Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Dedi Sahara dari artikel Étienne Balibar berjudul “Justice & Equality: A Political Dilemma? [Pascal, Plato, Marx] dalam Jurnal Umbr(a) tahun 2008.
I
II
- Relasi antara keadilan dan ketidakadilan adalah salah satu dari keteraturan versus kekacauan. Oleh sebab itu, sebuah kritik atas apa yang hadir dengan sendirinya sebagai keteraturan hanya dapat terlepas dari pengakuan atas celaan kekacauan dengan mendemonstrasikan kapasitasnya untuk mewujudkan tatanan yang superior, sebuah tatanan yang asli, atau tidak hanya sebuah tatanan yang semu, tapi nyata. Seluruh dari Hegel dan beberapa dari Marx sudah berada di sini.
- Apa yang membuat ketidakadilan tidak dapat diterima dan tidak tertahankan bukan—atau tidak hanya—kesengsaraan yang ditimbulkannya, tapi juga kekacauan yang dihasilkannya. Atau, jika Anda berkenan, penderitaan dalam diri sendiri adalah sebuah aspek kelainan, dan sebagai konsekuensinya, tidak terpikirkan bahwa klaim keadilan—sebuah tuntutan untuk kompensasi dan ganti rugi atas ketidakadilan—atau sebuah “revolusi” melawan ketidakadilan mengambil bentuk sebuah tuntutan atas kekacauan seperti itu. Kekacauan pada akhirnya adalah apa yang harus dihindari dengan segala cara. Tapi kita mungkin memang mengakui bahwa definisi perihal apa yang akan dianggap kekacauan, atau “anarki”, adalah masalah historis dan politis yang mudah berubah, sebenarnya tunduk pada debat dan pilihan politik. Di sinlah ideologi anti-demokrasi Plato (terkadang histeris) ikut berperan.11
- Hal ini mengacu pada kriteria yang berulang kali diberikan dalam teks: kriteria konflik, atau lebih tepatnya, perang saudara (civil war). Mengikuti suatu formulasi perihal “ketidaksepakatan” (stasis), yang sangat penting untuk memahami politik Yunani, Plato memaparkan perang saudara sebagai kemunculan “dua bangsa di dalam bangsa” (“two nations within the nation”), “dua kota di dalam kota” (“two cities within the city”), saling bertarung seolah-olah mereka adalah musuh, dan mungkin lebih buruk dari itu, menghancurkan segala kemungkinan untuk keseluruhan, atau kesejahteraan bersama, untuk suatu akhir kemenangan.12 Perang saudara, dalam pengertian ini, mungkin bukanlah ketidakadilan, tapi segera muncul darinya, mereproduksinya tanpa batas waktu, dan kerena itu memaksakan saudaranya. Konsensus, pada tingkat dasar atau transendental, adalah nama lain dari keadilan. Tidak ada konsensus tanpa keadilan, tidak ada keadilan tanpa konsensus atau kemungkinannya. Arendt, yang bukan teman baik Plato, sepenuhnya mendukung tesis ini.13 Dan Habermas, dengan gagasannya tentang keadilan prosedural berdasarkan pada keutamaan fungsi dialogis, membawa gagasan yang sama dengan cara yang disesuaikan dengan konseptualisasi tentang ruang publik liberal. Dengan kata lain, realisasi keadilan melalui konflik mungkin tidak dapat diterima—bahkan mungkin tidak dapat dihindari, realistis dan moral pada waktu bersamaan—tapi gagasan tentang keadilan sebagai konflik (dikaitkan dengan Heraclitus) adalah absurd, nihilistik.14 Siapa yang luput dari nihilisme absurd ini? Apakah kita? Beberapa saat lagi saya akan bergerak ke diskursus konflik sosial (khususnya mengacu pada Marx) yang mungkin membalikan posisi tersebut—dan kerena itu harus sepenuhnya berubah, pada level metateoretis, syarat hubungan antara keseluruhan, bagian, konflik, keteraturan, dan kekacauan, dan tidak hanya menolak konsekuensi politik (anti-demokrasi) yang diwariskan oleh Plato dari tempatnya sendiri.
