Kritik Metaetika Berbasis Neurofilosofi terhadap Teleologi

Berangkat dari ragam asumsi yang tidak teruji, filsafat etika menjegal diri sendiri dari potensi-potensi terbesarnya, seperti membangun landasan etika universal, atau bahkan mengenali kebenaran kesimpulannya sendiri.
Menolong orang lain
Menolong orang lain

Dalam esainya yang berjudul Linguistic Contributions to the Study of Mind, Noam Chomsky (1968) mengajukan sebuah kritik terhadap para filosof yang bergelut dalam bidang philosophy of mind. Menurutnya, para filsuf klasik maupun modern dalam bidang ini sering terjebak dalam “unquestioned assumption that the properties and content of the mind are accessible to introspection.” Ada suatu persetujuan asumtif di antara para pemikir filsafat pikiran bahwa pengalaman internal manusia dapat diketahui dengan merefleksi pengalaman diri. Chomsky protes soal betapa mudahnya para filsuf berangkat melakukan kajian dengan dasar sesuatu yang sifatnya masih merupakan asumsi. Baginya, ini berbahaya. Apabila diskusi didasarkan pada aksioma yang belum tentu benar, kesimpulan akhir pun bisa jadi merupakan ilusi kebenaran dan kesepakatan.

Apa yang disampaikan Chomsky di sini bukan semata masalah dalam lingkup filsafat pikiran. Diskusi sehari-hari yang ada di sekitar kita, entah itu dalam ruang debat kusir atau akademis, seringkali diawali oleh sebuah aksiom, yang meskipun kebenarannya belum tentu teruji, disetujui sebagai kebenaran. Sebagai contoh, sering terjadi diskusi yang bermula dari persetujuan bahwa entitas pencipta manusia itu baik, ultranasionalisme itu baik, aborsi itu buruk, pembangunan itu baik. Belum ada kepastian epistemik soal kebenaran aksiom itu, tapi mereka sudah diterima sebagai landasan diskusi. Akhirnya, diskusi tanpa dasar benar ini seringkali mengarah ke jalan buntu.

        Filsafat etika pun tidak luput dari masalah ini. Berangkat dari ragam asumsi yang tidak teruji, filsafat etika menjegal diri sendiri dari potensi-potensi terbesarnya, seperti membangun landasan etika universal, atau bahkan mengenali kebenaran kesimpulannya sendiri. Pencarian landasan etika yang bersifat universal, yang dapat diaplikasikan pada siapa saja, dan dengan tanpa cela memberi konsekuensi yang baik bagi siapapun penerimanya, terlepas dari latar belakang etnologis, kognitif, dan psikologis mereka, sepertinya lebih sulit dari menemukan air mancur keabadian. Silih berganti, para pemikir di bidang filsafat etika selalu menemukan cara untuk mencecar pandangan pendahulu mereka, tanpa menemukan satu konsensus adiluhung tentang moral dan etika yang sempurna. Bisa jadi, penyebabnya sepele. Mereka terantuk batu asumsi yang, seperti kata Chomsky, dianggap tak penting.

Pertentangan-pertentangan itu hadir dalam berbagai bentuk. Ada beberapa filsuf yang, lewat berbagai metodologi, mencapai ragam kesimpulan berbeda mengenai apa yang dapat didefinisikan sebagai baik. Jauh sebelum Immanuel Kant memformulasikan diktum etika universal imperatif kategoris berbasis nalar (Copleston, 1959), Aristoteles telah menawarkan serangkaian virtus moral dan intelektual pembentuk kebaikan yang bermuara pada eudaimonia (Copleston, 1946). Ide-ide deontologi ilahi divine command theory menjadi landasan bagi para pemikir di berbagai belahan bumi pada masa-masa berikutnya, menggantungkan anggapan akan sesuatu yang baik pada perintah ilahi. Pada abad ke-18 di Britania Raya, gerakan Ethical Intuitionism berusaha menegasikan hampir semua landasan etika tersebut, menegaskan bahwa setiap manusia memiliki suatu intuisi moral yang inheren dalam dirinya, sehingga ia tidak memerlukan metodologi etika

