fbpx

Mempertimbangkan Manusia Ekonomi

Kita telah melihat bahwa keterbatasan pengertian makhluk ekonomi telah dibaharui dengan berbagai pendekatan ekonomi yang muncul.
Kansas City Produce karya John Salminen
Kansas City Produce karya John Salminen

Membaca dua tulisan, yakni On Philosophy and Economics (2000) karangan Cass R. Sunstein dari Harvard University dan Berburu Manusia Ekonomi (2022) karangan B. Herry-Priyono, membuat saya merefleksikan hakikat dari manusia. Dengan latar belakang pemikiran saya sebagai peneliti di bidang ekonomi, ada satu hal yang saya percayai yaitu konsep mengenai manusia yang mengejar self-interest dan menggunakan cara yang paling efektif dan efisien dalam bersosialisasi di tengah masyarakat. Namun, setelah mendengar kuliah filsafat manusia, terdapat tiga hal yang saya temukan untuk mempertimbangan manusia ekonomi: makna manusia ekonomi yang terlalu disederhanakan, rasionalitas manusia yang tidak hanya mengejar apa yang dinamakan pilihan efektif dan efisien,  keterbatasan makna manusia ekonomi itu sendiri.

Hal pertama yaitu terkait ontologis (sifat fundamental) dari manusia. Salah satu yang menjadi ciri ontologis ini terkait erat dengan struktur pengetahuan yang ada. Jika ilmu pengetahuan seperti antropologi mengatakan bahwa manusia merupakan pengada kultural, maka ilmu ekonomi melihat manusia digerakan dalam kerangka kepentingan diri dibandingkan naluri yang lain. Bahkan, menurut Herry-Priyono manusia ekonomi ini mendekati arti selfish atau egois karena kepentingan yang berpusat pada diri (self-centeredness). Serupa dengan pandangan Martha Nussbaum yang mengkritik ekonomi karena mengkategorikan manusia secara sederhana dan tidak memperhatikan motivasi orang dalam bertindak (manusia ekonomi tentunya memiliki kepercayaan, kehendak, persepsi, nafsu, dan emosi), pengertian manusia ekonomi terlalu dangkal karena terdapat kompleksitas yang rumit. 

Saya melihat bahwa hakekat manusia ekonomi ini dilihat secara imaterial atau merupakan penangkapan intelektual atas fenomena yang terjadi, dan tidak menjelaskan  realitas yang menyeluruh dari arti manusia ekonomi itu sendiri. Dalam realitas sehari-hari kita dapat menemukan bahwa terdapat prinsip-prinsip kodrati manusia yang tidak hidup sendiri. Jika kita melihat kelompok biarawan Buddha, kita akan sadar bahwa mereka berusaha untuk melepaskan kelekatannya dan hidup dalam suatu aturan yang ada. Dalam kasus lain, kita melihat bahwa terdapat santri-santri yang merasakan pendidikan Islam tinggal dalam pesantren, yang serba berkekurangan (dalam beberapa kasus), untuk mencapai suatu tujuan. 

Memang untuk melihat apakah sebuah kepentingan diri masih melekat atau tidak, kita harus melihat tujuan akhir dari masing-masing. Jika ada seorang biksu yang ditanya tentang tujuan akhir, mungkin ia akan menjawab tujuannya adalah melepaskan diri dari samsara. Di sisi lain, misalnya santri ditanya apakah yang menjadi tujuan dari kehidupannya yang serba berkekurangan dalam “komunitas”, mungkin jawabannya adalah mendapatkan pahala. Agak susah bagi kita untuk melihat apakah pelepasan diri dari samsara atau mendapatkan pahala dekat dengan kepentingan diri atau tidak. 

Sehingga, saya melihat bahwa perjalanan proses dari manusia itu yang menunjukkan “cap-cap” yang jelas dari sebuah pemenuhan. Justru, dalam misteri akhir hidupnya, manusia ditatapkan pada makna hidupnya lewat orang lain. Dalam realitasnya, ketika orang meninggal, kepentingan diri lebih terlihat dari titel yang orang sematkan pada diri yang meninggal “profesor, pengusaha, atau pemimpin” sedangkan sifat yang bukan kepentingan diri itu terlihat dari kata sifat dari yang meninggal “baik, toleran, ramah, atau suka membantu”. Kedua hal itu, menunjukkan bahwa kepentingan diri bukanlah masalah hitam dan putih. Manusia yang berproses merupakan salah satu penentu dari kepentingan diri manusia. Proses yang dijalani sampai akhir. 

