Pengingkaran dan Pembelaan Wujud (Eksistensi) dalam Filsafat Islam

Hagia Sophia karya Sevket Dag
Hagia Sophia karya Sevket Dag

Dalam tulisan sebelumnya telah kami jelaskan bahwa wujud atau eksistensi merupakan sesuatu yang nyata dengan sendirinya (swanyata) dan karena itu dapat kita pahami langsung makna dari konsep wujud itu tanpa perlu melalui proses mental lanjut. Bahwa konsep wujud atau eksistensi secara otomatis berada dalam benak kita sehingga kita dapat berpikir dan berkata karena adanya konsepsi wujud itu. Mana mungkin kita menyatakan sesuatu jika sesuatu itu tidak memiliki wujud lebih dahulu. Tentu kami juga menyadari terdapat wujud mental dan wujud eksternal, namun keduanya akan kami bahas dalam bagian lain.

Kenyataannya, ada yang mengingkari wujud itu sendiri sekalipun intuisinya niscaya menyatakan kehadiran konsep wujud dalam jiwanya. Mereka dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok yang masing-masing memiliki tingkatan dari mulai kelompok yang menolak segala wujud sama sekali hingga mereka yang menolak alam materi. Para filsuf muslim telah menjawab setiap kelompok dengan argumen yang relevan.

Penolak Wujud Mutlak

Terdapat mereka yang sama sekali menolak wujud. Bagi mereka tidak ada sesuatu apapun yang memiliki eksistensi atau betul-betul nyata. Mereka meragukan wujud segala sesuatu termasuk dirinya sendiri. 

Seorang sophis bernama Gorgias misalnya mendukung pengingkaran wujud secara mutlak. Katanya, ”wujud itu sama sekali tidak ada; jika pun ada maka wujud tidak dapat diketahui; jika pun dapat diketahui kita tidak mungkin mengungkapkannya pada orang lain.”

Mustahil untuk merespon dengan penalaran dan pembuktian apapun. Sebabnya jangankan membuktikan wujud, berbicara tentang wujud saja bagi mereka sudah merupakan hal yang mustahil dilakukan. 

Filsuf muslim terkemuka, Ibnu Sina, menyatakan bahwa kepada kelompok ini yang perlu dilakukan hanya satu hal sederhana. Masukkan saja mereka ke dalam sebuah kandang bersama seekor singa dan tanyakan,”Apakah singa itu wujud (Ada)?”.

Mereka pasti akan merasa ketakutan dan meminta keluar dari kandang singa. Ketakutan yang hadir dalam benak mereka itu sudah cukup untuk mematahkan pengingkaran mereka atas wujudnya singa. Jika benar mereka konsisten dengan ketiadaan wujud, maka mereka tidak perlu merasakan ketakutan pada sesuatu yang tidak wujud.

Penolak Wujud Selain Dirinya 

Penolakan wujud semacam ini tergambar dari kesimpulan akhir yang dicapai oleh Descartes. Bahwa ia menyatakan segalanya dapat diragukan eksistensinya sebab indra dan akal manusia tidak bebas dari kekeliruan. Indra menangkap objek diluar secara relatif berdasar hubungan antara pengamat dan amatan. Sesuatu yang sejatinya besar dan berteriak keras, akan terlihat kecil dan terdengar sayup karena berjauhan dengan pengamatnya.

Pun akal menurut Descartes tidak luput dalam kesalahan. Ia menunjukkan kelemahan akal saat manusia tertidur dan bermimpi. Kenyataannya, manusia tidak pernah sadar bahwa ia hanya sedang bermimpi dan barulah ia sadar ketika telah terbangun. Di sini nampak bahwa akal pun gagal mendeteksi bahwa seseorang itu sedang bermimpi. 

Bagi para filsuf muslim, posisi Descartes ini juga berkonsekuensi kemustahilan untuk adanya pembahasan ilmiah dan bahkan diskusi awam sekalipun. Sebabnya, meskipun berbeda dengan posisi pertama (para penolak wujud mutlak) namun mereka telah menolak wujud atau eksistensi orang lain. Hanya ketika mereka menerima eksistensi orang lain maka dimungkinkan dialog ilmiah itu terjadi. Dan tentu saja ketika mereka menerima eksistensi orang selain dirinya maka ia sudah membatalkan diri dari posisinya.


Penolak Wujud Selain Manusia

Selain dua penolak wujud di atas, terdapat kelompok yang menganggap bahwa wujud hanya dapat merujuk kepada satu referen atau subjek ialah manusia. Selain manusia, referen-referen dari kewujudan hanyalah ilusi. Mereka, selain manusia, adalah ketiadaan.

Posisi penolak dalam kelompok ini tentu berbeda dari kelompok pertama dan kedua dalam hal kelompok ini telah memberi kita ruang untuk dialog. Dalam dialog itu kita dapat menanyakan apa argumen bagi wujud atau eksistensi atas dirinya dan manusia yang lain. 

Berikutnya, dia akan menjawab bahwa dia dapat menyadari keniscayaan wujud dari dirinya dengan yang lain. Lalu pertanyaan berikutnya yang lebih utama adalah apakah beda makna wujudnya dengan wujud orang lain? Pula, apakah bedanya hal itu dengan apa yang ada pada tumbuhan, hewan, dan benda-benda di sekitarnya?

Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu akan mengantarkan dia kepada keniscayaan dan kesatuan konsep wujud. Bahwa niscaya menyatakan wujud (eksistensi) segala sesuatu sebelum dapat didiskusikan. Entah wujud itu eksternal atau sekedar mental. Pun juga akan disadari olehnya bahwa makna wujud bagi manusia dan selain manusia adalah sama belaka. Demikian itu sudah cukup untuk menyanggah penolakan mereka.

Penolak Wujud Materi

Berikutnya hadir pula kelompok yang meragukan wujud yang bersifat materi. Tokoh utamanya, ialah George Berkeley (1685-1753), menyatakan bahwa wujud tidak lain adalah sesuatu yang dipersepsi, dan subjek yang mempersepsi. Hewan, tumbuhan dan benda-benda sejatinya hanyalah ide-ide yang dipersepsikan manusia, maka mereka wujud. Pun manusia adalah subjek yang mempersepsi, dan karena itu mereka wujud. Tanpa mempersepsi dan dipersepsi, kata Berkeley, maka segala hal itu tidak wujud. Berdasarkan hal itu dia menyimpulkan bahwa tidak ada wujud yang nyata kecuali wujud non-materi.

Bagi Berkeley, pandangannya akan membantu untuk menyatakan eksistensi Tuhan. Bahwa Tuhan itu bersifat non-materi dan ia mempersepsikan manusia dan karenanya maka manusia memiliki eksistensi (wujud). Beberapa teolog juga memiliki irisan kesepahaman dengan Berkeley dalam menyatakan bahwa hanya Tuhan satu-satunya yang wujud, sedangkan makhluknya tidak wujud.

Menyanggah pandangan yang terkenal dengan nama imaterialisme ini dapat dilakukan dengan perbandingan konsep wujud dengan konsep persepsi. Pada konsep wujud kita dapat menemukan bahwa konsep ini meliputi semuanya, baik subjek yang mempersepsi dan subjek yang dipersepsi. Entah itu yang materi maupun yang non-materi. Bahkan tidak berhenti di situ, konsep wujud juga meliputi hal-hal yang tidak dapat sepenuhnya dipersepsi manusia karena kelemahan indra dan keterbatasan akalnya. 

Selain itu, prinsip persepsi-dipersepsi dalam imaterialisme memiliki kelemahan atas ketergantungan pada subjek yang mempersepsi. Bagaimana jika subjek yang mempersepsi itu, ialah manusia menyatakan bahwa tidak ada yang wujud termasuk Tuhan? Maka, dengan otomatis Tuhan dihukumi tidak wujud atau eksis oleh karena persepsi manusia. 

Penolak Wujud Non-Materi

Terakhir adalah kelompok yang menyatakan penolakan kepada segala yang non-materi sebagai wujud. Pandangan ini menyatakan bahwa manusia, hewan, tumbuhan dan segala yang wujud (ada) di dunia haruslah memiliki materi. Termasuk fikiran manusia yang eksistensinya juga tetap membutuhkan tubuh manusia yang materi sebelumnya.

Penolak wujud non-materi ini jelas pada akhirnya meragukan Tuhan. Sebabnya, Tuhan bukanlah wujud materi yang terikat oleh dimensi ruang dan waktu sebagaimana materi lain. Tuhan sebagai wujud yang ‘maha’ tidak dapat dibatasi apapun dan karenanya ia justru melampaui segalanya termasuk ruang dan waktu.

Penyanggahan atas tesis kelompok ini dapat dengan mudah dilakukan dengan menunjukkan kepada mereka hal-hal non-materi yang mereka sadari wujudnya. Rasa lapar, cinta, sedih, hingga pikiran-pikiran mereka itu jelas non-materi. Apakah kemudian mereka dapat menolak wujud dari yang non-materi yang telah disebutkan itu?

Melalui paparan yang telah diberikan, para penolak wujud itu dapat dibagi menjadi dua jenis kelompok. Yang satu adalah yang menyatakan penolakan wujud mutlak, bahwa tidak ada sama sekali yang wujud. Sedangkan pada yang satunya menyatakan penolakan kepada sebagian yang wujud, seperti wujud selain dirinya, wujud selain manusia, wujud materi dan wujud non-materi. 

Kami menambahkan di sini bahwa meskipun wujud sebagai konsep adalah sesuatu yang badihi (niscaya), nyata dengan sendirinya, dan dapat kita intuisikan, namun predikasi atau penyematan wujud kepada sesuatu tidak otomatis memiliki kesamaan seperti konsep wujud itu sendiri. Karenanya, diperlukan dalil-dalil untuk membuktikan wujud dari semua adaan (hal yang berwujud atau bereksistensi).

Pada akhirnya, dapat ditegaskan kembali bahwa wujud merupakan konsep yang meliputi segalanya, dan hanya ketiadaan atau ‘tidak wujud’ yang berada di luar wujud itu sendiri.

Ahmad Amin Sulaiman

Menulis buku-buku filsafat Pedagogi Kritis. Pernah mendapatkan beasiswa untuk Master Psikologi Kognitif di Flinders University, serta Magister Filsafat Islam di Sadra. Sehari-hari, mengajar di Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.