fbpx

Indonesia dan Bayang-Bayang Sang Leviathan

Negara Leviathan seperti konsep Hobbes dinilai sebagai bentuk buruk negara yang tidak meyakinkan untuk diterapkan, termasuk di Indonesia.
Leviathan
Leviathan

Menjadi sebuah hal menarik ketika karya klasik dengan tema politik masih relevan untuk dibahas dalam menggambarkan masa depan sebuah negara. Nyatanya, sebuah buku yang diterbitkan tahun 1651 oleh seorang filsuf bernama Thomas Hobbes (1558-1679) seolah dianggap cocok dijadikan sebagai landasan filosofis dalam analisis situasi politik dewasa ini di Indonesia. 

Buku dengan judul Leviathan, sempat dilarang peredarannya oleh Gereja Katolik dan Gereja Anglikan karena dianggap membuat heboh manusia yang di zaman itu. Istilah Leviathan sendiri mengacu pada sejenis monster raksasa yang menyeramkan seperti yang digambarkan pada perjanjian lama. Istilah ini diberikan oleh Hobbes dengan maksud untuk menjelaskan teorinya mengenai bentuk sistem politik dengan kekuasaan yang menakutkan bagi masyarakat agar memberikan rasa takut guna mewujudkan ketertiban. 

Agar dapat menciptakan ketakutan bagi masyarakat, konsep Leviathan menawarkan untuk menciptakan otoritas politik dengan kekuatan koersif (absolute power) yang berdasarkan perjanjian untuk memaksa masyarakat tunduk pada perjanjian tersebut. Dalam konsep ini pula disebutkan bahwa otoritas politik yang dimaksud berada di luar wilayah perjanjian sosial agar sifat absolutnya dapat terjaga. Namun yang menjadi pertanyaan adalah, apakah mungkin di negara yang menjalankan sistem yang demokratis seperti Indonesia, konsep Leviathan dapat berjalan?

Mengenal Thomas Hobbes dan Konsep Leviathan

Tulisan ini akan banyak membicarakan seorang tokoh filsuf yang lahir pada 1558 di Inggris bernama Thomas Hobbes yang dilahirkan dalam keadaan prematur dalam keadaan miskin oleh seorang ayah yang menjadi pastor pembangkang.

Hobbes tumbuh besar dengan mengenyam pendidikan di Oxford ketika usia 15 tahun dengan dibiayai oleh pamannya. Perlu dicatat bahwa Hobbes menjalani proses pemikirannya dalam situasi krisis, dengan kondisi merebaknya kekejaman, dendam, dan ketakutan akibat perang agama serta sipil yang terjadi di Inggris kala itu. 

Menjadi sebuah pemandangan lazim ketika ada banyak konflik di antara Gereja Anglikan, Kaum Puritan, dan golongan Katolik, hingga konflik antara Raja dan Parlemen. Dalam situasi krisis inilah, Hobbes mendapatkan kesimpulan bahwa segala konflik yang terjadi tak lebih berangkat dari kelemahan negara dan sifat dasar manusia.

Untuk dapat mencerna bagaimana konsep politik dari Hobbes, perlu untuk mengenal bagaimana Hobbes melihat seorang manusia. Teori Hobbes akan bersinggungan dengan apa yang disebut dengan hakikat manusia (Human Nature) yang muncul ketika Hobbes mengalami ragam pengalaman di berbagai situasi pelik. Segala kekacauan tersebut dia tafsirkan untuk pada akhirnya melihat bagaimana watak manusia yang sebenarnya. 

Dalam menganalisis watak alamiah manusia, Hobbes memakai sebuah analogi jam dinding. Dia mengibaratkan seorang manusia dengan jam dinding melalui sebuah pertanyaan, “apa yang membuat jam itu bergerak?” dan cara untuk mengetahui bergeraknya sebuah jam adalah dengan membongkar jam tersebut. Begitu juga dengan manusia, perlu untuk dibongkar dahulu mengapa manusia mau bergerak? Dan apa motivasi terbesarnya?

Hobbes melihat manusia sebagai entitas yang takut pada kematian, dan oleh sebabnya seorang manusia akan berusaha sedemikian rupa untuk bertahan hidup dengan melakukan apa saja yang bisa dilakukan. Dalam bertahan hidup inilah, manusia menjadi seorang yang egois, gemar bertengkar, haus akan kekuasaan, dan jahat. 

Keinginan bertahan hidup seorang manusia kian berkembang menjadi ragam keinginan yang harus dipenuhi. Naluri seorang manusia menggerakkan untuk memiliki keinginan dan mewujudkannya, dari sini kompetisi untuk menjadi dominan timbul. Inilah yang pada akhirnya manusia disebut dengan serigala bagi sesama manusia, atau Homo Homini Lupus.

