fbpx

Keadilan Dan Kesetaraan: Sebuah Dilema Politik? (Pascal, Plato, Marx) Bagian II

III

Izinkan saya memperkenalkan referensi ketiga dan terakhir saya. Ini akan menjadi suatu hal yang kompleks, dalam arti tidak melekat pada satu nama saja, melainkan pada kumpulan nama yang akan saya persiapkan dalam bentuk dialog kritis. Ini terkait dengan ide tentang konflik, atau artikulasi keadilan dan konflik, dan karena itu menyangkut kesetaraan, sejauh konflik bertujuan untuk “menyetarakan” (“equalizing”) kondisi tetapi juga merupakan pola dasar dari pemerataan itu sendiri (pemerataan sebagai konfrontasi, agonisme, antagonisme). Saya akan mempresentasikan tidak hanya karena berasal dari pertanyaan yang diajukan oleh seorang filsuf, tapi lebih mengarah pada rektifikasi dan komplikasi yang telah dimunculkan secara progresif oleh banyak filsuf. Ia adalah Marx: ia bertanggung jawab atas bentuk-bentuk di mana kritik sosial kontemporer melakukan pembalikan krusial dari sebuah kemapanan keadilan hingga ketidakadilan. Pembalikan ini (paling tidak bersifat epistemologis, jika tidak ontologis), mengarah pada suatu pemahaman baru tentang konflik keadilan sebagai bentuk kritik politik dan tidak hanya sebagai moral.

Saya mungkin harus segera melakukan dua tindakan pencegahan. Ketika saya mengatakan bahwa Marx—wacana Marxian, teori Marxian, aktivisme Marxian—tetap sebuah lambang gagasan bahwa tidak ada ide atau model keadilan yang tidak berasal dari pengalaman tertentu tentang bentuk-bentuk ketidakadilan yang pasti, saya harus menjauhi prasangka bahwa gagasan itu berasal darinya, dan harus memperhitungkan fakta bahwa Marx sendiri tampak sangat berhati-hati mengindari kosakata semacam itu.

Kita mempunyai banyak alasan untuk percaya perihal ide ketidakadilan sesuai tidak hanya dengan pengalaman masa lampau (baik kolektif atau individual) tapi juga membentuk semacam bayangan dari definisi “keadilan” yang dielaborasi. Wajah tersembunyi ini secara spesifik berhubungan dengan elemen berdaulat (sovereign element) dari keadilan, yang sangat terkait dengan gagasan tentang kesalahan yang benar dan kompensasi atas penderitaan. Semua ini tidak dapat dipisahkan dari sosok arbiter, Penguasa sebagai Hakim dan Hakim sebagai Penguasa. Sosok ini selalu disertai dengan kecemasan yang ditekan (atau, dalam beberapa kasus, tidak begitu ditekan) bahwa dirinya sendiri dapat menjadi sangat tidak adil dan kejam, menimbulkan luka dan penghinaan, dan menciptakan ketidakadilan dengan sangat jahat. Hans Kelsen, pakar teori hukum yang rasional, menyinggung kecemasan ini dalam dialog Freud yang menakjubkan.21 Hal ini dapat menarik perhatikan kita pada serangkaian panjang pernyataan mitologis dan teologis tentang keadilan sebagai Penghakiman Terakhir (Last Judgment), dalam arti telah menemukan transposisi sekulernya dalam kritik sosial modern. Tapi karena tujuan kita untuk mengidentifikasi unsur-unsur tertentu dalam Marx, ada lebih banyak pendahulu baru yang diberi nama, khususnya Renaisans dan Pencerahan (Enlightenment). Utopia (1516) karya Thomas More dan Diskursus Kedua (Second Discourse) (1755) Rousseau adalah petunjuk yang sangat menarik dalam hal ini. Jadi langkah yang kita observasi dalam Marx bukan tanpa preseden.