        Dalam memenuhi hasrat menemukan suatu standar kebaikan yang universal, beberapa kajian para filsuf tersebut didasari pada pertanyaan tentang apa yang memiliki dampak kausal berupa kebahagiaan pada manusia daripada penderitaan. Prinsip teleologis ini adalah salah satu prinsip mendasar yang menaungi banyak pergerakan etika, entah itu ditandaskan secara tersurat atau tidak, dan dijadikan sandaran oleh pemikir utilitarianisme seperti Jeremy Bentham dan John Stuart Mills. Pada titik ini, sepertinya persoalan etika tidak lagi berada pada level fundamental. Ia sudah melenggang pada tatanan yang lebih tinggi.

Sayangnya, secara tidak disadari, karena ke-abai-an ini, bisa dibilang perkembangan filsafat etika teleologis bisa dibilang mencapai sebuah cul-de-sac, atau sebuah kebuntuan yang hampir tidak memberi jalan keluar. Filsafat etika berpuas diri ketika masih ada banyak masalah yang ada padanya, tanpa berusaha mengulik permasalahan dasarnya. Bahkan filsafat etika seringkali menganggap sepele permasalahan mendasar ini. Jonathan Dancy, seorang filsuf etika asal Inggris yang mengangkat ide tentang moral particularism, bahkan dengan naifnya mengatakan bahwa pencarian landasan moral yang sempurna adalah sebuah kesia-sian (Dancy, 2004). Padahal, Filsafat Etika masih belum tiba pada titik luhurnya. Ia masih jauh dari menemui titik sempurnanya.             

Penyebab dari masalah pelikfilsafat etika ini adalah bagaimana para filosof etika terbentur tembok ranah materialis. Ada suatu pertanyaan metaetika yang seringkali dilupakan para filosof tersebut. Selama ini, untuk menemukan apa hal yang berkonsekuensi pada kebahagiaan, mereka mencarinya dalam lingkup fisik maupun konstruksi abstrak yang tetap saja berada pada ranah fisik-materialis. Kebanyakan dari kita hanya berfokus pada tindakan sambil mengabaikan fenomena pengalaman personal. Ketika membicarakan virtus, sebagai contoh, kita hanya membicarakan fenomena fisik-materialis yang melingkupi subyek. Padahal, apabila kita mengambil landasan teleologis untuk mengamati dampak kausal dari tindakan etis, akan sangat naif apabila kita tidak mempertimbangkan konsekuensi pada ranah pengalaman fenomenologis. 

Ini biasanya disebabkan karena kecenderungan para pemikir filsafat untuk melandaskan konsep kebahagiaan dan penderitaan dari sekumpulan proposisi tentang pengalaman fenomenologis manusia bukan sebagai sesuatu yang subyektif, namun sesuatu yang dapat terstandarisasi secara universal. Ia cenderung menyamakan pengalaman fenomenologis dari rangsangan tanpa proses uji yang baik. Ini kemudian diperburuk seringnya ia tidak melihat pengalaman manusia sebagai sebuah spektrum, namun sebagai biner baik-buruk atau sakit-senang. Pandangan seperti ini bermula dari kecenderungan positivis filsafat barat yang mengajukan bahwa ada dasar fundamental yang bersifat absolut dan ajeg lewat proposisi yang telah diuji dan disepakati. Positivisme ini seringkali menjadi pertentangan ketika filsafat barat dipertentangkan dengan ajuan dari mazhab filsafat timur dan Afrika, misalnya, di mana pengalaman individu tidak serta-merta ditepikan. Masalahnya, ini kemudian melenyapkan validitas pengalaman personal manusia yang berbeda dari proposisi tadi.

