Selama ini, kita merasa bahwa segala hal yang terjadi di dalam kehidupan kita ini begitu nyata, dan yakin bahwa kita dan semua orang lainnya memiliki kesadaran penuh atas segala yang terjadi dalam dunia yang kita hidupi. Tetapi siapakah yang bisa membuktikan bahwa dunia di sekitar kita ini, sungguh-sungguh ada dan bukannya suatu simulasi belaka. Suatu rekayasa, suatu program komputer, yang membuat kita seolah-olah merasa bahwa itu ada dunia di luar kita, padahal sebetulnya, tidak ada apapun disana, kecuali, suatu program yang dikerjakan secara masif yang meliputi seluruh alam semesta ini.
Apakah kalian pernah bertanya, atau berpikir kalau dunia yang kita tinggali ini bukanlah dunia nyata. Mungkin saja saat ini kita hidup dalam suatu dunia simulasi yang di kontrol oleh manusia nyata dengan peradaban yang lebih maju. Lalu, bagaimana jadinya kalau ternyata selama ini kita hanyalah hidup dalam sebuah simulasi komputer seperti layaknya film The Matrix? Kasarnya, kita bukanlah hal yang benar-benar nyata, dan kesadaran kita hanyalah bagian dari program simulasi. Jika pemikiran tentang hidup kita ini adalah simulasi, itu berarti bahwa ada “sesuatu” yang lebih “tinggi” dari kita yang ternyata mengendalikan kita di balik semua ini, layaknya permainan The Sims.
Tentunya ini seperti skenario yang terdengar seperti sains fiction. Tetapi bagaimana jika saya nyatakan bahwa tema ini adalah suatu pembahasan klasik dari manusia-manusia sebelum kita. Bahkan tema ini adalah pembahasan paling kuno dalam filsafat. Dan selama ribuan tahun itu, tidak ada seorang pun yang bisa menjawab pertanyaan, “apakah kita hidup di dalam dunia simulasi” secara definitif. Bahkan sampai detik ini.
Hipotesis Simulasi Yang Mengakar
Sebelum masuk pada tema pembahasan, mari kita ketengahkan dulu apa itu hipotesis simulasi. Hipotesis simulasi sederhananya adalah hipotesis bahwa seluruh kenyataan ini, termasuk saya, anda, dan seluruh objek yang ada di sekitar kita, tidak lebih daripada simulasi komputer, yang sangat canggih sehingga kita tidak dapat mendeteksinya. Oleh karena itu, kita hidup di dunia maya, dan kita ini bukan sebagai sesuatu yang sungguh-sungguh ada, yang sebagaimana kita kira “ada”. Keberadaan serta realitas kita adalah hasil program yang dikendalikan entitas di luar diri kita.
Sekilas ini memang terdengar seperti premis cerita dari film The Matrix. Film ini menggambarkan dunia pasca-apokaliptik di mana ras robot telah menangkap sebagian besar umat manusia dan memenjarakan pikiran mereka dalam realitas buatan yang dikenal sebagai “Matriks” untuk memanen panas tubuh manusia dan energi elektrokimia.
Dalam film tersebut, manusia yang menjalani kehidupan sehari-hari tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya hidup dalam simulasi karena kabel yang dicolokkan ke neokorteks memancarkan sinyal ke otak mereka dan membaca reaksi mereka. Manusia-manusia yang ditaruh di dalam tabung-tabung itu bisa merasakan segala macam sensasi dalam pikirannya sendiri dan energi yang timbul dari pergerakan mental atau pikiran itulah yang digunakan oleh rezim robot untuk mengoperasikan kerajaan mereka.