Bukanlah rahasia lagi, bagaimanapun, Marx sendiri tidak terlalu menyukai kosakata keadilan sosial dan ketidakadilan, bukan untuk mengatakan bahwa ia mendepresiasi itu. Mungkin ada beberapa alasan mengapa Marx bersikap demikian. Salah satu dari mereka mungkin ada hubungannya dengan sejauh mana, pada masanya sendiri, kategori keadilan dikaitkan dengan dan kuasi-apropriasi oleh salah satu lawannya, yaitu Proudhon.22 Ada suatu bifurkasi dalam warisan Rousseau di sini, karena Proudhon adalah seorang yang egaliter absolut, mengklaim bahwa keadilan, asosiasi, dan kesetaraan (atau “multualitas”, seperti yang ia katakan) adalah sebuah ide resiprokal yang absolut dan saling dipertukarkan. Bukanlah tempatnya untuk membicarkan filsafat Proudhon—lebih hidup dari sebelumnya sampai hari ini. Kita akan melakukannya dengan baik hanya untuk mengingat bahwa egalitarianisme, betapapun radikal, kompatibel dengan beberapa pengecualian yang luar biasa dari kesetaraan (terutama, pengecualian perempuan), dan ini bertujuan, bukan untuk merepresi kondisi struktural dari ledakan buruh, melainkan untuk menyamakan kekuatan buruh dan kapitalis dalam hubungan mereka, di satu sisi, dengan membatasi kemungkinan konsentrasi kapitalis dan, secara simetris, memperkuat asosiasi dan serikat pekerja. Siapa bilang ini absurd? Tentu saja ini sulit, karena memerlukan sebuah Negara yang cukup otonom dari kepentingan korporat kapitalis untuk “menemukan” awal ketidaksetaraan atau “melawan” efek dari dominasi kelas. Tapi ini membawa kita kembali kepada Marx: alasan utama mengapa ia tidak membicarakan keadilan bahwa, baginya, bentuk keadilan atau ketidakadilan sangat kentara sebagai efek samping, tergantung penyebab struktural atau seperangkat sebab struktural yang paling menentukan. Jadi, seperti halnya keadilan dan ketidakadilan berada melampaui hukum, mode produksi dan apropriasi berada di luar keadilan dan ketidakadilan.

Tapi di sini kita harus berhenti sejenak dan membalikan argumennya, karena bagi Marx, ada pengalaman otentik mengenai ketidakadilan yang secara logis mendahului analisis tentang eksploitasi struktur itu sendiri, atau yang diperkenalkan ke dalam pola analisis eksploitasi, evolusi, dan transformasi yang dalam faktanya menguasai karakter kritiknya. Dalam seluk-beluk “mesin teoritis” yang besar yang dikonstruksi oleh Marx dengan judul Capital, (yang ditinggalkan sebelum tuntas dan karena itu membuka banyak keberlanjutan yang beragam) titik pendahuluan ini dapat ditemukan dengan sangat tepat. Hal ini terdapat dalam Buku I, Bab VII, saat gagasan kuantitatif mengenai nilai-lebih (surplus-value) (Mehrwert) atau “penumpukan modal” (“increment of capital”) “diterjemahkan” menjadi ke dalam konsep kuantitatif nilai-kerja (surplus-labor) (Mehrarbeit), dan saat bentuk-bentuk siklus “abadi” atas akumulasi modal menyamarkan wajah mereka: berbagai pola historis dari organisasi pekerja koersif dan alternatif gerakan yang memproletariatisasi, deproletariatisasi, reproletariatisasi kelas pekerja. Dengan pergeseran analisis ini, Marx, dengan sukarela atau tidak, juga tampil dengan gestur filosofis yang “merevolusi”, dalam pengertian ketat, persoalan keadilan. Dan dengan cara yang sama ia mengintensifkan tegangan antara aspek moral dan aspek politik.

Tapi ini dapat menjadi jelas, saya percaya, hanya karena bentuk umum dari kritik Marxis telah mengalihkan bentuk lainnya dari penindasan dan dominasi. Dan memiliki makna, tanpa kehilangan atau menghancurkan intensionalitas tertentu dari kritik Marx terhadap kapitalisme, kritikus sosial lainnya yang terkait dengan perjuangan, perlawanan, dan gerakan sosial keduanya mengkritik satu sisi atau absolutisasi dan ekstrasi dari model diskursus yang lebih general (dengan risiko, tidak diragukan lagi, kehilangan beberapa spesifikasi praktik).

