fbpx

Kebijakan Luar Negeri China dalam Tataran Filosofis dan Kritik atas Penerapannya

China abad modern juga kembali ke gagasan kuno China sebagai negara pusat dunia, tidak terbatas Eurasia, melainkan lebih luas, yang adalah filsafat Tianxia.
Kereta Api di Jalur Sutra
Kereta Api di Jalur Sutra

China saat ini menjadi negara yang besar dan pengaruhnya tidak dapat dihiraukan dalam banyak aspek dalam hubungan internasional. Pengaruhnya tidak hanya pada area Asia ataupun negara-negara tetangga. Namun, pengaruh China pada dunia internasional sangat menyeluruh. Dalam sisi ekonomi kita ketahui bersama bahwa sebagian besar barang-barang yang kita gunakan sehari-hari banyak yang berstempel Made in China. Banyak pula perusahaan-perusahaan asal China berekspansi ke seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Peran China ada dimana-mana dan begitu kuat, tak dapat dihiraukan. Hal ini tidak terlepas dari bagaimana China merumuskan dan menjalankan kebijakan luar negerinya yang saat ini dijalankan dalam kepemimpinan Xi Jinping. Sejatinya apa rumusan yang mendasari kebijakan luar negeri China?

“Komunitas untuk masa depan bersama bagi umat manusia” (Community of Common Shared Future of Humankind, selanjutnya disebut CCD) adalah konsep dalam diplomasi China yang semakin banyak digunakan dan diutarakan oleh pemerintah China, khususnya Presiden Xi Jinping, di forum internasional. Di antara forum internasional tersebut yaitu disampaikan oleh Xi dalam   perayaan 200 tahun Marx, Kongres Partai Komunis China ke-18, Forum Inagurasi Belt and Road Initiative tahun 2017, dan di tahun yang sama juga disampaikan dalam World Economic Forum di Davos.

Konsep CCD dimasukkan dalam pemikiran Xi Jinping mengenai sosialisme dengan karakteristik China dalam era baru pada Kongres Partai Komunis China ke-19 yang menjelaskan bahwa diplomasi negara dengan karakteristik China bertujuan untuk membuat bentuk baru hubungan internasional dan membangun komunitas untuk masa depan bersama bagi umat manusia. Menurut Xi, dalam bukunya Governance of China, di dunia ini hegemonisme, egoisme, imperialisme, supremasi, ketidakadilan, konflik, perang, dan konfrontasi semakin merajalela. Hubungan antar negara saat ini bersifat zero-sum game yang hanya mementingkan kepentingan negaranya sendiri tanpa benar-benar memperdulikan kepentingan negara lain, maka dari itu CCD hadir untuk melawan hal tersebut dengan konsep win-win solution dengan menjalin kerjasama yang saling menguntungkan sehingga tercapai ekspektasi masing-masing (Xi, 2014). Hal ini menjadi landasan filosofis dalam kebijakan luar negeri yang dijalankan oleh China.

Pemikiran Xi Jinping mengenai CCD mewakili adaptasi Marxisme ke dalam konteks China untuk era baru dan juga pemerintahan sosialis China. Hal ini didasarkan pada penguatan partai sebagaimana pidato Xi pada perayaan 200 tahun Marx mengenai CCD yang memperjelas hubunganya dengan visi Marx mengenai sebuah dunia kolektif (Pottinger et al, 2022). Xi, lebih lanjut dalam kesempatan tersebut menyatakan “dunia kolektif ada di depan kita, di atas [cakrawala]. Siapa pun menolak, maka dunia akan ditolak oleh dunia.” Ungkapan ini meresap dalam inisiatif CCD dan kebijakan luar negeri yang dianut Xi disebut yang bertujuan untuk membentuk lingkungan global.

CCD juga didasarkan pada kebudayaan tradisional China seperti keharmonisan, moderasi, kesatuan dunia, dan lainnya. Nilai-nilai kebudayaan tradisional ini dalam CCD muncul sebagai bentuk konektivitas antarnegara dalam satu komunitas bersama untuk mencapai keharmonisan dengan mengedepankan kepentingan bersama yang saling menguntungkan. China mengedepankan gagasan CCD, di antaranya adalah “doktrin nilai tengah (doctrine of the mean) sebagai salah satu metode utama (Chen, 2017)

China abad modern juga kembali ke gagasan kuno China sebagai negara pusat dunia, tidak terbatas Eurasia, melainkan lebih luas, yang adalah filsafat Tianxia (Babones, 2017). Filsafat Tianxia adalah Filsafat China mengenai tata pemerintahan dunia yang menjadikan dunia sebagai entitas politik, bukan negara (Raditio, 2021). Tianxia sendiri berarti segala yang ada di bawah langit dan menurut Xi Jinping, kita semua, yang ada di bawah langit, haruslah bersama-sama bersatu dan saling membantu satu sama lain untuk mencapai komunitas dunia dengan masa depan bersama bagi seluruh umat manusia. Masa depan bukan hanya milik suatu negara maupun satu golongan, melainkan untuk semua umat manusia mencapai kesejahteraan bersama. Dalam prakteknya, China juga ingin menjadi pusat dunia yang mana tidak hanya sebagai penonton dan pelaku sejarah, melainkan ikut menentukan dan mempunyai pengaruh penting dalam sejarah atau dengan kata lain China ingin menancapkan hegemoninya keseluruh dunia. Kita bisa lihat saat ini dari segi ekonomi, geopolitik, keamanan, budaya, riset, dan lainnya, China punya pengaruh pada hampir semua negara.

