Dikotomi kontrol yang menjadi inti dalam filsafat stoikisme menyatakan bahwa dunia terbagi menjadi dua hal: hal di luar diri yang tak dapat dikontrol dan diri sendiri yang dapat dikontrol. Filsafat stoikisme berfokus pada hal yang kedua, yaitu memfokuskan pada diri sendiri. Untuk apa mempersoalkan hal-hal yang tak dapat dikontrol? Sia-sia. Jangan kendalikan badai, namin kendalikanlah kapal. Ya, kira-kira seperti itulah inti ajarannya yang pada akhirnya ditujukan untuk kebahagiaan. Namun, pertanyaan muncul bila manusia fokus dalam pengendalian diri sendiri, bagaimana tanggung jawabnya terhadap sekitar? Bagaimana rasa kepedulian terhadap orang lain?Apakah filsafat stoikisme se-egoistis itu? Seneca sebagai salah satu tokoh besar Stoikisme yang kaffah mencontohkan dalam laku hidupnya bahwa Stoikisme tetaplah peduli dengan orang lain.
Seneca lahir setahun sebelum masehi di Cordoba, Spanyol. Ia adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari orang tua yang beremigrasi dari Italia dan ia tumbuh dengan berbahasa latin. Ayahnya, yang mempunyai nama yang sama, adalah seorang penulis yang kondisi finansialnya sangat baik pada waktu itu dan orang yang cukup terpandang dalam Kekaisaran Roma sehingga ia menduduki suatu level yang mempunyai otoritas dalam mengelola Kekaisaran Roma. Ayahnya mendidik dua anak pertamanya (termasuk Seneca) agar menjadi seorang senator dan mempunyai karir dalam politik yang baik di kemudian hari. Keinginan ayahnya yang kuat, membuat Seneca sudah merasakan pendidikan politik seperti debat dan retorika dari usia muda. Melalui pendidikan ini ia berkenalan dengan filsafat, khususnya Stoikisme. Seneca tertarik akan filsafat dalam pencarian akan kebijaksanaan. Seneca mengenal Stoikisme melalui guru-guru yang mengajarinya dan juga buku-buku yang ia baca. Kehidupan Seneca begitu berliku dari seorang orator terkenal di Roma, lalu mengalami pengucilan dan pengasingan oleh Caligula, setelah itu diangkat lagi menjadi senator di bawah kepemimpinan Nero lalu mati dengan menyayat nadinya sendiri di dalam bak air hangat. Dengan lika-liku perjalanan hidupnya, Stoikisme tetap dipegang teguh hingga akhir hayatnya. Seneca menjadi martir atas kekuatan kehendaknya sendiri.
Stoikisme sendiri mempunyai dasar epistemologi bahwa alam semesta bekerja menurut Logos-nya atau dalam arti lain menurut hukum alam yang berlaku. Manusia sebagai bagian dari alam semesta turut menyelaraskan hidupnya dengan alam semesta. Manusia berserah dan pasrah terhadap kehendak alam. Selanjutnya, ketika kepasrahan diri tersebut tercapai, disaat itulah manusia menyadari bahwa hal yang ada diluar dirinya adalah sesuatu yang diluar kehendaknya dan tak dapat dikontrol. Pada akhirnya manusia menyadari bahwa dirinya sendirilah satu-satunya yang ada dalam kendali. Tercapai otonomi kehendak dan pada situasi tersebut manusia mencapai kondisi Autarkia. Manusia mencapai kebebasannya secara sempurna (Magnis Suseno, 1997:58). Manusia yang autark, ia bebas dari kebingungan dan keresahan hidup sehingga ia bebas dari penderitaan. Dalam hal ini manusia dapat menghilangkan hawa nafsu dan kecenderungan dalam pencarian kenikmatan sesaat. Manusia menjadi kuat akan kontrol atas dirinya sendiri tanpa pengaruh hawa nafsu dan puncaknya adalah mencapai ketenangan pikiran dan batin. Apa yang tersisa hanyalah pikiran yang rasional yang menjadi dasar kehendak apa yang akan dilakukan. Tanpa rasionalitas, manusia akan terombang-ambing mengikuti faktor-faktor diluar dirinya dan menjadikan kehendak yang emosional. Tidak terpengaruh dunia di luar dirinya, semuanya sama saja, indifferent. Nikmat atau sakit rasanya akan sama saja, tak ada bedanya (Magnis Suseno, 1997:60). Pada kondisi ini disebut sebagai kondisi Ataraxia. Inilah definisi kebahagiaan yang dituju oleh kaum stoa.