Ini merupakan gerakan yang dengan suatu cara telah menjadi lumrah dan bahkan masuk akal dalam kritik hari ini, dimulai dari feminisme sampai studi subaltern. Saya dapat mengutip dari banyak penulis yang berbeda, tapi demi keringkasan dan juga untuk memberi penghormatan kepada kolega yang dikagumi dan intelektual militan yang baru saja meninggal dunia, izinkan saya secara sederhana mengutip dari studi klasik Iris Marion Young, Justice and The Politics of Difference.24 Mengkritik apa yang ia sebut “paradigma distributif” (“distributive paradigm”) dalam teori moral, tapi tanpa kemurnian dan hanya mengadopsi sudut pandang holistik yang masing-masing kelompok harus “mengatur” masalah keadilan dalam hal tatanan internal dan pembagian kerja (division of labor), ia berfokus pada pengalaman atau “wajah penindasan” yang melintasi batas-batas institusi dan solidaritas (sehingga memperbarui sikap yang kita temukan dalam Plato sehubungan dengan ketidakadilan dari hierarki tradisional). Ia secara luas membedakan lima jenis: eksploitasi, marginalisasi, ketidakberdayaan, imperialisme budaya (produksi keberagaman yang distigmatisasi melalui penerapan norma budaya yang dominan), dan kekerasan (terhadap individu atau kelompok yang lemah). Ia kemudian melanjutkan analisa masalah terkait yang simetris, dengan karakter institusional (institutional character) dari bentuk ketidakadilan tersebut dan di sisi lain, terhadap mode pemberontakan (yaitu, resistensi yang berbalik aktif, kolektif, dan politis) sesuai dengan masing-masingnya. Kesimpulan yang ia capai adalah tidak hanya “perbedaan”, atau singularitas kelompok, tetapi juga kebebasan memilih untuk setiap individu dalam solidaritas kelompoknya, merupakan komponen penting dari pemberontakan tersebut. Dengan demikian, ia mengidentifikasi kesetaraan sosial, bukan dengan homogenitas tapi dengan “representasi heterogenitas” di ruang publik.

Apa yang saya temukan dari kekhasan yang menarik dalam deskripsi Young adalah, dalam fenomenologi ketidakadilannya, yang didefinisikan sebagai “dominasi dan penindasan” (“domination and oppression”), yang menggeneralisasikan dan mendelegasikan atas konsep Marxian perihal eksploitasi dan alienasi kerja, ia menekankan sebuah fakta bahwa sebenarnya ada dua wajah proses ketidakadilan, secara konseptual berbeda, meski tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Untuk alasan ini, diperlukan dua istilah yang berbeda. “Penindasan” dalam pengertian yang ketat, berkaitan dengan diskriminasi yang mencegah beberapa individu “mengembangkan dan melatih kemampuan seseorang dan mengekspresikan pengalamannya” dan karena itu, pada “kendala institusional dalam pembentukan diri”. “Dominasi” berkaitan dengan “kendala institusional dalam menentukan nasib sendiri” yang mencegah untuk “berpartisipasi (secara efektif) dalam menentukan tindakan seseorang dan kondisi atas tindakan seseorang”.25 Sepertinya saya ingin memungut kembali dengan caranya sendiri, di tempat lain, saya telah jelaskan secara lebih abstrak sebagai equaliberty dalam pengertian “pemberontakan”: saya sendiri bersikukuh pada fakta bahwa tidak ada cara untuk mengafirmasi keduanya secara langsung dan positif tentang identitas politik kesetaraan dan kebebasan (politcal identity of equality and liberty), tapi hanya suatu cara untuk mendemonstrasikan, dan dalam pengalaman yang nyata, bahwa negasi mereka menghasilkan efek simultan yang berarti mengosongkan kewarganegaraan dari realitas.26 Sementara saya sepakat dengan ide penindasan dan dominasi, atau negasi kesetaraan dan kebebasan, berkontribusi pada definisi general dan kompleks tentang ketidakadilan, definisi kritis tentang keadilan—yang juga merupakan kebutuhan akan suatu polemik—meskipun hanya dapat diekspresikan secara dialektis sebagai negasi atas negasi. Ini sebenarnya istilah dari Marx sendiri menjelang akhir buku I dari Capital, dalam bagian yang terkenal tentang “perampasan atas perampasan” (“expropriation of the expropriators”) di mana ia secara eksplisit mengatakan, “ini adalah negasi dari negasi” (“this is the negation of the negation”).