Bentuk alami manusia adalah keadaan manusia sebelum mengenal sebuah negara, masyarakat politik, atau kekuasaan bersama. Namun tidak dipungkiri juga bahwa keadaan ini kerap kali aktif meskipun segala tatanan tercipta. Meski terdengar naif, bagi Hobbes ada tiga dasar hukum yang mampu meredam sifat alami seorang manusia, yaitu:

  • Pertama, ketika manusia dengan akal yang dimilikinya membuat sebuah ketetapan atau konsensus bersama yang dengan hal tersebut, manusia memiliki larangan untuk melakukan perbuatan yang merusak kehidupannya sendiri atau kehidupan orang lain.
  • Kedua, manusia sebagai sebuah entitas akan bersedia melakukan suatu hal seperti perdamaian dan saling mempertahankan diri ketika manusia lain juga memiliki maksud yang demikian sama untuk menganggap perlu melakukan hal tersebut.
  • Ketiga, berangkat dari dua hal di atas, manusia adalah entitas yang mempertahankan perjanjian antar sesamanya ketika diuntungkan dalam perjanjian tersebut.

Dari ketiga hal di atas inilah, konsep Leviathan dari Hobbes muncul. Konsep Leviathan menitikberatkan pada terjaminnya keselamatan dan kepentingan bersama dengan disepakatinya sebuah perjanjian, meskipun memiliki konsekuensi terhapusnya hak alamiah manusia. 

Cara yang dipakai adalah dengan menyepakati sebuah otoritas politik dengan kekuatan absolut yang mampu membuat tunduk manusia pada kesepakatan yang sudah disepakati. Kesepakatan tersebut dilakukan antar manusia dengan menyerahkan kedaulatannya kepada the sovereign (penguasa) sebagai otoritas publik. Dan untuk menjaga kekuasaan absolut yang mampu menertibkan terikatnya masyarakat pada perjanjian, posisi the sovereign sebagai otoritas publik berada di luar perjanjian sosial agar kekuasaan absolutnya dapat terjaga. Ketika the sovereign sebagai otoritas publik dianggap tak mampu melakukan kontrol terhadap perjanjian, manusia akan mengalami siklus berulang, kembali kepada sifat alamiah mereka dan memilih Leviathan yang baru.

Perlu diingat, bahwa kontrak sosial dalam teori Hobbes, bukanlah sebuah perjanjian antar pembuat peraturan dengan yang diatur, melainkan upaya manusia agar mampu mengakhiri kondisi alamiah manusia yang terbilang anarki. Segala upaya perjanjian antar individu adalah untuk mendisiplinkan para manusia dan menjamin kepentingan bersama dapat terwujud sesuai dengan perjanjian yang dibuat.

Mudahnya, manusia harus merelakan kedaulatannya pada otoritas publik agar tidak “membunuh” manusia lainnya. Franz Suseno dalam Filsafat Sebagai Ilmu Kritis mengemukakan bahwa Hobbes seolah memandang bahwa semua warga negara hanya sebagai mekanisme yang perlu ditentramkan (Suseno, 2016). Dan supaya sebuah ketertiban dapat terwujud, manusia yang dasarnya memiliki kedaulatan penuh, harus melepaskan kedaulatan tersebut dan menyerahkan diri kepada otoritas publik. 

Pada akhirnya, Hobbes mengemukakan sebuah teori yang berangkat dari pengalaman pribadi yang sangat membekas dalam menjalani kondisi kekacauan akibat situasi politik untuk mengharapkan hidup yang damai. Thomas Hobbes memahami manusia secara sistematis yang mengartikan bahwa manusia adalah makhluk yang berupaya bertahan hidup dan akan melakukan segala upaya untuk mempertahankan kehidupannya, termasuk segala keinginan yang muncul pada kehidupan tersebut. Oleh karenanya dia memberikan sebuah sistem politik layaknya Leviathan, yang  memiliki kewenangan mutlak untuk mampu menjaga ketertiban.

Lantas di era kemajuan zaman, termasuk sistem politik yang dianggap lebih maju, apakah konsep Leviathan dapat dijalankan?

Teori Leviathan dan Indonesia

Teori Leviathan menitikberatkan kekuasaan pada negara sebagai kekuatan absolut tanpa kontrol. Melalui mekanisme perjanjian antar konsensus masyarakat, kekuasaan absolut dapat tercipta yang dimiliki oleh otoritas publik. Meskipun begitu, terdapat koridor yang masih cukup terdengar baik, seperti penciptaan hukum. Namun bukankah hukum juga merupakan produk penguasa? Bahkan hukum sendiri bisa dimanipulasi oleh negara? Lebih rumit lagi apabila terdapat perluasan makna dari ‘penguasa’ yang kemudian mencakup juga penguasa agama. Dengan memakai nama Tuhan, hukum dapat didikte. Maka berubahlah negara hukum (rechtsstaat) menjadi negara kekuataan (machtsstaat).

Namun, apabila kita menaruh pemikiran Hobbes sebagai landasan filosofis dalam menganalisis secara sederhana terhadap kondisi Indonesia, bisakah negara ini menjadi negara Leviathan?

