Carut-marut dunia pasca pandemi, tidak jarang memunculkan orang untuk bersifat semakin pesimis akan masa depan. Rasa pesimis tersebut juga tidak jarang menghantam orang dewasa. Kegelisahan akan masa depan dan rasa pesimis mengenai masa kini membuat individu mengenang masa lalunya yang terkadang masih dipenuhi rasa optimistik akan kedatangan masa depan. Individu yang masih menggunakan rasionya, akan menjadi sangat wajar jika kegelisahan muncul ketika melihat kondisi Indonesia saat ini.
Misalnya pada aspek perekonomian, Generasi Z atau Gen Z diprediksi akan mengalami kesulitan dalam membeli atau memiliki rumah karena semakin meningkatnya harga properti setiap tahunnya. Tentu hal tersebut bukan hanya satu-satunya alasan yang menyebabkan munculnya kegelisahan, selain itu ada juga aspek politik yang selalu tidak stabil, ditandai dengan pergantian rezim yang bersifat konstan. Dengan kata lain, pergantian rezim kekuasaan setiap lima tahun sekali selalu memunculkan proses yang dinamis, baik dalam aspek politik maupun ekonomi.
Hauntologi dan Hantu dari Masa Lalu
Kendati demikian, kegelisahan akan masa depan dan pesimistik atas masa kini, telah dilihat secara baik oleh filsuf asal Prancis, yakni Jacques Derrida. Lebih lanjut, munculnya kegelisahan dan rasa pesimis mengenai masa depan akan membuat individu memandang masa lalu yang hadir dalam bentuk ‘hantu’, bahkan tidak jarang ‘hantu’ yang diasosiasikan sebagai masa lalu masih terus menghantui pikiran individu akan bentuk masa yang akan mendatang. Fenomena tersebut yang dipotret oleh Jacques Derrida, untuk kemudian dimunculkan terminologi “hauntology” atau hauntologi, pertama kali dalam bukunya yang berjudul The Specters of Marx.
Dengan menggunakan kalimat “A spectre is haunting Europe—the spectre of communism” dalam Communist Manifesto karya Karl Marx dan Friedrich Engels, Derrida dengan hauntologi-nya menyebut bahwa masa lalu akan selalu menghantui masa kini dan bahkan akan turut mempengaruhi terbentuknya masa depan. Dengan kata lain, konsep hauntologi mensyaratkan masa lalu sebagai masa yang bukan berada dalam kondisi statis atau terhenti begitu saja, melainkan kondisi masa lalu yang masih secara aktif menghantui masa sekarang. Masa lalu ini selalu turut membentuk pandangan individu mengenai bayangan mengenai masa yang akan datang.
Hauntologi dan Dekonstruksionisme
Meskipun tidak seterkenal dekonstruksionisme, tetapi Derrida menyebut bahwa hauntologi yang digagas olehnya memiliki keterkaitan dengan dekonstruksionisme. Lebih lanjut, hauntologi merupakan konsep yang digagas oleh Derrida dengan didasarkan pada konsep dekonstruksionisme, khususnya ide mengenai “trace” dan “différance”. Kedua ide tersebut menjadi pondasi hauntologi, sehingga dengan menggunakan ide trace dan différance yang diambil oleh Derrida dari konsep dekonstruksionisme-nya. Masa lalu menurut Derrida tidak pernah benar-benar menghilang, melainkan turut meninggalkan jejak pada masa sekarang dan turut membentuk masa depan.
Tidak hanya saling berkaitan, hauntologi dan dekonstruksionisme Derrida merupakan satu-kesatuan yang saling melengkapi, tetapi memiliki fungsinya masing-masing. Misalnya, dalam analisis linguistik, dekonstruksionisme memiliki fungsi untuk melakukan peninjauan terhadap inkonsistensi dari makna yang terkandung dalam sebuah teks. Sementara itu, hauntologi memiliki fungsi untuk melacak jejak yang ditinggalkan oleh masa lalu sehingga makna dari teks tersebut dapat terbentuk pada masa sekarang.
