Kematian merupakan suatu yang tak terelakkan bagi siapa pun. Baik itu usia muda ataupun tua; cerdas atau tak berakhlak; sehat atau sakit ringan sekalipun, bayang-bayang kematian selalu tak terhindarkan dalam ruang dan waktu kita sehari-hari. Dari kematian pula, kita mengenal arti perasaan duka, kehilangan, ketakutan, dan transformasi pada zat serotonin (yang mempengaruhi mood) di otak kita, yang membuat siapa pun bergumul tentang kepahitan akan kematian itu sendiri.
Pergumulan atas kematian dalam memberi suatu perasaan duka umumnya dialami sebagai suatu kenyataan bahwa kehidupan ini tak terasa telah mencapai akhir. Sehingga tak sedikit cerita kehidupan yang terselesaikan secara tidak memuaskan, bahkan ketika awal hidup belum terasa, tapi perjalanan akhir menjemput tanpa memberi aba-aba.
Dari sekian banyak perubahan di mana gairah pada peristiwa kematian runtuh, kita pun seolah memberi tanda tanya besar pada dinamika ruang dan waktu, apa yang membuat realitas ini terpisah melalui fenomena kematian? Hidup manakah yang menyebabkan kematian sangat begitu pahit?
Catatan Helenis terkait hidup yang semestinya
Banyak konsep dari Helenis yang dapat ditelaah. Namun tak banyak yang memuat kemudahan untuk memahami apa keutamaan itu sendiri. Karenanya amat penting bagi kita untuk memiliki pendapat Epicurus (341-270 SM) atas realita.
Pandangan Epicurus atas hidup secara semestinya ialah dengan menghayatinya (kehidupan) dalam kenikmatan serta diiringi dengan gairah (Russell, 2002: 338). Pada paparan ini Epicurus melihat suatu penghayatan akan kenikmatan sebagai metabolisme hidup yang sayang bila tak dihargai keberadaannya. Corak pemikiran akan kenikmatan dalam pemikiran Epicurus ialah (Epicurus dalam Magnis-Suseno, 1997: 68):
- Tempatkan kenikmatan sebagai kesenangan yang membebaskan.
- Menilai secara tepat kesenangan apa yang berguna bagi keutamaan itu sendiri.
- Kerahkan segala kehendak demi kesenangan lebih besar.
- Berani membiarkan kesenangan lewat demi kesenangan yang lebih besar.
Melalui konsepsi ini, Epicurus secara lebih jujur berpangkal bahwa orientasi kenikmatan dalam bingkai kesenangan adalah hal lumrah serta butuh kebebasan untuk jujur terhadap hal tersebut. Karena bebas dan jujur adalah hakikat keutamaan baginya. Jujur menilai kesenangan itu sendiri, jujur atas kenikmatan yang semestinya sangat penting untuk dikejar, bahkan sekalipun membutuhkan keberanian agar menolak kenikmatan lewat begitu saja dengan mengorientasikan kesenangan yang lebih besar nantinya, adalah hal yang wajar. Dari konsep ini kemungkinan Ataraxia (ketenangan jiwa) dapat dialami jika “Tubuh merasakan kenikmatan ketika aku hidup hanya dengan roti dan air, dan kunistakan pelbagai kesenangan serba mewah, bukan karena kesenangan itu sendiri, namun karena ketidaknyamanan yang diakibatkannya” (Epicurus dalam Russell, 2002: 330).
Epicurus dan kematian yang layak
Kehidupan dalam kacamata Epicurus adalah suatu pengalaman terkait kenikmatan itu sendiri. Konsepsinya tentang kesenangan tentu patut dijadikan acuan, bahwa cara memandang hidup merupakan suatu premis awal untuk membuka gagasan akan kematian yang layak. Premis akan hal tersebut, adalah (Magnis-Suseno, 1997: 66):
- Jika kematian tak berarti apa-apa bagiku, maka aku menjalani hidup yang fana ini begitu menyenangkan.
- Aku takut akan kematian, maka aku menjalani hidup yang fana ini tak begitu menyenangkan.
Melalui silogisme hipotetis, Epicurus mendominasi pikiran akan kematian dengan mengacu pada kehidupan itu sendiri. Sehingga, pangkal takut akan kematian ialah cara manusia yang salah menempatkan kehidupan fana ini sebagai yang tak menyenangkan untuk dialami. Dengan kata lain, Epicurus menempatkan suatu perasaan takut terhadap kematian itu sebagai persoalan dalam memaknai hidup secara semestinya dalam arti tidak terdapat kenikmatan khas dalam diri manusia itu sendiri pada pengalamannya.
Schopenhauer: kritik terhadap Epicurus
Hingga perjalanan peradaban berlalu konsep Epicureanisme perlahan mulai dibahas ulang serta dipertajam sebagai suatu kedewasaan dalam pemikiran itu sendiri. Mulai dari kritik akan konsep yang dibangun hingga memperbaharui ide-ide dari tiap konsep tersebut, menjadikan wilayah akan etika itu sendiri menjadi kaya. Adapun, satu keterkaitan pada pembahasan etika itu sendiri terlebih khusus pada ranah Epicureanisme diwakili oleh sosok Arthur Schopenhauer. Ia yang dikenal sebagai filsuf pesimistik, membahas suatu evaluasi akan konsep Epicurus terkait kematian yang dipikirkannya sebagai tak begitu memadai bila hanya berkaca pada hidup yang menyenangkan itu sendiri. Berikut pertimbangan Schopenhauer terhadap cara pandang Epicurus ialah:
- Kausalitas (sebab-akibat) punya peran penentu akan hidup yang semestinya.