Saya ingin menyimpulkan dengan menekankan penting dan sulitnya tiga masalah yang terkait, pada level general, dengan suatu ide keadilan yang bertentangan:

Masalah pertama terkait dengan artikulasi negativitas dan subjektivitas. Pengalaman ketidakadilan adalah kondisi yang diperlukan untuk pengakuan adanya ketidakadilan institusional. Hal ini sangat penting, karena Young benar-benar menegaskan, sejauh menyangkut pengalaman repetisi ketidakadilan yang identik. Repetisi ini dengan sendirinya menunjukan tentang karakter institusional atau struktural ketidakadilan, yang mana karakterisasi moral atau legalnya tidak dihitung. Jadi Marx melukiskan reproduksi dari kondisi eksploitasi, “atraksi dan penolakan” permanen para pekerja dari sistem pabrik. Tapi pengakuan dari sudut pandang “korban” bukanlah analisis struktur; saya tidak ingn mendatangkan “patahan epistemologi” (“epistemological break”).  Saya ingin mengatakan bahwa ada kesulitan bagaimana konflik berkembang, dari pengalaman ketidakadilan hingga proyek keadilan institusional itu sendiri. Suatu skema konflik dan transformasi—seperti “perjuangan kelas” dalam berbagai “derajat”—tampaknya dibutuhkan di sini, tapi skema ini tidak muncul dari pengalaman itu sendiri.

Ini pun di mana “pengalaman ketidakadilan” sekali lagi menemukan dirinya berada di persimpangan jalan antara diskursus moral dan politik, atau lebih tepatnya, dua artikulasi yang berbeda antara unsur moral dan politik dalam wacana kritis. Hal ini mungkin menjelaskan, jika bukan memvalidasi, fakta bahwa Marx mencoba melepaskan diri dari dilema ini dengan memilih istilah ketiga “sains”, yang membawanya (dan bahkan lebih banyak lagi, para pengikutnya) ke dalam sains (yang mana Althusser secara paradoks mencoba untuk memulihkan melalui “epistemologi’, atau diskursus sains di tingkat kedua).

Kesulitan pertama berkaitan erat dengan yang kedua, yang dapat kita sebut, dalam istilah Lyotardian, betapa sulitnya efek “differend”. Bukanlah kebetulan Lyotard, saat memformalkan idenya tentang kesalahan yang dilipatgandakan oleh fakta bahwa hal tersebut tidak dapat diekspresikan dalam bahasa dominan Hakim (atau dibicarakan kepada Hakim), sistem Keadilan yang mapan yang teridentifikasi dengan representasi kepentingan sosial secara keseluruhan, pertama-tama merujuk secara tepat pada konsep Marx mengenai proletariat yang dipersepsi atas nilai-kerja adalah fakta “ketidaksetaraan” dengan gagasan tentang profit kapitalis atau akumulasi.27 Kata “ketidaksetaraan” juga penting bagi fenomenologi Young.28 Dan bukan secara kebetulan Spivak dan yang lainnya telah meminjam dan menguraikan kembali konsep Lyotardian tentang differend untuk mengkonseptualisasikan “heterogenitas” atau “paradoks” dari kondisi penindasan subaltern yang mengekspresikan dirinya saat dirampas dari instrumen ekspresi kolektif dan publik. Ini merupakan permasalahan dari “ruang publik alternatif”, dan konsekuensinya, rasionalitas. Di sisi lain dari differend pada faktanya bahwa apa yang tidak dapat dibandingkan hanya akan diturunkan secara permukaan, dalam bahasa metafora atau metafrasis. Tidak hanya konflik tentang isu-isu krusial dari ketidakadilan disimetris: mereka pun direpresi terus-menerus. Sebaliknya, mereka akan diterjemahkan kembali dalam bahasa, kategori, dan mode administrasi regulatif yang terdiri dari kekuasaan yang mapan, misalnya, apa yang sekarang disebut sebagai pemerintahan universal.