Alasan ketiga mengapa pentingnya Plato terletak pada “idealisme”-nya, atau secara harfiah, dalam definisi keadilannya sebagai sebuah gagasan. Kita tahu bahwa apa yang menjadi ciri gagasan (atau “bentuk”, eidos) dalam Plato adalah ia membentuk model realitas yang lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri (more real than reality itself) (atau melalui yang mana realitas tidak dapat diukur, baik dipahami, diproduksi, atau ditransformasi). Dengan kata lain, keadilan adalah transenden, dan transendensi inilah yang menguasai suatu hubungan teori tertentu untuk dipraktikan: anterioritas teori yang logis, suatu subordinasi praksis, dan yang terpenting (lagi-lagi) merupakan relasi ketidaksetaraan. Praksis dapat mendekati teori, atau modelnya, tapi tidak pernah dapat menggantikannya, menjadi tidak dapat dibedakan darinya, atau sepenuhnya memenuhi syarat. Hubungan ontologis imanensi versus transendensi, keterhinggaan versus ketakterhinggaan, terkondisi atau kondisinya versus ketidakkondisian, hampir seluruhnya dihapus dari epistemologi dan teknologi modern—bukan untuk berbicara ontologi secara implisit dari merkantil dan masyarakat konsumer, yang secara resmi didasarkan pada pembalikan yang tepat dari tesis ini. Tapi, di sisi lain, hampir tidak dapat ditampik dari politik, dan dengan senang hati saya katakan dari politik revolusioner, dalam arti luas, yaitu “mengubah dunia”—trasnformasi situasi, kondisi, struktur, atau disposisi yang mewujudkan ketidakadilan, baik itu secara personal dan impersonal.15 Kaum reformis mungkin mengabaikan gagasan tentang transendensi dari model yang hanya mendekati praktik, tapi hanya dengan modal pada beberapa hal yang mengakui bahwa mereka “tidak mengubah apapun”, tidak ada yang penting, tidak ada yang tidak dapat dibalikan. Kaum revolusioner dalam arti luas tidak dapat menjadi empiris-materialis-pragmatis atau anti-Platonis mutlak dalam pengertian tersebut. Tesis kesebelas tentang Feuerbach yang terkenal dari Marx sekalipun—“Para filsuf hanya menafsirkan dunia, dengan berbagai cara; yang terpenting, bagaimanapun, adalah mengubahnya”16—agar dapat mengubahnya, seseorang memerlukan model, betapapun minimnya. Mungkin inilah salah satu alasan mengapa Marx mencoba menghindari istilah “keadilan” itu sendiri, meski ia tentu tidak dapat sepenuhnya menghindari ide tersebut: komunisme adalah sebuah ide, dan ide itu bahkan merupakan sebuah ide keteraturan.17 Jika Anda ingin melepaskan diri dari tegangan ontologi ini, Anda harus menganggap bahwa keadilan bukanlah sebuah ide, melainkan tendensi yang diperlukan dalam (atau perkembangan empiris) sejarah. Anda terjatuh dari Plato ke Hegel, dengan risiko membuat praksis sekedar fiksi yang berlebihan. Seperti yang kita ketahui, Marx tidak pernah dapat melepaskan diri dari absolutisme teleologis semacam itu, dan untuk alasan yang baik: ia tetap menjadi aktivis, dalam arti keduanya, dan karena itu ialah seorang idealis.