Sebagai contoh, kita bisa menggunakan silogisme sederhana seperti ini. Iritasi adalah rasa sakit. Rasa sakit adalah buruk. Maka iritasi adalah buruk. Apabila kita memandang iritasi sebagai sebuah hal yang buruk berdasarkan pengalaman seseorang yang telah lebih dahulu mengujinya, maka kita akan menemui bahwa ia menafikan pengalaman seorang penyuka pedas yang mendapatkan kenikmatan dari rasa pedas yang menyiksa diri. Pun demikian halnya dengan asosiasi buruk atau baik konsep-konsep lain.

        Satu hal yang sering dilupakan para filosof terdahulu adalah tentang kemungkinan adanya diskrepansi antara tindakan dalam lingkup obyek-material dengan konsekuensi emosional seseorang yang menjadi penunjang utama kebahagiaan yang menjadi tujuan moral tersebut. Apabila melihat fenomena material sebagai sekumpulan stimuli atau rangsangan, sementara kebahagiaan yang merupakan tujuan adalah konstituen utama dari kebahagiaan, maka akan menjadi rancu apabila kita hanya membicarakan etika hanya pada ranah obyek-material.

Ini disebabkan karena stimuli berupa obyek-material tidak memberikan suatu dampak emosional yang sama antara satu orang dengan yang lainnya. Stimuli tersebut akan diproses oleh pelbagai determinan—seperti pengalaman, pengetahuan, kondisi emosional-biologis, endokrin—lainnya  untuk menghasilkan kondisi internal yang berbeda. Pengalaman yang dirasakan lima orang yang menyantap makanan sama di sebuah restoran bintang lima akan berbeda, ditentukan oleh faktor-faktor yang sangat banyak jumlahnya.

Meminjam terminologi Immanuel Kant, kita bisa berkata bahwa perihal fisik-material, seperti uang, makanan, mobil, sentuhan fisik, pada akhirnya bukanlah zweck-an-sich atau end-in-itself. Ia bukanlah tujuan akhir. Kita perlu mengingat bahwa yang dicari dari menikmati kopi bukanlah kopi itu sendiri, namun pengalaman emosional yang didapatkan dari interaksi kafein yang dihantarkan pembuluh darah pada otak kita, disusul dengan aktivitas neurogenik pada sinaps yang berujung pada pengalaman emosional kita.

Karena pengalaman material bukanlah tujuan akhir, tentu akan menjadi sangat rancu apabila kita berbicara mengenai etika hanya dengan data terkait fisik-material. Tanpa berusaha menilik pengalaman internal yang mungkin terjadi, kajian etika tidak akan benar-benar merepresentasikan realita. Ia jauh dari semangat filsafat untuk mencari kebenaran yang sebenar-benarnya. Ketika kita hanya menilai etika berdasarkan stimulan yang kita berikan pada orang lain tanpa mempertimbangkan respon emosional subyek terhadap stimulan, kita hanya bertindak berdasarkan sekumpulan asumsi yang berpotensi salah. Lebih kacau lagi, kita mengasumsikan pengalaman personal orang lain dari respon diri terhadap stimulan yang sama. Ini adalah suatu bentuk klasik arogansi solipsisme.

Bagaimana kita bisa tahu bahwa virtus adalah kebaikan hakiki ketika pengalaman subyek terkait virtus itu masih dipengaruhi oleh sejauh mana ia menyetujui bahwa virtus itu adalah kebaikan? Bagaimana dengan hukum-hukum deontologi yang sifat moralnya masih dapat bergantung pada persepsi subyek? Utilitarianisme juga masih sepenuhnya bergantung pada analisis makro yang tidak mempedulikan pengalaman mikro dari sudut pandang subyek. Bagaimana caranya kita bisa dengan benar mengetahui bahwa pembangunan adalah baik secara konsekuensi terhadap rakyat suatu negara ketika kita hanya mendasarkan pada asumsi bahwa pembangunan akan menghantarkan pada pengalaman internal yang baik?