Ketiga, dan akhirnya, ini membawa saya kembali—atau akan membawa saya kembali—ke persoalan totalitas, totalisasi, dan hubungan antara “keseluruhan” dan proses subjektivasi. Saya akan meninggalkan hal ini untuk kesempatan yang lain, bukan karena saya telah memanfaatkan kesabaran pembaca tapi karena saya sendiri tidak yakin dengan istilah Platonis yang mana pertanyaannya harus diperbarui. Saya tidak ingin mereduksi ide, model, atau bentuk pada status minor dari “mimpi” atau “utopia”, betapapun saya menilai penggunaan istilah-istilah khusus pemberontakan—misalnya, “Saya memiliki mimpi”. Saya hanya dapat mengemukakan bahwa jika proses-proses subjektivasi yang merepresentasikan yang lain dari dimensi keadilan, di samping praktik individu atau kolektif, yang secara virtual bertemu dengan sosok imajiner suatu “masyarakat adil”, mereka pun terikat (kerena mereka tidak dapat dipisahkan dari konflik yang mensuplai mereka makan dan memberi mereka makna) untuk tetap tertanam tanpa batas waktu dalam perpindahan dan permulaan baru, bukan dalam rekognisi, rekonsiliasi, dan akhir revolusi. Tapi formulasi yang nampaknya negatif atau apoertik ini juga memberi sesuatu yang positif, yang sangat penting bagi kita: keadilan, sebagai emansipasi dari ketidakadilan, sebagai negasi dari negasi, bukan hanya sebuah upaya; ini pun merupakan penemuan permanen. Sementara setelah emansipasi berjalan, ia pun bergerak setelah bentuk, isi, dan insitusi peradilan, yang tidak dipaksakan di luar upaya (perjuangan). Tanpa diingat, seperti kehilangan sesuatu yang ideal, melainkan ditemukan, seperti pemberontakan tanpa sebuah model.

IV

Tiga jalur yang telah saya ikuti (Pascal dan antinomi keadilan sebagai kekuatan dan kekuatan sebagai keadilan; Plato dan konstitusi subjektivitas sebagai gambaran keseluruhan jiwa; Marx dan Young dan artikulasi dari keadilan, ketidakadilan, dan konflik) sebenarnya menunjukan pertanyaan yang sama, meskipun sangat spekulatif: suatu artikulasi transendensi dan imanensi melalui munculnya kekosongan internal. Apa yang diusulkan Pascal dan diambil oleh Derrida dan Samaddar bukanlah “kelebihan keadilan atas hukum” yang secara kebetulan, tapi suatu kelebihan internal. Hal ini tidak mempengaruhi kenyataan di luar hukum (dari beberapa wilayah teologis atau sosial lainnya, yang pada dasarnya non-legal atau (i)legal), tapi dari dalam heterogenitas intrinsik realitas hukum. Ini pun dapat diartikan sebagai: hukum tidak lain adalah konflik permanen antara representasi praktis yang beroposisi dengan hukum. Oleh karena itu, mereka yang ditiadakan dari keadilan oleh hukum dituntun untuk “memasukkan” atau “menggabungkan” diri ke dalam ruang publik dengan mengubah undang-undang, atau mendorong perubahan dalam “peraturan” hukum. Apa yang disarankan dan diwariskan Plato adalah perlunya untuk menemukan konvergensi antara pertanyaan “metafisik” tentang apa yang masih terbentang “di luar kenyataan esensial” dan pertanyaan etik-politik tentang elemen hiper-individualisme yang secara paradoks mendiami “keutamaan dari keseluruhan” Platonis, yang memuncak pada model Raja Filsuf yang mewujudkan diri dalam identitas pertentangan, dari pengetahuan dan kekuasaan. Permasalahan modern dari proses subjektivitas kolektif sebagai efek anonim dari komunikasi tidaklah memecahkan atau menekan pertanyaan ini, tapi tentu saja ketidakadilan dan “generalisasinya” sebagai “keadilan dalam konflik” atau “keadilan melalui perjuangan melawan ketidakadilan” oleh Young dan yang pasti kritikus sosial kontemporer lainnya membawa pada teka-teki moral dan politik yang sulit mengenai kondisi “korban” dan tempatnya dalam diskursus ini. Kita tidak kembali pada poin sebelum “institusi politik dari keadilan’ sebagaimana digambarkan secara alegoris dan untuk selamanya oleh tragedi Yunani, untuk mengidentifikasi keadilan dengan klaim korban, atau pembalasannya, tapi kita pun harus mempertimbangkan faktanya bahwa konflik itu sendiri (realitas ketidakadilan dan kebutuhan akan keadilan) dibuat terlihat dan hanya dapat didengar oleh “kekosongan” yang diciptakan atau dilakukan korban dalam “kelimpahan (“plenitude”) dari bangunan sosial. Analogi yang saya sarankan di sini tidak berarti menggambarkan suatu metafisika keadilan baru. Tapi mereka memiliki suatu rumpun keluarga yang mana, saya percaya, menjadi lebih mungkin bagi kita untuk memahami dalam arti sebenarnya, untuk meniru sebuah formula Spinozistik, upaya atau perjuangan yang adil terhadap keadilan, atau non-keadilan, memang telah menjadi keadilan itu sendiri.