Namun, CCD mempunyai beberapa kritik dalam keselarasan antara penerapan dan tujuan filosofisnya, yang diantaranya pada sisi ekonomi dan keamanan global. Diplomasi CCD oleh Xi diantaranya dimanifestasikan dalam Belt and Road Initiative (selanjutnya disebut BRI), dan juga dalam hal keamanan global termanifestasi dalam Security Global Initiative (selanjutnya disebut SGI) yang dibentuk oleh Xi Jinping untuk mengajak negara-negara untuk mewujudkan perdamaian dunia di tengah kondisi dunia yang sedang berisiko mengalami konfrontasi yang mana salah satu prinsipnya adalah menghargai kedaulatan negara-negara.

BRI memimpin gelombang baru globalisasi yang mengambil pembangunan ekonomi dan pertukaran peradaban sebagai konten utama (Chen, 2018). BRI memimpin gelombang baru globalisasi yang mengambil pembangunan ekonomi dan pertukaran peradaban sebagai konten utama, dan juga merupakan cara konkret untuk mempromosikan reformasi sistem pemerintahan global, menciptakan tatanan global baru dan membangun komunitas multi-dimensi takdir bersama bagi seluruh umat manusia (Chen, 2018). BRI disebut juga sebagai Jalur Sutra Abad 21 yang ditujukan untuk peningkatan ekonomi dunia secara bersama-sama dengan membangun konektivitas infrastruktur, peningkatan perdagangan dan investasi.

Dalam 10 tahun terakhirnya, proyek BRI telah mencapai nilai 962 miliar US$ yang mana telah membiayai berbagai negara. Namun, dalam pelaksanaannya, BRI saat ini dikritik sebagai sarana China untuk menjebak negara-negara lain dalam hutang dan menancapkan hegemoninya ke seluruh dunia. Berbagai negara mengalami gagal bayar kepada China seperti Sri Lanka dan beberapa negara Afrika. Beberapa aset penting negara-negara tersebut “disita” sebagai implikasi dari hutang yang tidak dapat dibayar. Sebagai contoh adalah pelabuhan Sri Lanka yang hak konsesinya diberikan kepada China, lalu juga bandara di Uganda, dan lainnya di berbagai negara. Apakah penerapan hal ini dapat dikatakan win-win solution sepenuhnya? Apakah hal ini mengakomodasikan kepentingan bersama? Nampaknya negara-negara ini tidak pada posisi yang diuntungkan, dan di sisi lain China cenderung mendapat porsi yang lebih menguntungkan. 

Lalu dalam krisis Rusia-Ukraina, di satu sisi China menentang penambahan anggota NATO seperti yang diklaim Rusia sebagai alasan invasi. Namun, disisi lain menghormati kedaulatan setiap negara, termasuk Ukraina. Hal ini menjadi ambigu. Ambiguitas ini juga terlihat  dalam aktivitas China di Laut China Selatan yang cenderung konfrontatif terhadap negara ASEAN seperti penahanan nelayan Vietnam di dekat Kepulauan Paracel, lalu juga kapal perang yang berpatroli di Perairan Natuna, dan juga baru-baru ini adanya konflik dengan filipina di mana kapal milik China menabrak kapal milik Filipina. Di mana prinsip dalam menghargai kedaulatan masing-masing negara? Apa yang dilakukan di Laut China Selatan sejatinya malah mencederai kedaulatan negara lain. Hal ini tidak sejalan dengan konsep SGI yang menekankan perdamaian dunia dan menghormati kedaulatan negara-negara. Dan juga penghormatan terhadap hukum internasional tidak terealisasi dalam aktivitas di Laut China Selatan. Bukankah ini mencederai keharmonisan sehingga bertentangan dengan tujuan awal? Disamping itu hal ini juga tidak mencerminkan penyelesaian yang win-win solution. Niat baik China perlu dilaksanakan dengan konsistensi. Inkonsistensi ini menunjukkan kebijakan China yang multifaset, seperti hanya demi kepentingannya sendiri terhadap suatu permasalahan.

Pada akhirnya, tujuan mulia dari CCD ini masih perlu dipertanyakan dalam level praksis yang nampak kontradiktif dengan landasan filosofisnya, atau memang tidak realistis untuk menampung kepentingan yang berbeda-beda dari setiap negara di dunia. Apakah niat baik ini sejatinya tulus ingin dilakukan atau hanya sebatas slogan? Oleh karena itu, pemerintah China perlu lebih transparan mengenai alasan di balik konsep CCD ini untuk membangun kepercayaan dengan negara lain dan menyelesaikan perselisihan dengan itikad baik. Namun demikian, tugas untuk mencapai keharmonisan dunia patut diperjuangkan dan hal ini adalah tanggungjawab bersama seluruh negara.

Daftar Pustaka

Babones, Salvatore. 2017. “The Meaning of Xi Jinping Thought”. Foreign Affairs
Chen, Zhaohe. 2017. ‘’ The Chinese Cultural Root of the Community of Common Destiny for All Mankind’’. Advances in Social Science, Education and Humanities Research, volume 142
Chen, Zhaohe. 2018. ‘’ The Practical Way of Community of Common Destiny for All mankind’’. Advances in Social Science, Education and Humanities Research, volume 205.
Jinping, Xi. 2014. The governance of China. Beijing: Foreign Languages Press.
Pottinger, Mat. Et al. 2022. ‘’Xi Jinping in His Own Words: What China’s Leader Wants-and How to Stop Him from Getting It’’. Foreign Affairs
Raditio, Klaus H. 2021. “Tianxia: Filsafat Cina tentang Tata Pemerintahan Dunia”. Majalah Basis No. 01-02, Tahun ke-70.

Abdur Rachman

Engineer yang nyambi jadi mahasiswa filsafat

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content