Alternatif filosofis lain terletak pada sikap peformatif yang, di satu sisi, mengacu pada jarak yang harus dipenuhi antara model dan upaya, moral dan/atau politik (singkatnya, praktik) untuk mendekati keteraturan, memenuhi urgensi internal dari keadilan, dan di sisi lain, menolak kemungkinan untuk mengidentifikasi konten—representasi atau model substansi ontologi—dengan cara tertentu. Hal ini menunjukan bahwa gerakan menuju model simultan merupakan upaya untuk mewujudkannya dan sebuah pertanyaan tentang representasi yang tidak memadai atau keliru. Seperti kita ketahui, sikap ini berakar pada Plato—yang menunjukan sejauh mana ia masih menantikan kritik dan keberatan kita dari jauh—yang meliputi ide keadilan sebagai tatanan harmonis dengan sebuah Ide Kebaikan itu sendiri, dari Kebenaran yang sempurna, yang berada di luar keadilan, karena itu melampaui esensi pengetahuan. Mungkin ada hal lain dalam Marx, setidaknya secara negatif, kapanpun ia menolak untuk mendefinisikan komunisme atau akhir sejarah, kecuali dalam istilah negatif, sebagai “masyarakat tanpa kelas”. Di atas semua ini terdapat jenis sikap yang kita temukan dalam Derrida (misalnya, dalam “Kekuatan Hukum” dan Hantu-Hantu Marx) yang menurut pendapat saya berasal dari interpretasi radikal terhadap ketegori imperatif Kantian sebagai respons tanpa syarat terhadap keadilan yang selalu bukan representasi yang terbatas (konstruksi, konstitusi). Jika kita punya waktu, kita dapat kembali ke Plato untuk membacanya dari sudut pandang ini. Modifikasi keadilan sosial Plato adalah kombinasi yang menakjubkan antara utopia revolusioner dan elitisme konservatif atau aristokratisme, keduanya konvergensi dalam kritiknya terhadap demokrasi (yang harus dikatakan, praktis tak tertandingi dan karenanya terus berulang). Dalam arti, ia adalah yang pertama dan kelokan “konservatif revolusioner”.18 Tapi ada suatu elemen dalam Plato yang membuka kembali model pertanyaan dan membuatnya sebagai pertanyaan tak terbatas, yang karenanya terus mengisi diskusi perihal struktur atau sistematisasi keadilan.
Terlepas dari semua itu, yang paling krusial, saya percaya bahwa alasan mengapa refleksi kita terhadap keadilan dan kesetaraan—bagaimanapun secara polemik, bagaimanapun bertentangan—secara permanen menimbulkan pertanyaan yang masih harus diungkapkan terhadap Plato. Menyangkut subjektivitas, atau implikasi subjek dalam struktur (atau model) keadilan. Atau, lebih baik dikatakan, menyangkut ketidakmungkinan mengisolasi definisi atau esensi keadilan secara mendasar dari pemahaman tentang proses subjektivasi yang merupakan suatu bagian dan kondisi intrinsik untuk mewujudkan keadilan itu sendiri.
Saya meminjam terminologi modern, bahkan pasca-modern, yang saya pikir dapat diterima di sini, justru karena Plato bersifat pra-modern, yaitu karena tidak ada ide dalam filsafatnya tentang subjek yang terberi (given) sebagai referensi orisinal atau elemen invarian (baik individu yang hidup atau sebagai titik tanggung jawab moral). Ini tidak bermaksud untuk mengatakan di dalamnya ada kecenderung tidak ada ide perihal subjektivitas, apakah sebagai interioritas, sebagai refleksi, atau sebagai kekuatan untuk “membingkai” dunia. Atau, jika Anda berkenan, apapun yang terberi adalah kekuatan sistem, tendensi, kapasitas, virtualitas yang kompleks, yang harus dikombinasikan dalam satu atau lain cara, mengarahkan kombinasi itu dalam satu atau tujuan lain untuk menghasilkan tipe “diri” yang berbeda.19 Menarik untuk membandingkan dengan transformasi Aristoteles, dan menurut saya, rasionalisasi, juga dinyatakan dalam hal pentingnya “proses pendidikan”, atau “pendidikan untuk keadilan”, yang pada dasarnya sangat ganjil bahwa berbagai “bagian” Jiwa (“vegetatif”, “sensitif/aktif”, dan “intelektual”) membentuk hierarki “natural”, yang tertanam dalam finalitas Kehidupan (finality of Life). Tapi Aristoteles dan Aristotelian modern berpikir bahwa pencapaian suatu tindakan, individual dan kolektif, membutuhkan disposisi (hexis) dari individu, kualitas atau keberanian tertentu. Disposisi ini harus, sebaliknya, dibentuk, dipersiapkan, dan diwujudkan dalam individulitas itu sendiri, sehingga realisasi