Pertama kita perlu melihat bahwa Indonesia adalah negara hukum, sesuai dengan Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang (UUD) 1945. Maksudnya, negara hukum ialah negara yang di dalamnya terdapat berbagai aspek peraturan yang bersifat memaksa dan mempunyai sanksi yang tegas pada pelanggaran yang terjadi. Hukum di sini didasarkan pada terjaminnya keadilan bagi seluruh warga negara. Dan segala bentuk hukum yang berlaku bersumber pada nilai-nilai Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa juga sumber dari segala sumber hukum. 

Bisa dilihat bahwa terdapat perbedaan motif dari pembentukan konsensus antara teori Hobbes dengan apa yang terjadi di Indonesia. Segala bentuk perjanjian masyarakat memang dimaksudkan untuk membentuk apa yang dimaksud dengan ‘ketertiban’. Namun tertib dalam pemikiran Hobbes adalah ketertiban dari sifat alamiah manusia yang saling merusak. Sementara yang terjadi di Indonesia, ‘ketertiban’ melalui hukum yang mengikat masyarakat ditujukan untuk terjaminnya keadilan bagi seluruh warga negara, dengan nilai-nilai luhur Pancasila sebagai dasar acuannya. 

Konsep negara Leviathan memang dirasa sulit diterapkan dalam masyarakat kontemporer, baik oleh masyarakat komunal ataupun plural yang dimana masyarakat kontemporer cenderung sangat kental dengan nilai kemanusiaan. Meskipun begitu pemikiran Hobbes menunjukkan bahwa terdapat kondisi negara dengan kekuatan absolut mampu membuat masyarakat masih tunduk dan percaya pada sang penguasa, bukan karena kesetiaan kepada penguasa, namun karena ketakutan yang diciptakan. 

Pada kondisi negara berubah menjadi Leviathan, Thomas Hobbes menawarkan dua opsi yang bisa diambil, menjadi tetap patuh dengan ketakutan, atau melawan dengan menuntut penguasa itu turun. Pilihan kedua merujuk pada argumentasi, negara Leviathan dapat di delegitimasi ketika rakyat kehilangan ‘ketakutan’ dan berani melawan. Inilah fokus yang bisa dilihat, bentuk anarkis pada momen keberanian masyarakat dianggap sebagai jawaban pada kondisi ketika kesengsaraan hadir di kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini seruan kekuatan rakyat atau people power diaminkan untuk dijalankan.

Namun jika kita melihat kondisi yang terjadi di Indonesia apakah hal tersebut dapat diterapkan? Melihat bahwa konteks permasalahan negara Leviathan masih belum terjadi di Indonesia belakangan. Memang pernah Indonesia mengalami krisis yang cukup parah, sebut saja ketika era rezim Orde Baru berkuasa yang pada akhirnya menimbulkan gerakan besar perlawanan, sebuah people power. Namun perlawanan ini berbeda dari konteks kondisi Leviathan ala Thomas Hobbes. Tawaran dari Hobbes adalah pembubaran total yang kemudian menunjuk otoritas publik yang baru, termasuk sistemnya, melalui perjanjian antar masyarakat, dan bukan separuhnya ketika era Reformasi kala itu.

Meskipun demikian, dengan segala perbedaan tersebut, perlu dicermati bahwa kondisi yang menyerupai negara Leviathan tentu dapat terjadi di Indonesia. Hal ini berangkat dari kondisi ketika segala hukum yang diciptakan semakin memperkuat kekuasaan penguasa sampai di titik absolut. Berikutnya, posisi penguasa yang tidak dapat disentuh oleh masyarakat juga berpotensi melanggengkan bentuk negara Leviathan dapat berjalan di Indonesia melalui ragam regulasi yang menciptakan ketakutan pada masyarakat, seperti tindakan represi belakangan ini. Maka segala ketertiban yang awalnya berangkat dari nilai luhur demi keadilan menyeluruh bagi masyarakat berubah menjadi ketertiban atas landasan ketakutan murni masyarakat.

Negara Leviathan seperti konsep Hobbes memang dinilai sebagai bentuk buruk negara yang tidak meyakinkan untuk diterapkan, termasuk di Indonesia. Namun bukan tidak mungkin bayangan negara Leviathan dapat terwujud ketika tercipta sebuah kondisi kekuasaan absolut pada pemegang otoritas publik, yang pada akhirnya memaksa masyarakat untuk mengambil pilihan, tetap tunduk pada ketakutan atau berani melakukan perlawanan!

Referensi

Suseno, Franz Magnis. 2016. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Jakarta: Kanisius.

Widyastutik, Dwi. 2015. “Pemikiran Politik Barat: Thomas Hobbes”. Bahan Ajar Pemikiran Politik Barat. FISIP Universitas Airlangga.

Ata Ujan, Andre. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2009

Muhammad Iqbal Kholidin

Penikmat Filsafat

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content