Hal kedua merupakan alasan yang selalu digaungkan oleh banyak orang tentang alasan mengapa manusia dalam ekonomi mengejar kepentingan diri, yaitu rasionalitas. Dalam konsep ilmu ekonomi, rasionalitas dipandang sebagai suatu upaya untuk mempertimbangkan prospek yang memberi untung, dan menyingkirkan kerugian. Sehingga, nilai “baik” maupun “buruk” tidak dipandang sebagai sesuatu yang utama.  Konsep tentang rasionalitas tersebut jika ditempatkan pada pengertian tersebut dapat dirasakan terlalu negatif. Lewat pengertian tersebut, manusia hanya dipandang sebagai makhluk yang hanya memuaskan diri dan mengeksploitasi dengan berbagai cara yang ada. Padahal, yang terjadi adalah sebaliknya.

Manusia sejatinya memiliki kemampuan untuk terus menyempurnakan diri lewat berbagai proses adaptasi di masyarakat. Kita mencari suatu tujuan bagi diri kita sendiri dalam penciptaan kita. Oleh karenanya, ketika Covid-19 melanda, kita justru dihinggapi pertanyaan tentang eksistensi hidup. Rasionalitas kita tidak bisa menjawab berbagai pertanyaan tentang apa yang menjadi tujuan hidup. Dalam konteks Covid-19, orang yang memiliki berbagai bentuk kekayaan akhirnya ditatapkan pada situasi bahwa kekayaan tidak bisa menjamin rasa keamanan yang ada. Keamanan dalam bentuk kesehatan jauh lebih penting dibandingkan kekayaan yang dimiliki.  

Manusia akhirnya mulai menyadari bahwa ia tidak hidup dalam “kapal” sendiri. Gerakan Jogo Tonggo yang merupakan buah dari keprihatinan Covid-19, untuk menjaga tetangga saat pandemi Covid-19 adalah suatu bukti nyata bahwa rasionalitas tindakan tidak bisa diukur dengan keuntungan dan kerugian. Bagaimana menjelaskan fenomena ini: ketika sudah dilingkupi oleh kecemasan Covid untuk menjaga diri sendiri, tetapi masih berupaya untuk menjaga kesehatan tetangga?

Manusia sebenarnya merupakan makhluk yang tidak egois, tetapi memperhatikan kesejahteraan orang lain. Kesejahteraan ini yang membuat berbagai psikolog dan ekonom menemukan bahwa rasionalitas tidak menjadi satu-satunya cara mengukur perilaku manusia. Dalam kenyataannya, banyak tindakan kita yang tidak rasional (irasional), tetapi tetap saja memberikan makna pada kehidupan. Ada berbagai contoh altruisme yang ada dan membuat berbagai orang tidak bisa direduksi hanya dengan menggunakan satu konsep rasionalitas. 

Dari kenyataan tersebut, kita dapat melihat bahwa dengan tindakan irasionalitas tersebut, manusia tidak bisa diprediksi untuk bertindak sesuai dengan pola yang berlaku. Misalnya, dalam suatu tindakan ekonomi, pengusaha memberikan uang kepada orang yang berkekurangan. Tindakan ini bisa didasari oleh banyak hal, ada yang bisa berkata bahwa orang ini bertindak demikian karena ingin lebih populer (apalagi jika ditambah dengan adanya kamera dan publikasi terkait kegiatan ini). Atau, sebaliknya ada yang berkata bahwa orang ini bertindak karena bersimpati dan berkehendak untuk membantu yang lain. 

Contoh tersebut menunjukkan bahwa rasionalitas itu tergantung dari preferensi individu itu sendiri. Ada dimensi lain, yang menurut filsafat manusia perlu untuk diperhatikan yaitu dimensi subjektivitas yang terintegrasi satu sama lain. Dalam beberapa kesempatan, kita telah melihat bahwa setiap manusia memiliki keunikan masing-masing, lengkap dengan berbagai pandangannya. Pandangan inilah yang membentuk perilaku rasionalnya. Tanpa pandangannya, manusia tidak bisa berkomitmen terhadap orang lain. Sehingga, perilaku rasional tidak bisa direduksi dengan tindakan yang hanya berdasarkan insentif material atau berkaitan dengan keuntungan dari sisi finansial saja. 