Sekarang pertanyaan bagaimana cara kerja realitas simulasi? Tentu harus ada cara kerja untuk simulasi itu bekerja. Ada dua skenario penting yang bisa jadi sistem kerja simulasi di dunia kita. Dalam skenario pertama, asumsi ini mengasumsikan bahwa segala sesuatu yang ada, termasuk setiap orang, lingkungan, objek, kejadian, dan sensasi, adalah produk sampingan dari kode. Skenario ini memerlukan perangkat keras yang cukup kuat untuk mensimulasikan semua komponen ini dan fisika yang diketahui pada skala antar galaksi yang sangat detail. Sebab realitas, dalam pengertian simulasi dapat dibayangkan sebagai sebuah program dunia terbuka yang rumit yang dijalankan pada superkomputer atau komputer kuantum di luar kemampuan pemahaman kita.
Dalam skenario kedua, asumsi ini mengasumsikan manusia itu sendiri adalah nyata dan organik, namun dunia dan sejumlah orang di sekitar kita hanyalah simulasi. Untuk melakukan hal ini, kita harus mengelabui kesadaran kita dengan berpikir bahwa kita berada dalam kenyataan sebenarnya, di mana semua sensasi terasa seperti hidup dan karakter simulasi yang meniru manusia mampu lulus Tes Turing. Selain perangkat keras komputasi yang kuat, skenario ini juga memerlukan kecerdasan buatan yang cukup kompleks agar dapat dianggap nyata oleh pikiran manusia.
Teori simulasi pada skenario kedua sebenarnya dekat dengan apa yang ditampilkan oleh film The Matrix. Beberapa cara untuk mencapai hal tersebut dapat dilakukan melalui teknologi realitas virtual (VR) atau antarmuka komputer otak (BCI) yang canggih, di mana VR dapat menampilkan citra realistis bagi pengguna atau di mana antarmuka komputer otak dapat mengirimkan sinyal ke otak untuk merangsang masukan sensorik realistis seperti penglihatan. Untuk mencapai karakter manusia realistis lainnya, kita perlu mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang kesadaran manusia dan cara kerjanya sehingga kita dapat menghasilkan Artificial Intelligence (AI) yang sadar.
Dari Plato Sampai Rene Descartes
Kendati terdengar hipotesis simulasi ini mengandaikan “masa depan”, ternyata gagasannya bukanlah sesuatu yang baru atau posthumanisme. Bahkan kita bisa melacak ide ini pada dua ribu tahunan yang lalu, pada sekitar abad keempat Sebelum Masehi dalam pemikiran Alegori Gua-nya Plato.
Alegori gua bisa dibayangkan dengan cerita tentang sekumpulan tawanan yang selama hidupnya telah dipenjarakan di dasar suatu gua yang amat gelap. Mereka dirantai sedemikian rupa dan mereka tidak dapat melihat sekitar gua, atau satu sama lain dari mereka, bahkan diri mereka sendiri. Yang mereka tahu adalah ada dinding di hadapan mereka dan tidak ada yang lain.
Di sana hanya ada bayang-bayang. Dan di belakang mereka ada api, dan di antara api dan para tawanan itu ada sebuah jalan. Ketika ada objek berjalan atau terbang di antara api dan para tawanan, ada bayangan yang terlihat pada dinding. Karena tahanan tidak tahu apa-apa dan hanya bisa melihat bayangannya, mereka percaya bahwa bayangan itulah kenyataan.
Tetapi suatu saat, entah karena apa para tahanan itu berhasil membebaskan diri, mereka berhasil lolos sehingga dia bisa berjalan dan keluar dari gua itu dan dari luar gua mereka baru tahu ternyata dunia tidak seperti dalam bayang-bayang yang sudah sering mereka lihat. Dan dengan seiring waktu, mereka sadar, bahwa kenyataan bukan hanya bayang-bayang yang ada pada tembok tetapi juga keseluruhan objek yang tampak karena adanya matahari atau api yang menyinari. Ada sumber cahaya yang menyinari sehingga segalanya bisa tampak dan terlihat. Dari sini para tawanan ini mulai menyadari bahwa apa yang tadinya dianggap sebagai kenyataan, yaitu bayang-bayang yang ada pada tembok, ternyata bukan itu kenyataannya sesungguhnya, itu adalah semacam simulasi kenyataan, suatu rekaan kenyataan.
