fbpx

Solipsisme dan Nihilisme: Pertentangan Individu sebagai Manusia Tunggal dan Mahkluk Sosial dalam Pemikiran Nietzsche

Solipsisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa satu-satunya pemikiran yang nyata dan ideal hanya dapat ditemukan dalam pikiran individu.

Solipsisme adalah suatu bentuk pandangan, yang menyatakan bahwa satu-satunya pemikiran yang nyata dan ideal hanya dapat ditemukan di alam pikiran seorang individu. Seorang individu menilai bahwa apapun hal yang berada di luar dunianya tidak ada atau tidak nyata. Kata Solipsisme berasal dari kata dalam bahasa Latin, yaitu “Solus” yang berarti “sendiri”, dan “ipse” yang berarti diri.

Istilah Nihilisme adalah sebuah istilah yang menjadi popular setelah dipakai secara ekstensif oleh seorang filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche dalam karya-karyanya, terutama dalam bukunya ‘Also sprach Zarathustra: Ein Buch für Alle und Keinen’. Dalam buku itu, Friedrich Nietzsche menciptakan suatu bentuk figur manusia yang dianggap merupakan bentuk manusia nihilis yang paling ideal. Ia menyebutnya dengan istilah “Ubermensch” dalam bahasa Jerman, yang kalau diterjemahkan secara literal ke dalam bahasa Inggris, dapat berarti “Superman”. Terjemahan ini pun dinilai belum merupakan padanan kata yang sesuai dengan makna sebenarnya dari kata “Ubermensch”, sebagaimana yang dimaksudkan oleh Nietzsche.

Zarathustra adalah seorang pertapa. Ia selalu menghabiskan waktunya untuk menyendiri dan bermeditasi di gunung. Sesekali ia turun ke desa untuk mengamati kehidupan masyarakat sekitarnya, mengkritik cara hidup mereka, dan sesekali memberi mereka wejangan hidup yang bijaksana. Di dalam kesendiriannya, Zarathustra menciptakan nilai-nilai hidup dan moral yang ia anggap ideal. Ia menganggap bahwa kehidupan masyarakat pada umumnya, beserta nilai-nilai yang mereka anut hanya menuntun manusia pada moralitas palsu.

Di dalam masyarakat kita saat ini, kita dapat menjumpai banyak sekali figur-figur seperti Zarathustra, entah itu seorang individu dalam masyarakat nyata, maupun dalam figur karakter-karakter fiksi. Sebut saja Madara Uciha dalam Anime Naruto, Joker dengan nihilismenya, Tyler Durden dalam film Fight Club, hingga orang-orang seperti Napoleon Bonaparte dan Adolf Hitler. Melalui individu-individu ini, Solipsisme hadir dalam bentuk manifestasi “dunia ideal” mereka. Bagi karakter seperti Madara Uciha dan Joker, individu-individu ini adalah pribadi yang tumbuh di dalam isolasi diri, terpisah dari masyarakatnya dan pada akhirnya solipsisme.

Jika dilihat dari sudut pandang psikologis, solipsisme yang dibangun individu-individu ini, sejatinya merupakan suatu bentuk mekanisme pertahanan diri. Karena keterasingan yang mereka rasakan, mereka pun memaksakan gambaran dunia di luar dirinya untuk masuk ke dalam citra dunia yang mereka bentuk dalam pikirannya, yang tujuannya adalah untuk menghindari dirinya dari luka emosional.

Citra ideal dunia yang ada di dalam kepala seorang solipsis kemudian lambat laun membentuk karakter seorang individu. Seorang individu kian tumbuh menjadi pribadi yang sinis, egois, keras kepala, dan cenderung “mati” secara emosional. Meskipun tampaknya begitu suram, selalu ada dua sisi dalam satu koin. Alih-alih melihat solipsisme sebagai sesuatu yang sepenuhnya pesimistik, penuh depresi, dan nihilisme mutlak, sisi lain yang dapat kita lihat adalah bahwa terdapat nilai-nilai yang sepenuhnya positif, seperti apresiasi akan hidup dan sikap proaktif seorang individu dalam menghadapi dunia yang serba tidak pasti. Ini adalah sisi di mana melalui sudut pandangnya, Nietzsche berusaha memberitahu kita bahwa sejatinya tidak ada kebenaran mutlak di dunia, tidak ada makna mutlak, kecuali makna dan nilai yang kita ciptakan sendiri. Nilai-nilai inilah yang kita pegang teguh untuk menghindari diri dari perbudakan akan kebenaran, makna dan nilai-nilai yang diciptakan orang lain. Makna dan kebenaran selalu ada pada dirinya sendiri.