- Terhadap fenomena pada realita terdapat interaksi antara subjek (kehendak) dan objek (dikehendaki) yang di dalamnya.
- Akan kesinambungan subjek dan objek itu, haruslah diterima bahwa potensi akan individuasi (principium individuationis) tetap ada (Kusuma, 2009).
Melalui tiga konsepsi ini, Schopenhauer hendak menyimpulkan bahwa kematian perlu dipikirkan kembali dalam kaitannya dengan kenikmatan itu sendiri. Sebab dalam realita ini kita berhadapan dengan sebab akibat yang datang tak terduga. Lebih lanjut lagi, tak bisa kita pungkiri akan adanya fenomena dalam salah satu realita kita, di mana kehidupan adalah mau tak mau harus berinteraksi dengan objek itu sendiri. Dengan kata lain bila terdapat subjek yang begitu senangnya untuk mencuri sebagai cara ia mengintegrasikan kenikmatannya, maka kita tak dapat dipungkiri bahwa hal itu disebabkan oleh individuasi dalam kenyamanan hidup secara semestinya.
Inilah yang menjadi persoalan, terkait kematian itu sendiri bahwa walaupun dianggapnya dahulu adalah upaya natural, tetapi bisa jadi ada suatu sikap terdalam pada hidup manusia yang menyebabkan kematian itu sendiri dan kemungkinan besar entah datang dari orang lain atau dari diri sendiri. Oleh karena itu manusia memang perlu menikmati hidupnya yang datang dari kausalitas itu sendiri, namun di sisi lain ia harus berkesinambungan dengan objek kesenangan itu, dan amat potensial agar kesenangan itu diraih, ia bisa saja mendatangkan kematian bagi diri sendiri dan orang lain. Salah satu bukti empirik ialah pembunuhan seorang brigadir oleh Ferdy Sambo, yang diamati sebagai kausalitas bahwa ia memilih untuk tega membunuh dan mengakibatkan kematian kepada brigadir, karena memiliki motivasi yang sampai saat tulisan ini dibuat belum dikemukakan apa sebabnya.
Kematian a la Schopenhauer
Alternatif yang ditawarkan terkait kematian, dalam pandangan Schopenhauer cenderung lebih pesimistik. Sebagaimana kritiknya pada Epicurus pada tiga hal yang dipaparkan tadi, ia memberi maksud bahwa:
- Jika kematian itu terjadi, maka tiada pula interaksi antara kehendak dan yang dikehendaki (subjek dan objek).
- Jika kehidupan tiada, maka tiada pula derita dari belenggu fenomena (Schopenhauer, 1949).
Dalam penalaran ini, Schopenhauer memuat suatu pikiran, kematian tetaplah sesuatu yang tetap terjadi dan bila memang telah tiada, tentu tak bisa lagi diperdebatkan bahwa hidup di dunia sifatnya sementara. Entah apapun yang terjadi pada hidup setelah kematian, intinya bahwa di dunia sifatnya tidaklah kekal dan kehendak sebagaimana dibahasakan Epicurus adalah gairah, tetaplah tiada. Sehingga persoalannya bukan pada dari tiada menjadi ada dan kembali menjadi tiada, tetapi lebih melampaui bahwa dikatakan tiada karena memang kita terbelenggu oleh kehendak, serta harus mengamini kita hanya berinteraksi dengan kehendak itu sendiri, dan bila kehendak berhenti berinteraksi, maka tiada pula kehendak itu.
Oleh karena itu, kematian tak dapat dihindarkan. Selebihnya berkat kehendak itulah tentu menjadi asal muasal atas adanya fenomena dan bahkan mendatangkan penderitaan itu sendiri. Maka bagi Schopenhauer, kematian akan membawa kita pada keadaan asali, yang tanpa memandang batasan personal, dan tanpa adanya manipulasi dari sang waktu. Terkait persoalan bunuh diri? Melalui essainya on the doctrine of the indestructibility of our true nature, Schopenhauer menjawab bahwa itu tidak lain adalah afirmasi terhadap kehendak. Hal ini dimotivasi oleh karena sifat penasaran pada hidup setelah kematian. Maka pergunakanlah kehendak secara bijak, karena jangan sampai kita tak mampu menundukkan kehendak kita, hingga akhirnya ceroboh dan malah dengan sendirinya kehendak kita justru menodai dirinya dengan memilih untuk bunuh diri.
Daftar Pustaka
Bertens, K. (2017).Filsuf-filsuf Besar Tentang Manusia. PT Gramedia Pustaka Utama.
Kusuma, Y. (2009). Kehendak Metafisis (Studi atas Penderitaan Hidup dalam Perspektif Arthur Schopenhauer), Institut Agama Islam Negeri Sunan Kali Ampel-Surabaya
Magnis-Suseno, Franz, 1997, Tiga Belas Model Pendekatan Etika: Bunga Rampai Teks-teks dari Plato sampai dengan Nietzsche, Kanisius: Yogyakarta
Schopenhauer, A. (1949). Philosophy of Arthur Schopenhauer. New York: Tudor Publishing CO.
- 05/01/2021