keadilan menjadi mungkin, hal itu merupakan konsekuensi “alami”. Tapi manusia yang adil atau warga negara yang baik tetap menjadi instrumen sukarela yang “baik” untuk merealisasikan tatanan yang objektif, suatu “ukuran keadilan” (misalnya distribusi barang yang adil), yang dapat didefinisikan di luar dan sebelum tindakannya. Tapi dalam Plato, kita memiliki resiprokal dan interdependensi yang lengkap antara subjek dan objek. Konstitusi keadilan, dari satu sudut pandang ini, tidak lain adalah konstitusi formasi, atau rekognisi terhadap manusia yang adil. Dari sudut pandang lain—psikologis atau antropologis—konstitusi manusia yang adil tidak lain adalah kemunculan suatu tatanan yang adil. Tidak satu pun dari dua posisi ini dapat eksis atau bahkan dipikirkan secara terpisah dari yang lain (the other). Relasi subjek-objek adalah suatu penghilangan distingsi (vanishing distinction), terus-menerus diekspresikan untuk dapat ditekan secara dialektis. Hal ini berarti untuk mengubah struktur sosial adalah dengan mengubah Manusia, mengubah Kodrat Manusia (Human Nature), dan sebaliknya, bergerak dari keadilan ke ketidakadilan (dalam arti degenerasi) atau dari ketidakadilan ke keadilan (dalam pengertian prefeksi). Ini merupakan garis pemandu untuk keseluruhan eksposisi dalam diskusi komparatif tentang rezim politik yang berbeda dan “Tipe Manusia” (“Human Type”) yang sesuai.20
Dua komentar singkat. Pertama, di mana cara Plato membangun korespondensi intrinsik antara keadilan sebagai tatanan sosial dan keadilan sebagai subjektivitas (dimulai dengan analogi yang terkenal antara huruf besar (big letters) yang mana dapat membaca komposisi kota, atau relasi yang mapan antara kebutuhan, kekuatan, kapasitas dan huruf kecil (small letters) di mana kita mencoba untuk menguraikan kontradiksi jiwa manusia dan makna dari setiap sikap individu terhadap berbagai jenis “kebaikan”) terkait erat dengan doktrinnya yang terkenal tentang Raja Filsuf, yaitu suatu ide yang membuat seseorang dan masyarakat bergantung pada kejadian yang mustahil dari peleburan yang sempurna antara kekuasaan dan pengetahuan. Kekuasaan, yang betolak belakang dengan pengetahuan, tetap akan menjadi atributnya. Apa yang lebih mungkin terjadi (dan, pada akhirnya, mungkin tak terelakkan) adalah multitude tidak hanya akan melenyapkan filsuf dari setiap akses terhadap kekuasaan, tapi lebih buruk dari itu. Ia akan berhasil menetapkan tujuan dan fungsi pengetahuannya, sehingga mengubah Filsuf menjadi seorang Sofis. Di sini, Plato tidak hanya idealis, ia juga elitis dan intelektualis. Lebih dari itu, kita menemukan bahwa di balik holisme yang terang benderang tentang representasi tatanan sosialnya yang adil, di mana setiap kelas memiliki fungsi hierarkis dan setiap individu harus berada dalam satu kelas, di situlah terdapat elemen individualisme yang akut. Setidaknya benar di bagian atas, yang mana peleburan antara kekuasaan dan pengetahuan yang menandai subjektivitas ekstrim mengambil suatu bentuk individual singular, terpisah dari yang lain, dan pada siapa semua orang akhirnya bergantung.
Kedua, teori keadilan apapun, sebagai sebuah teori politik dalam pengertian yang kuat, harus memberikan alternatif konsep, atau harus tetap bersifat Platonis. Tapi, tidak hanya puas dengan definisi, peraturan, atau model keadilan sosial yang objektif; juga tidak dapat dijangkarkan semata-mata pada pertimbangan moral dari kebajikan individu. Yang dengan demikian harus membangun konsep alternatif tentang subjektivitas. Hal ini nampaknya terjadi pada konsepsi tentang aksi melawan ketidakadilan (action against injustice) yang bersumber dari tradisi revolusioner. Kita biasanya mengaitkan konsep tersebut dengan tiga preferensi: keunggulan praksis di atas teori, keunggulan kolektif atau transindividual terhadap individu, dan keunggulan model pengalaman. Semua poin ini bergerak kepada suatu konseptual yang pelik, yang menyangkut pembalikan relasi antara konsep keadilan dan ketidakadilan, dan batasan validitasnya.***
Lahir di Bandung, mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Bagian kelompok belajar Lingkar Studi Filsafat (LSF) Nahdliyyin dan Lingkar Studi Psikoanalisa.