Hauntologi dan Masa Depan yang Gagal
Mark Fisher mengembangkan konsep hauntologi yang diusulkan oleh Derrida. Fisher mengaitkan konsep ini dengan kegagalan masa depan sebagai lambang optimisme manusia. Dalam bukunya, Fisher menyebut bahwa masyarakat saat ini dihantui oleh “janji yang tidak pernah terpenuhi” atas masa depan yang lebih baik dari masa kini yang dialami. Selain itu, penyebutan “Lost Futures” yang menjadi ciri khas Fisher dalam menjelaskan hauntologi, merujuk pada hilangnya rasa optimisme masyarakat terhadap masa depan dan perkembangan segala aspek yang terjadi di dalamnya.
Lebih lanjut, Mark Fisher juga menjelaskan bahwa hauntologi dalam masyarakat dapat dilihat dari masih terdapatnya jejak dari masa lalu yang menghantui masa sekarang. Hantu dari masa lalu tersebut membuat kondisi statis atau stagnasi dari perkembangan suatu aspek. Dalam menjelaskan hal ini, Fisher menggunakan perkembangan budaya sebagai permisalan, karena hantu dari masa lalu tersebut yang secara nyata membuat pandangan masyarakat akan masa depan yang cemerlang menjadi perlahan sirna, sehingga muncul pandangan mengenai masa depan distopia yang berisi kengerian masa depan.
Lebih lanjut, dalam permisalan tersebut, Fisher menjelaskan bahwa pada abad ke-21 terjadi pergeseran budaya mengenai cara pandang masyarakat terhadap masa depan, yang pada awalnya bersifat utopia dan dengan penuhnya kemajuan teknologi yang inovatif, menjadi distopia, yang dipenuhi dengan kengerian dan hilangnya harapan atas masa depan. Hal tersebut dapat dilihat melalui banyaknya produk dari industri perfilman yang merilis film dengan tema distopia pada abad ke-21, seakan meruntuhkan narasi yang dibangun oleh banyaknya film dengan tema utopia masa depan yang dirilis pada periode abad ke-20.
Hauntologi, baik dari pengertian Derrida maupun Fisher tidak hanya dipandang sebagai upaya untuk mendekonstruksi masa sekarang melalui tinjauan hantu dari masa lalu, melainkan juga sebagai suatu bentuk kritik terhadap late stage capitalism atau tahap akhir dari kapitalisme. Hal ini dikarenakan perkembangan dari kapitalisme tidak menciptakan inovasi baru, melainkan menjadi penghalang untuk mencapai masa depan yang ideal. Meskipun memiliki fokus yang berbeda, hauntologi yang digagas oleh Derrida dan dikembangkan oleh Fisher masih berada dalam satu koridor yang sama, yakni sebagai suatu instrumen yang digunakan untuk melacak jejak atau pengaruh dari masa lalu atas masa sekarang.
Selain berfungsi sebagai instrumen kritik terhadap tahap akhir dari kapitalisme, hauntologi yang digagas oleh Derrida dan dikembangkan oleh Fisher juga dapat berfungsi sebagai instrumen untuk mendekonstruksi masa depan, sehingga dapat mencegah timbulnya rasa optimistik yang berlebihan akan datangnya masa depan. Meskipun demikian, hauntologi yang lahir dari “The Specters of Marx” atau dalam bahasa Indonesia memiliki terjemahan “hantu dari Marx” dapat menjadi pengingat bahwa masa depan tidak selalu datang secara ideal.
2 Responses
nice refleksinya
Sekedar koreksi saja, yang benar namanya “Mark Fisher”, tanpa “c” (Fischer). Menarik untuk mengikuti perkembangan filsafat terkini memang, sekian terima kasih.