Ketika telah berada di dalam kondisi yang telah menihilkan dan merelatifkan segala sesuatu, tesis yang dikemukakan Nietzsche mengatakan bahwa selanjutnya yang tersisa pada diri manusia adalah kehendak untuk berkuasa (Will to Power). Segala bentuk tindakan manusia hanya didasarkan pada impuls dorongan untuk berkuasa. Seorang individu, dengan idealismenya akan mengabaikan segala bentuk norma sosial dan aturan yang berlaku di masyarakat, kecenderungan ini akan tampak dalam perilaku yang ekstrim, yang seringnya terlihat dalam bentuk kekerasan dan tindakan amoral. Sebut saja karakter individu seperti Uciha Madara, Joker, Tyler Durden, hingga Hitler tadi. Pribadi-pribadi ini adalah karakter manusia yang memiliki kemampuan untuk mengkonfrontasi apa yang disebut Carl Jung sebagai “Shadow”(insting kebinatangan yang disembunyikan dibalik persona) dalam diri manusia hingga bertransformasi menjadi identitas diri.

Transformasi kepribadian ini membuat pribadi-pribadi yang disebutkan diatas dapat ditafsirkan sebagai-meminjam istilah Nietzsche Ubermensch-karena mereka telah mencapai level yang sempurna dalam “kehendak untuk berkuasa”.

Karena sifatnya yang bertentangan terhadap otorisasi atas kebenaran, maka pandangan nihilisme dan seorang nihilis merupakan musuh bagi agama, sebab mereka menentang dualitas manusia dalam tubuh dan jiwa, substansi spiritual dan material. Mereka mencemooh ikatan sosial manusia dan otoritas keluarga. Pada titik ini nihilisme dianggap sebagai musuh sosial, karena ia bertentangan dengan semua prinsip moral.

Bagi sebagian besar orang yang bertentangan dengan pandangan nihilisme, mereka menilai bahwa nihilisme sejatinya hanya menuntun manusia pada kekosongan belaka, ketidakbermaknaan dan amoralitas. Meskipun demikian, pandangan tersebut dapat terbantahkan dengan adanya solipsisme seorang individu. Karena ketidakpuasan akan prinsip-prinsip umum yang berlaku di masyarakat, seorang nihilis akan menciptakan dunia, prinsip, dan nilai idealnya sendiri alih-alih kekosongan dan ketidakbermaknaan.

Sejatinya, solipsisme dan nihilisme merupakan prinsip hidup yang berdasar dari antitesis kehidupan masyarakat, sayangnya hal ini terkadang termanifestasikan dalam bentuk kekerasan dan amoralitas yang merugikan orang lain. Karakter-karakter destruktif seorang individu bukanlah produk bawaan lahiriah, ia juga turut dibentuk oleh dosa bersama masyarakat, kemiskinan, perang, ketidakadilan, kekerasan di dalam rumah, kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua, hingga hal-hal yang kita anggap remeh seperti perasaan teralienasi seorang individu yang kesepian, telah menuntun mereka pada isolasi diri dan berujung pada karakter diri yang destruktif bagi masyarakat.

Joker adalah individu dalam karakter fiksi yang dianggap mampu memperlihatkan sisi jahatnya sebagai seorang manusia. Ia muncul sebagai simbol perlawanan atas ketidakadilan hidup. Joker menjadi sedemikian rupa karena lingkungannya, ia tumbuh sebagai pribadi yang sepenuhnya egois, nihilistik, dan penuh kekerasan, dan ia ingin menunjukkan kepada masyarakat bahwa siapa saja dapat menjadi seperti dirinya.

Sebagaimana telah ia katakan pada Batman dalam The Dark Knight:

“Aturan moral mereka (masyarakat) adalah lelucon yang buruk. Lenyap sejak masalah muncul. Mereka hanya akan menjadi baik sebagaimana yang diinginkan dunia. Lihatlah, akan kuperlihatkan. Ketika segala hal berantakan, uh, orang-orang beradab ini akan saling memakan satu sama lain.”

Paulus Maldini Yunior Do
Paulus Maldini Yunior Do

Alumnus Universitas Nasional Jakarta

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content