Seperti segala studi dalam filsafat, sangat berbahaya apabila seorang filosof berpijak pada asumsi. Tentu saja, kita harus membawa kajian etika lebih dalam lagi, seperti ketika fisika mulai memijakkan kaki pada ranah kuantum. Naturalnya, kita akan membawa pertanyaan-pertanyaan metaetika ini pada ranah neurofilosofi. Digawangi pemikir-pemikir seperti Patricia Churchland dan Antonio Damasio, neurofilosofi membawa suatu pertanyaan besar. Apa implikasi temuan-temuan dalam ranah neurosains, yang terbilang cukup baru dalam dunia sains, terhadap pertanyaan-pertanyaan filsafat yang selama ini digeluti banyak pemikir, seperti tentang kehendak bebas-determinisme, dualitas jiwa-fisik, dan tentu saja implikasinya terhadap kajian etika (Churchland, 2011). 

Meskipun saat ini— seperti diperagakan dalam hard problem of consciousness—kita belum bisa menemukan hakikat kausalitas tentang otak dan kesadaran, setidaknya kita bisa bergantung pada korelasi aktivitas bagian otak dengan kesadaran (Chalmers, 1996). Dengan berbagai metode seperti fMRI (functional magnetic resonance imaging), seperti dalam “The Brain Basis of Emotion: A Meta-Analytic Review” oleh Lindquist (2012) seorang peneliti dapat menemui bahwa respon otak terhadap rangsangan yang sama berbeda antara satu orang dengan yang lainnya. Apabila qualia subyek berbeda terhadap obyek-material yang sama bisa berbeda, ini bisa berimplikasi pada tidak adanya etika ruang obyek-material yang bersifat universal. Apabila telah ada yang membuat klaim demikian, maka klaim itu adalah, seperti yang diungkap Chomsky, bertumpu pada unquestioned assumption, atau malah, arogansi solipsisme.

Karena itu, kajian teleologis dengan dasar obyek-material adalah sesuatu yang hampir mustahil apabila tujuan akhir manusia adalah pengalaman internal. Kesimpulan yang didapatkan malah menjadi rancu karena tidak sejalan dengan tujuan kajian tersebut. Menyuntikkan kajian neurofilosofi ke dalam studi etika akan membantu mencelikkan mata peneliti atau filosof tentang dampak emosional yang dirasakan subyek. Ia tidak lagi mendasarkan data pada asumsi mengenai apa yang baik bagi subyek, namun lebih dekat memahami hubungan antara tindakan etis dengan konsekuensi qualia subyek. Memang, neurofilosofi belum sempurna. Adanya hard problem of consciousness menunjukkan bahwa empirisme penuh masih sulit dicapai. Namun, setidaknya para filosof akan berangkat dari metode kajian dan data yang lebih baik daripada yang didasarkan pada asumsi dan solipsisme.

Seperti telah disampaikan di sini, temuan dan potensi neurosains membuka ruang yang luas bagi kajian etika. Dengan memangkas asumsi-asumsi yang selama ini mengangkangi kajian etika, kita dapat mencapai berbagai kemungkinan baru dalam kajian etika. Dengan begitu, mungkin kita akan tiba pada suatu landasan kajian etika yang mengarah pada kebaikan lebih nyata tanpa dasar asumsi.

Referensi

Chalmers, D. (1996). The Conscious Mind: In search of a Fundamental Theory. Oxford University Press.

Chomsky, N. (1968). Linguistics Contributions to the Study of Mind. In Language and Mind (p. 55). New York: Harcourt.

Churchland, P. (2011). Braintrust: What Neuroscience Tells Us About Morality. Princeton University Press.

Copleston, F. (1946). A History of Philosophy: Volume I: Greece and Rome – From the Pre-Socratics to Plotnus. Continuum.

Copleston, F. (1959). A History of Philosophy: Volume VI: Modern Philosophy – From the French Enlightenment to Kant. Continuum.

Dancy, J. (2004). Ethics without Principles. Oxford University Press.

Lindquist, K. (2012). The Brain Basis of Emotion: A Meta-Analytic Review. Behavioral and Brain Sciences.

Daniel Aguira

Editor dan penerjemah yang tinggal di kota Yogyakarta. Aktif di Koperasi KEN8.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Skip to content