskan orang daripada mengikat mereka. Alat untuk menempa kesepakatan baru daripada melanggengkan konflik lama.
The Boyhood of Raleigh karya Sir John Everett Millais
The Boyhood of Raleigh karya Sir John Everett Millais

Kita tidak bisa melindungi anak-anak dari sejarah. Di Ukraina, jutaan keluarga telah kehilangan rumah mereka akibat perang Vladimir Putin. Di Delhi, tinggi suhu memecahkan rekor hingga mencapai 50 derajat celcius, yang membuat anak-anak terkurung di dalam musim panas ini, tidak dapat belajar maupun bermain. Harga pangan global yang juga melonjak, menyebabkan anak-anak di seluruh dunia kelaparan. Jadi, tentu saja tidak dapat terhindarkan bahwa generasi berikutnya akan menghadapi pertanyaan-pertanyaan besar seperti mengapa ada perang? Apa tempat kita memang di alam? Apa itu uang dan mengapa ia begitu penting?

Seringkali, anak-anak menjawab pertanyaan-pertanyaan ini jauh lebih serius daripada orang dewasa. Mereka mempertanyakan hal-hal yang dianggap remeh oleh orang dewasa. Orang dewasa mungkin merasa jengkel ketika seorang anak menjawab “mengapa?” untuk setiap jawaban kami. Tetapi biasanya, anak tersebut hanya mencoba memahami hal-hal yang sudah lama tidak dilakukan orang dewasa.

Hal lain yang tidak dapat kita lindungi dari anak-anak adalah pemaparan narasi sejarah yang salah. Sejak usia sangat dini, kaum muda dijejali dengan mitos-mitos dan disinformasi, tidak hanya tentang peristiwa terkini, tetapi juga tentang alur cerita dasar umat manusia itu sendiri – siapa kita, dari mana kita berasal, dan bagaimana kita sampai di sini.

Di negara asal saya misalnya Israel, betapapun anak-anak sekolah sekuler biasanya belajar tentang Taman Eden dan melihat gambar-gambar penuh warna dari Bahtera Nuh jauh sebelum mereka mendengar tentang Neanderthal atau melihat seni gua Lascaux dan Sulawesi. Ini memiliki dampak. Ada kemungkinan untuk melacak garis langsung dari keputusan Genesis (Perjanjian Lama) tentang “penuhi bumi dan taklukkan” menuju Revolusi Industri dan krisis ekologi saat ini. Garis pengaruh langsung lainnya dapat ditarik dari narasi sejarah yang dipelajari anak-anak Rusia di sekolah, hingga invasi Putin ke Ukraina dan krisis pangan global berikutnya.

Jika kita meninggalkan anak-anak pada mitos, tidak mempelajari ide-ide ini di kemudian hari adalah tugas yang sulit, terkadang mustahil. Sangat penting bagi kita untuk berbicara dengan anak-anak secara terbuka tentang masalah besar dengan cara yang bertanggung jawab dan ilmiah berdasarkan bukti, bukan keyakinan dogmatis. Ini adalah tantangan yang saya sendiri geluti baru-baru ini ketika menulis sejarah dunia untuk anak-anak.

Apa yang telah saya pelajari dari proyek ini bahwa mengatasi masalah besar bagi anak-anak adalah pekerjaan yang sulit. Terdapat beberapa mata pelajaran menyenangkan, seperti menjelajahi kehidupan sehari-hari para pemburu-pengumpul zaman batu, ketika orang hidup di alam liar dan anak-anak menghabiskan hari-hari mereka dengan belajar memanjat pohon, melacak binatang, dan membuat api. Tapi terdapat mata pelajaran lain yang lebih menantang. Meneliti apa yang terjadi ketika Sapiens kuno bertemu Neanderthal, misalnya mengarahkan kita untuk mendiskusikan seperti apa kehidupan seorang anak dengan ibu Sapiens dan ayah Neanderthal, mengangkat topik seperti rasisme, perang, genosida, dan kepunahan.

Sangat penting untuk membicarakan tentang sisi gelap sejarah, tetapi bagaimana cara kita menghindari melumpuhkan anak-anak karena ketakutan? Salah satu prinsip panduannya adalah kita harus menunggu untuk membagikan deskripsi eksplisit tentang kengerian sampai para pendengar cukup dewasa untuk menanganinya. Sebaliknya, ketika berhadapan dengan bencana dan ketidakadilan, yang terbaik adalah menekankan hak pilihan: tidak peduli betapa buruknya keadaan, orang biasanya dapat membuat perubahan itu menjadi lebih baik. Itu bukan angan-angan, tetapi inti dari sejarah. Lagi pula, sejarah bukanlah studi tentang masa lalu, atau sekadar daftar perang dan bencana serta kematian raja yang memerintah ribuan tahun yang lalu. Sejarah adalah studi tentang bagaimana hal-hal tersebut berubah.