Namun, ketidak terpengaruhan manusia dari hal-hal diluar dirinya tidak berarti manusia acuh terhadap sekitarnya. Sebaliknya, manusia mengarahkan tindakannya kepada tanggung jawab terhadap masyarakat di sekelilingnya untuk berbuat baik ke sesama. Kebaikan hati ini mengimplikasikan bahwa orang lain harus dihormati hak-haknya, memperlakukan yang sama terlepas gender dan kedudukan sosialnya sehingga sesama manusia mempunyai derajat yang sama. Bila kenikmatan dan penderitaan sama saja, maka kedudukan seseorang, raja atau rakyat, miskin atau kaya, pejabat atau orang biasa maka juga akan sama saja. Seorang Stoa tidak terpengaruh dengan status sosial orang lain terhadap dirinya. Batasan-batasan hubungan antar manusia menjadi hilang dan teratasi sehingga seluruh manusia dapat dirangkul. Kebaikan terhadap sesama dan perlakuan yang sama terhadap manusia menjadi bagian dari tujuan untuk mencapai ketenangan batin dan kebahagiaan hidup. Pandangan ini dalam filsafat Stoikisme disebut kosmopolitanisme.
Kosmopolitanisme ini diterapkan oleh Seneca dalam kehidupannya. Terdapat beberapa contoh konkret bagaimana Seneca memperlakukan manusia lain dengan setara dan dengan keterarahan untuk berbuat baik terhadap sesama. Terkait hal ini banyak tergambar dalam Moral Letters-nya dan juga bagaimana ia secara langsung mempraktekan dalam kehidupan keseharian. Dalam salah satu tulisannya dia menyatakan bahwa bahkan kedudukan seorang budak pun sama dengan yang lainnya, tidak ada perbedaan derajat sesama manusia.
I am glad to learn, through those who come from you, that you live on friendly terms with your slaves. This befits a sensible and well-educated man like yourself. “They are slaves,” people declare. a Nay, rather they are men. “Slaves!” No, comrades. “Slaves!” No, they are unpretentious friends. “Slaves!” No, they are our fellow-slaves, if one reflects that Fortune has equal rights over slaves and free men alike (Seneca)
Pada puncak karirnya Seneca menjadi senator pada Kekaisaran Romawi dibawah kepemimpinan Nero yang terkenal bengis. Dengan kedudukannya, bisa saja Seneca tetap berbuat seenaknya dengan mengikuti alur bagaimana Nero berkuasa. Namun, dengan kepeduliannya terhadap sesama ia tetap berusaha bagaimana ia sebagai penasihat kekaisaran mengarahkan agar raja berbuat kebaikan terhadap rakyatnya. Hal ini terlihat dari teks-teks drama yang ia tulis bertujuan agar Nero, yang juga menyukai drama, bisa berubah dan menjadi pemimpin yang baik dan menghindarkan rakyatnya dari kekejaman Nero
Kosmopolitanisme ini juga tercermin dalam bagaimana Seneca menulis tulisan-tulisannya dalam Bahasa Latin. Tulisan filsafat pada zaman tersebut banyak menggunakan Bahasa Yunani yang mana adalah bahasa bangsawan yang ditujukkan untuk para elit. Seneca memilih Bahasa Latin dikarenakan Bahasa Latin adalah bahasa rakyat. Ia ingin tulisannya tidak hanya dimengerti oleh para bangsawan, tapi juga dapat dinikmati oleh para masyarakat bawah. Ia tidak egois walaupun kedudukan dalam kekaisaran adalah pejabat tinggi sebagai penasihat utama raja. Tapi ia juga tetap memikirkan bagaimana masyarakat dapat mengakses pikirannya. Dan juga ia banyak menulis mengenai moral dalam tulisannya sebagai tuntunan hidup yang ditujukan ke beberapa kolega dan keluarganya.
Demikian, bagaimana Stoikisme diterapkan oleh Seneca dalam keterkaitannya dengan sesama manusia. Ketidakpengaruhan manusia dalam Stoikisme oleh hal-hal di luar dirinya yang tidak bisa dikontrol dan fokus untuk mengontrol diri sendiri secara rasional tidak berarti berlaku hidup secara egoistis. Namun sebaliknya, keterarahan pada kepedulian sesama dan menjunjung tinggi martabat manusia menjadi hal yang utama.
Referensi
Magnis-Suseno, Franz. 1997. “13 Tokoh Etika”. Yogyakarta: Kanisius
Seneca. 2013. “Moral Letters to Lucilius”. Translated by Richard M. Gummere. Ottawa: Stoici Civitas Press