Dari alegori gua-nya Plato, kita tahu bahwa gagasan tentang kenyataan hidup sebagai simulasi ternyata sudah sangat tua, manusia di zaman Plato sudah menanyakan apakah manusia dan kehidupannya benar-benar ada dan nyata atau hanya rekaan dari simulasi yang diciptakan oleh entitas lain di luar dirinya. Namun selain itu, alegori gua-nya Plato ini bisa diartikan sebagai cara memahami bagaimana pentingnya pengetahuan dan bisa juga dianalogikan sebagai kebodohan dan keengganan manusia untuk mencari kebenaran atas realitas hidupnya. Atau bahkan bisa dibaca dengan, jangan-jangan realitas yang tanpa bayangan pun bisa menjadi bayangan dari kehidupan yang lain?
Pemikiran Plato mengenai semesta ini yang kemungkinan adalah simulasi pun mendapatkan pengujiannya kembali, tepatnya pada pertengahan tahun 1600-an oleh seorang Rene Descartes, filsuf besar yang juga meragukan kehidupan bahkan meragukan dirinya sendiri. Descartes bahkan mengandaikan bahwa segala sesuatu yang kita anggap ada, lihat, rasakan, bisa saja merupakan ilusi yang diciptakan oleh seseorang entitas yang amat genius.
Dalam kesangsiannya, Descartes menanyakan apa jaminannya bahwa apa yang kita lihat, apa yang diketahui sebagai ada yang berada di dunia di luar kita ini, seperti meja, handphone, misalkan, bukanlah ilusi, suatu fatamorgana yang diciptakan oleh seorang entitas yang amat genius itu. Apa jaminannya? Ini lah yang ditanyakan oleh Descartes.
Kita tahu dari akal sehat sehari-hari sepertinya tidak masuk akal jika pertanyaan tersebut diajukan, itu seperti highly improbable atau kecil kemungkinannya bahwa dunia ini hanyalah ilusi, karena toh kita bisa berinteraksi dengan dunia ini secara konsisten dengan menghasilkan efek-efek yang selalu juga konsisten. Ada kausalitas yang tetap. Anggaplah ketika kita memegang api tangan kita akan terbakar dan kita akan merasakan panas, dan ini tentu konsisten dimana-mana.
Tetapi yang dipersoalkan Descartes, dan jangan lupa Descartes punya latar belakang sebagai matematikawan, dan sebagai matematikawan itulah Descartes tidak puas hanya dengan semacam fakta dari keseharian yang kita alami atau highly improbable. Descartes butuh sesuatu yang niscaya. Oleh karena itu Descartes mencari pembuktian, bagaimana caranya bisa membuktikan bahwa dunia di luar kita ini beneran ada. Bukan tipuan. Bukan sesuatu yang kita kira saja ada.
Cara Descartes membuktikannya adalah pertama-tama dengan meragukan segala sesuatunya. Descartes tidak bisa menerima begitu saja bahwa ada dunia di luar dirinya. Bahwa ada meja, bahwa ada mantan Jenderal menang pemilu, dan seterusnya. Atas meragukan segala sesuatunya ini yang kemudian disebut sebagai “Kesangsian Methodist”. Suatu sikap menyangsikan segala sesuatu sebagai bagian dari suatu metode untuk mencapai kesimpulan yang tidak tergoyahkan lagi mengenai keberadaan dunia di luar kita.
Lewat suatu proses kesangsian inilah akhirnya Descartes sampai pada suatu kesimpulan yang tidak tersanggah lagi, yaitu, “Bahwa aku yang menyangsikan segala sesuatu ini ada”. Karena tidak mungkin kita bisa menyaksikan segala sesuatu, kalau “Aku” yang menyangsikan atau meragukan segala sesuatu tidak ada. Jadi ada satu fakta dasar yang tidak bisa digoyahkan lagi seandainya seluruh dunia ini ilusi, “Aku” yang menyangsikan segala sesuatu ini, yang meragukan segala sesuatu ini, pasti ada. Dari metode ini juga Descartes melahirkan idiom terkenalnya “Cogito Ergo Sum”, aku berpikir, maka aku ada.