Jika kita berpikir bahwa dunia selalu sama, dan cara hidup kita saat ini merupakan satu-satunya cara bagi manusia, maka wajar jika kita merasa bahwa perubahan tidak mungkin terjadi dan masalah yang kita hadapi tidak dapat diselesaikan. Bahkan jika keadaan sangat tidak adil sekalipun, apa yang bisa kita lakukan? Begitulah dunia ini, kita memberitahukan pada diri kita sendiri. Namun dengan mempelajari sejarah kita belajar bahwa manusia tidak selalu hidup seperti kita, dan bahwa dunia selalu berubah setiap saat. Orang membuat dunia apa adanya – dan karena itu orang dapat mengubahnya. Tentu saja, itu bukan tugas yang mudah, tetapi sudah dilakukan berkali-kali sebelumnya.

Itulah mengapa sejarah itu power yang sangat kuat, sebab ia adalah kunci untuk mengubah dunia. Sedemikian banyak sehingga, di banyak tempat, pemerintah takut dengan sejarah. Para pemimpin jarang melarang orang belajar matematika atau fisika. Tetapi banyak pemerintah melarang orang – dan terutama kaum muda – untuk mempelajari setidaknya bagian-bagian tertentu dari sejarah. Semuanya kembali ke kematian raja-raja yang memerintah ribuan tahun yang lalu, tangan dingin mereka menjangkau dari balik kubur untuk memahami pikiran kita dan membekukan perubahan.

Bagaimanapun, raja-raja yang telah lama meninggal itulah yang menemukan dan menyebarkan berbagai cerita tentang dewa, bangsa, uang, dan cinta yang masih dipercaya dan dipatuhi oleh begitu banyak orang saat ini. Untuk mendapatkan kebebasan dari narasi-narasi ini dan berperilaku berbeda, kita perlu memahami bagaimana narasi-narasi itu diciptakan dan disebarkan sejak awal. Kalau tidak, kita tidak akan pernah melihat mereka apa adanya: hanya cerita. Anak-anak bertanya “mengapa?” adalah kekuatan yang dahsyat yang dapat mengguncang kisah-kisah lama ini sampai ke pondasinya.

Namun selain menghindari teror, kita juga harus berhati-hati agar tidak membebani kaum muda dengan tanggung jawab kita sendiri. Dosa tertua dalam buku panduan orang dewasa adalah berekspektasi anak-anak mengerjakan proyek kita, khususnya dalam memecahkan masalah yang ingin kita selesaikan – tetapi belum menemukan caranya. Saat berbicara dengan anak-anak tentang persoalan-persoalan besar, sesekali kita mesti bertanya pada diri sendiri mengapa kita benar-benar melakukan itu.

Setiap orang di dunia memikul beban yang berat. Saat kita mengajarkan sejarah kepada anak muda, terkadang kita melakukan hal tersebut untuk mengalihkan sebagian beban kita ke pundak generasi berikutnya. Kami ingin yang muda tetap membawa kepercayaan-kepercayan, ingatan demi ingatan, identitas, dan konflik yang telah membebani sepanjang hidup kami. “Ini, Nak, aku membawa barang-barang ini sampai sekarang – sekarang adalah giliranmu!”

Itu tidak adil. Alasan yang jauh lebih baik dalam mengajarkan sejarah adalah untuk membantu membebaskan anak-anak, setidaknya dari beberapa ketakutan, ilusi, dan kebencian mereka. “Lihat hal-hal ini, Nak? Saya terjebak dengan mereka bertahun-tahun lamanya, dan mereka membuat saya sengsara. Hati-hati! Kamu tidak harus mengalaminya juga!

Saya berharap sejarah menjadi alat untuk membebaskan orang daripada mengikat mereka. Alat untuk menempa kesepakatan baru daripada melanggengkan konflik lama. Lagipula, tujuan belajar sejarah bukanlah untuk mengingat masa lalu, tetapi untuk terbebas darinya.

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Ali Yazid Hamdani dari Tulisan Yuval yang bertajuk To Change Our Future, We Should Change How We Teach History to ChildrenSumber Tulisan: https://www.theguardian.com/commentisfree/2022/oct/18/change-future-teach-history-children

Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

2 Responses

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Skip to content