Hal ketiga mengenai keterbatasan dalam pengertian manusia ekonomi. Pendekatan manusia ekonomi menurut Gary Becker tahun 1976 dalam bukunya The Economic Approach to Human Behaviour dapat dipahami dan menjelaskan semua perilaku manusia dan ini dikatakan karena terkait maksimalisasi utilitas. Sejak saat itu, pendekatan ekonomi dalam melihat manusia menggunakan berbagai prinsip dan berusaha untuk mengkalkulasikan pengaruh sifat manusia tersebut. Apakah hal tersebut salah? 

Ada dua pandangan yang melatarbelakangi. Pandangan pertama, karena manusia merupakan bagian dari agen yang berperilaku rasional, maka tindakannya dapat diprediksi dengan pasti, atau kemungkinan bisa untuk diprediksi. Pandangan ini kemudian melahirkan ekonomi yang kalkulatif dan juga berusaha untuk memprediksi tindakan manusia dengan berbagai model regresi yang ada. Pandangan kedua, yaitu karena manusia bisa bertindak irasional, maka tindakannya tidak bisa sampai pada kepastian. Pandangan kedua ini melahirkan cabang ekonomi terkait ekonomi perilaku (behavioural economics) yang berusaha melihat tindakan individu dalam berbagai perilaku nyata.  

Akan tetapi, dua pandangan tersebut tidak memberikan arahan tentang bagaimana perilaku manusia seharusnya. Berbagai kebijakan ekonomi atau analisis ekonomi, mengatakan tentang situasi terjadi dan bagaimana pengaruhnya terhadap suatu aspek tertentu. Namun, manusia ekonomi tidak diberikan ruang untuk memikirkan apa yang seharusnya dilakukan. Oleh karena keterbatasan pengertian dalam makhluk ekonomi tersebut, beberapa pendekatan dalam ekonomi menggunakan pendekatan yang lebih holistik. 

Salah satu buku Doughnut Economics (2017) karya Kate Raworth memberikan penjelasan tentang manusia sebagai bagian holistik dari alam manusia, sehingga pemikiran bahwa manusia bertindak karena motivasi sendiri merupakan hal yang kurang tepat. Permasalahannya adalah manusia berusaha untuk mengejar kebahagiaan dan bisa saja memiliki motivasi untuk kepentingan umum atau sekadar kepentingan pragmatis belaka. Kedua motivasi tersebut tidak salah, akan tetapi ketika manusia menempatkan posisinya pada kepentingan umum, maka manusia berusaha untuk memilih apa yang bermanfaat bagi banyak orang. Misalnya, kita mengamati berbagai pemimpin di Indonesia yang tidak menerima gaji sebagai pejabat publik, dan menyerahkan gajinya untuk bantuan buat masyarakat. Memang, terdapat dua asumsi yaitu pencitraan dan ketulusan pilihan. Akan tetapi, yang membuktikan nantinya apakah orang tersebut bergerak demi kepentingan umum, terletak pada sejauh mana ia menyalahgunakan hak dan kewajibannya atau tidak. 

Ekonom seharusnya belajar dari para ahli etika tentang bagaimana tidak meredusir makhluk ekonomi yang terbatas. J.S Mill memiliki pendapat bahwa kebahagiaan itu terletak pada kualitas bukan kuantitas dari sebuah peristiwa yang ada. Sehingga, menjadi jelaslah bahwa apa yang bermakna bagi manusia merupakan kualitas kehadirannya. Kualitas tersebut bisa dicapai dengan banyak sarana, akan tetapi manusia perlu memilih sejauh mana sarana tersebut berguna bagi orang lain. Dalam filsafat manusia, titik kulminasi pengetahuan yaitu terbuka pada sesuatu yang lain. Tanpa keterbukaan, manusia tidak akan mengalami evolusi dan revolusi sampai dengan saat ini. Kita telah melihat bahwa keterbatasan pengertian makhluk ekonomi telah dibaharui dengan berbagai pendekatan ekonomi yang muncul. Pendekatan yang tidak mereduksi tetapi memberikan tambahan bagi pengembangan pengetahuan yang ada. 

Referensi

Cass R. Sunstein, “On Philosophy and Economics,” Quinnipiac Law Review 333 (2000)

B. Herry Priyono, Memburu Manusia Ekonomi Menggeledah Naluri, (Jakarta: Kompas, 2022), hal. 328-349

Alexander Michael Tjahjadi

Mahasiswa S2 Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara dan Peneliti Independen

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content