Namun dengan begitu Descartes hanya membuktikan separuh jalan. Descartes belum membuktikan bahwa dunia di luar kita ini sungguh-sungguh ada. Descartes baru membuktikan bahwa “Aku ada” dan aku ini sebagai subjek yang tadi melakukan segala sesuatu itu. Bahkan Descartes tidak bisa membuktikan bahwa orang lain itu ada. Karena lewat prosedur kesangsian metodisnya, kita hanya tahu yang dilakukan oleh Descartes hanya menyaksikan segala sesuatu, sampai akhirnya ada satu yang tidak tergoyahkan. Dan yang tidak tergoyahkan hanya “Aku” atau dirinya semata. Aku yang menyaksikan segalanya, bukan aku yang lain atau manusia lain.
Jadi apa yang dihasilkan lewat metode Descartes hanyalah keberadaan “Aku” yang tidak tergoyahkan lagi. Tapi apakah ada orang lain? Itu tidak bisa dibuktikan. Dari setengah jalanan yang dilakukan Descartes inilah kemudian terdapat pemikiran yang disebut solipsisme.
Solipsisme adalah anggapan bahwa apa yang ada di seluruh dunia ini adalah aku. Bersamaan dengan pikiran ini, secara tidak langsung yang lain itu ada hanya sebagai pikiranku, termasuk orang lain. Jadi orang lain tidak sungguh-sungguh ada. Sebab yang ada hanyalah aku yang memikirkan adanya orang lain. Dalam hal ini, problem tentang keberadaan dunia yang mandiri, yang tidak tergantung pada apakah aku menyadarinya atau tidak, itu tidak terpecahkan oleh Descartes. Jadi keseluruhan adanya kehidupan ini masih menjadi suatu misteri.
Sepeninggalan metode dari Descartes biasanya dirumuskan dalam cerita tentang sepenggal dahan yang jatuh dari pohon yang berada di tengah hutan. Dan di tengah hutan itu tidak ada manusia sama sekali. Pertanyaannya, apakah dahan itu sungguh jatuh, jika tidak ada satupun manusia yang mendengarnya, melihatnya atau mengetahuinya.
Andaipun kita bisa mengajukan suatu bukti bahwa dunia ini sungguh-sungguh ada, hanya karena bisa kita sentuh misalnya, atau bisa kita lihat, bisa kita dengar dan seterusnya. Descartes bisa mempertanyakan itu kembali dengan mempersoalkan, “ya karena itu kamu sentuh, karena kamu pegang dan karena kamu lihat.” Tidak ada bukti terpisah bagi keberadaan objek tersebut, tanpa ada “aku”. Jadi semua masih berpusat pada “aku” yang mempersepsikan itu sebagai ada.
Super Komputer
Dalam bentuk kontemporernya, hipotesis simulasi kembali booming pasca abad ke-21, tepatnya pada tahun 2003 oleh seorang Filsuf dari Oxford bernama, Nick Bostrom dengan makalahnya yang berjudul “Are You Living In A Computer”, menyatakan bahwa ada tiga kemungkinan realitas yang mungkin kita alami.
Pertama, realitas ini nyata dan kita benar-benar hidup di dalamnya. Kedua, kita sedang mengalami ilusi seperti dalam film The Matrix, di mana kita dihubungkan ke sebuah mesin dan hanya mengalami simulasi yang tampak nyata. Ketiga, kita hidup di dalam simulasi yang dijalankan oleh entitas canggih yang jauh lebih maju daripada kita.