 

 

 

 

__________________________________

Catatan Kaki:

1Le premier et le plus grand intérêt public est toujours la justice. Tous veulent que les conditions soient égales pour tous, et la justice n’est que cette égalité.” Jean Jacques Rousseau, “Lettres Ecrites de la Montagne”, dalam The Political Writings of Jean Jacques Rousseau, Volume II, ed. C.E. Vaughan (New York: John Wiley & Sons, 19620), 284.

2Saya meminjam istilah ini dari Robertos Esposito, yang karya-karyanya, sayangnya, belum diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

3Suatu contoh yang tepat, terutama yang relevan dengan perdebatan ini, adalah diskusi antara Nancy Fraser dan Axel Honneth seputar “keadilan sebagai distribusi kesetaraan” dan “keadilan sebagai pengakuan kesetaraan”, di mana kesetaraan lebih banyak melibatkan keadilan.

4Rannabir Samaddar, “The Game of Justice” dalam The Materiality of Politics, Volume II: Subject Positions in Politics (London; Anthe, 2007), 63-64.

5Saya meminjam ini dari ekspresi W.B. Gallie. Emmanuel Renault mengingatnya di awal bukunya yang baru dan penting, L’expérience de l’injustice (Paris: La Découverte, 2004).

6 Blaise Pascal, “Pensée 103”, dalam Pensée Sur la Religion et Sur Quelques Autres Sujets, ed. Louis Lafuma (Paris: Editions du Luxembourg, 1951), 71. Fragmen ini juga dikomentari oleh Derrida dalam “Force of Law: The ‘Mystical Foundation of Authority’, dalam Deconstruction and the Possibility of Justice, ed. Drucilla Cornell, Michel Rosenfield, and David Gray Carlson (New York: Routledge, 1992), 3-67. Formulasi komplementer yang diberikan dalam Pensée 81, 85, dan 86.

7Pembacaan saya sebagian terinspirasi dari buku bagus Christian Lazzeri, Force et justice dans la politique de Pascal (Paris: Presses Universitaires de France, 1993).

8Derrida juga menandai afinitas ini dalam komentarnya tentang konsep Pascal.

9Samaddar, The Materiality of Politics, Volume II, 102.

10Plato juga menyempurnakan pembedaan ini dengan cara analogi komsologis dan medis. Kita harus ingat di sini bahwa istilah kosmos (cosmos) Yunani memiliki dua makna: dunia dan tatanan (yang indah), masing-masing menjadi model yang lainnya. Konsep tatanan abad pertengahan sebagai ekulibrium menghasilkan istilah ketiga: tubuh (hidup, khususnya manusia).

11Lihat Plato, The Republic, 562, tentang penghapusan semua hierarki (termasuk komando manusia atas hewan peliharaan seperti anjing dan keledai) di kota demokratis yang diatur oleh “kebebasan tak terbatas”.

12Lihat Plato, The Republic, 422e to 423a. Tentang konsep dari stasis dalam pemikiran Yunani, lihat Nicole Loraux, The Divided City: On Memory and Forgetting in Ancient Athens (Cambridge: Zone Books, 2006). Di sana, Loraux juga membuat suatu komparasi pembacaan dari Plato dan Freud.

13Lihat Hannah Arendt, “Heft X (August 1952 bis September 1952),” S 18, dalam Denktagebuch: 1950 bis 1973, Ester Band, ed. Ursula Ludz dan Ingeborg Nordmann (Munchen: Piper. 2002), 244-5.

14Lihat, di antara yang lainnya, Stuart Hampshire, Justice is Conflict (Princenton: Princenton University Press, 2001), khususnya bagian pertama (“The Soul and the City”).

15Karl Popper, setelah semuanya, bagaimanapun, poin ini benar sekali. Dalam tulisan polemiknya, ia menelusuri sumber-sumber totalitariansime (yaitu komunisme dan fasisme) kembali kepada filsafat Plato. Lihat Karl Popper, The Open Society and Its Enemies (New York: Routledge, 2006).

16Karl Marx , “Theses on Feuerbach,” dalam Marx-Engels Reader, Second Edition, ed. Robert C. Tucker (New York and London: W.W. Norton & Company, 1978), 145.

17Ingat Brecht, dalam salah satu tulisan terbaiknya, Mé-ti. Buch der Wendungen (sebuah fiksi filosofis yang ditulis di bawah pengaruh Karl Korsch selama periode perang, yang menampilkan dirinya sebagai dialog di antara orang-orang bijak Cina) yang disebut sebagai dialektika “Metode Besar” dan Komunisme “Tatanan Besar” yang muncul dari kontradiksi “Kekacauan Besar” atau Kapitalisme itu sendiri. Lihat Bertolt Brecht, Mé-ti. Buch der Wendungen (Frankfrut am Main: Suhrkamp, 1992).

18Di antara para filsuf Jerman, dalam periode pra-Nazi dan Nazi, lebih atau kurang bertahan lama tertarik dalam lingkaran “Konservatisme Revolusioner”, salah seorang pekerja terutama pada gagasan “keadilan” dalam Plato juga Hans-Georg Gadamer. Lihat Teresa Orozco, Platoniseche Gewalt (Hamburg: Argument Verlag, 2004).

19Mungkin ada sesuatu “Oriental” di sana? Bagaimanapun, ada afinitas baik dengan psikonalisis dan dengan tradisi “mistis” tertentu.

20Semua gagasan ini membayangi dalam dialog lainnya yang terkenal: Gorgias, di mana Plato menjelaskan (melawan sesuatu yang fiktif atau “sinkretis” Sofis, Callicles) bahwa “lebih baik menderita dari ketidakadilan daripada melakukan itu”. Untuk ini Brecht mengusulkan, dalam dialog imajiner yang dikutip di atas, sebuah alternatif yang menarik: lebih buruk menerima ketidakadilan (berkomitmen terhadap yang lainnya) daripada melakukan itu sendiri. Brecht, Mé-ti. Buch der Wendungen, 61.

21Lihat esai saya yang akan terbit, “The Invention of the Superego”, yang mengomentari kajian kritis Hans Kelsen terhadap Freud Group Psychology and the Analysis of the Ego dan dalam rekasi Freud kepada kritik Kelsen.

22Proudhon menerbitkan karya besarnya, De la justice dans la Révolution et dans l’Eglise, di tahun 1860. Tapi tema keadilan dan “identitas dialektis’ dari keadilan dan kesetaraan telah dominan dalam karya awalnya, dimulai dengan What is Property? (1841). Marx mempertahankannya dalam The Holy Family (1844), tapi menyerangnya dengan keras dalam The Poverty of Philosophy (1846).

23Lihat misalnya buku yang baru dan sangat menarik—dengan sebuah bab tentang kesetaraan sebagi multualitas—oleh Guillaume Le Blanc, Vies ordinaries, vies précaires (Paris: Editions du Seuil, 2007).

24Iris Marion Young , Justice and the Politics of Difference (Princeton: Princenton University Press, 1990).

25Ibid, 37 (saya tekankan).

26Éntinne Balibar, “Rights of Man”, dan “Rights of the Citizen”: The Modern Dialectic of Equality and Freedom”, dalam Masses, Classes, Ideas: Studies on Politics and Philoshopy Before and After Marx, trans. James Swenson (New York:Routledge, 1994), 39-59.

27Jean-Francois Lyotard, The Differend: Phrases in Dispute, trans. George Van Den Abbeele (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1989).

28Young, Justice and the Politics of Difference, 39.

Lahir di Bandung, mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Bagian kelompok belajar Lingkar Studi Filsafat (LSF) Nahdliyyin dan Lingkar Studi Psikoanalisa.

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content