Bostrom berbeda dengan para pendahulunya. Bostrom berargumen dengan mendasarkan dirinya pada kajian-kajian terkini mengenai AI (Artificial Intelegent). Dalam makalahnya itu, Bostrom mengajak kita membayangkan bahwa, katakanlah 20 tahun ke depan, teknologi AI sudah begitu canggihnya. Sampai pada suatu titik, dimana kita bisa menciptakan dengan kemampuan kita suatu AI yang berkesadaran. Bukan hanya AI yang hanya bisa memproses informasi dan menghasilkan luaran yang sifatnya mekanis. Tetapi AI itu benar-benar memiliki kesadaran tersendiri secara mandiri. Para AI mampu menyikapi dunia secara otonom seperti halnya kita manusia. Selain itu, Bostrom yakin jika kemajuan AI sudah mencapai yang diandaikan, ada kemungkinan juga bahwa kita sebagai manusia, atau masyarakat kita saat ini adalah sebuah simulasi dan kita mungkin bukan spesies manusia yang asli.
Kita hanyalah sebuah kesadaran yang tercipta karena suatu proses machine-learning dan seterusnya yang dilakukan oleh suatu entitas tertentu yang berada di balik realitas kehidupan kita ini. Bostrom tidak sendirian memiliki keyakinan tersebut. Profesor filsafat Universitas New York, bernama David Chalmers, bahkan memperluas apa yang dinyatakan oleh Bostrom dan menggambarkan makhluk yang lebih tinggi yang bertanggung jawab atas potensi simulasi hiper-realistis ini sebagai “pemrogram di alam semesta berikutnya,” atau mungkin kita sebagai manusia menganggapnya sebagai dewa – meskipun tidak harus dalam pengertian tradisional.
Menariknya bahkan Chalmers melihat entitas yang membuat kita, “mungkin masih remaja, tapi mungkin saja seseorang yang maha tahu, dan maha kuasa tentang dunia kita.” Andaikan seperti itu, berarti secara tidak langsung Bostrom dan Chalmers menyampaikan bahwa kenyataan yang ada di sekitar kita ini memiliki kemungkinan besar adalah simulasi. Sebab jika AI bisa kita ciptakan sehingga dia memiliki kesadaran seperti halnya manusia, maka apa yang menjamin bahwa kita bukan hasil ciptaaan oleh suatu entitas yang memiliki kecerdasan yang lebih tinggi dari kita
Sekarang bayangkan games seperti Assassin’s Creed atau Skyrim atau games RPG lainnya, misalkan, jika kita paham system yang mengoperasikannya, tentu kita bisa melihat kemasukakalan dari argument Bostrom. Sebab dalam games type RPG, ada keseluruhan dunia yang dibangun dengan begitu detail. Bahkan benda jatuh di dalam games itu pun memiliki fisikanya tersendiri. Jadi ketika pemain melakukan interaksi dengan dunia dalam games RPG maka keseluruhan dunia dalam games tersebut ikut beroperasi dengan cara yang konsisten tanpa semuanya harus diprogram lagi dari nol.
Hipotesis Simulasi menjadi semakin populer, ketika pada tahun 2016, Elon Musk CEO dari Tesla dan SpaceX, dalam Code Conference, dengan yakin mengatakan bahwa kemungkinan manusia hidup dalam kenyataan hanyalah 1 berbanding milyaran. Untuk dukungannya pada hipotesis simulasi, Elon menjelaskan teorinya melalui perkembangan video games yang sudah sangat berkembang hingga grafiknya kelak tidak bisa dibedakan dengan kenyataan.
Jadi andaikan hanya sekadar menunjukkan bahwa hipotesis simulasi itu highly probability atau sangat kecil kemungkinannya untuk bisa terjadi tentu itu bisa dengan sangat mudah dilakukan, karena kita hidup dengan suatu interaksi yang sifatnya ajek dengan dunia sekitar kita. Dan tidak pernah ada misalnya “glitch” atau error jika dalam dunia games, atau kesalahan pemrograman tertentu sehingga ada sesuatu yang tidak sebagaimana mestinya.
Jelas kesalahan pemrograman yang ada di dunia games jarang terjadi dalam dunia sehari-hari kita, sebab semuanya bekerja dan berjalan secara normal. Tetapi ada satu pembuktian kuat jika kita benar-benar hidup dalam dunia simulasi, Glitch in the Matrix adalah salah satu teori penguatnya. Glitch dalam realitas kita, salah satunya adalah “déjà vu”.
Simulasi kita mengalami “glitch” sesaat dan membuat sebuah kejadian yang harusnya terjadi di titik waktu tertentu jadi muncul di suatu titik lainnya. Meski para ilmuwan banyak percaya bahwa fenomena ini tak lain hanya anomali neurologis yang terjadi pada otak. Namun, banyak juga yang berpendapat kalau hal tersebut adalah bukti adanya sebuah “glitch” dalam “realitas”.
Mengapa Teori Simulasi Menjadi Penting
Andaikan kita semua benar-benar hidup dalam simulasi, pertanyaanya mengapa semua ini penting? Sebenarnya, tidak akan ada dampak apapun secara langsung pada kehidupan kita sehari-hari jika dunia ini adalah simulasi komputer. Kita akan tetap menjalani kehidupan kita seperti biasanya, kehidupan akan jalan terus.
Tetapi jika kita benar-benar ada di dalam video game yang mengharuskan karakter kita melakukan misi dan pencapaian tertentu agar bisa maju, bukankah akan berguna untuk mengetahui jenis games apa yang kita mainkan untuk meningkatkan peluang kita untuk bertahan hidup dan berkembang? Selain itu, tentu kita bisa menjangkau apa yang selama ini kita cari dari ilmu pengetahuan yakni, kebenaran. Lebih khusus lagi, kebenaran kita sebagai manusia.
Untuk itu jika hipotesis simulasi ini benar, maka dengan secara tidak langsung membuktikan beberapa hipotesa sebelumnya yang telah tercetus dalam ranah fisika teoretis, salah satunya mengenai teori multiverse. Sebab jika dunia yang kita tinggali adalah simulasi, tentu kita bukanlah satu-satunya simulasi yang diciptakan oleh “peradaban” di atas kita.
Ada banyak alam simulasi lainnya di luar sana. Dan andaikan pertanyaan, “kenapa kita belum bertemu dan berinteraksi dengan Alien?” diajukan, jawabannya adalah ‘RAM’ yang ada untuk menjalani simulasi hanya cukup untuk satu peradaban di bumi saja, sehingga tidak ada alien. Atau, alien sudah jauh lebih pintar dari manusia untuk terlepas dari jerat dunia simulasi.
Selain yang serius-serius itu, ada kemungkinan juga, bahwa apa yang selama ini kita anggap sebagai hantu atau setan adalah glitch in the matrix, seperti layaknya deja vu. Karena ada ‘bug’, sesuatu yang seharusnya tidak ada pada tempatnya, menjadi ada di sana.
2 Responses
Menarik, tetapi agak dramatis. Mau bagaimanapun, karena aku ini ada, maka persepsi ku terhadap dunia hanyalah sintetis dari realitas. Jika dunia benar-benar dapat dikontrol secara internal, dengan kata lain merupakan “simulasi”, maka mungkin saja ada semacam “cheat engine” yang sewenang-wenang memanipulasi “RAM”. Apakah memungkinkan untuk time hack/travel dan sebagainya? Mungkin saja iya, mungkin saja tidak, apakah realitas ini benar-benar memiliki lapisan/abstraksi yang sarat akan batasan-batasan akses masing-masing?
Menarik, tetapi agak dramatis. Karena mau bagaimana pun, aku ini ada, sehingga persepsiku terhadap dunia ini hanyalah sintetis dari realitas. Jika realitas benar-benar dapat dikontrol secara internal, dengan kata lain “simulasi”, maka mungkin saja ada “cheat engine” yang sewenang-wenang dapat digunakan untuk memanipulasi “RAM”: time hack/travel, dsb..